JAKARTA – Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia
membutuhkan kebijakan tarif yang kondusif sehingga merangsang
pengusaha tertarik berinvestasi di sektor energi bersih tersebut.
Untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) harga
pembelian listrik oleh PLN sebesar 13,35 cent dollar AS per kilowatt
hour (kWh) dinilai cukup kondusif bagi pengusaha untuk membangun di
setiap kota.
Di sisi lain, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), harga
pembelian telah diturunkan menjadi 6 cent dollar AS dari semula 13 cent
dollar AS per kwh. Tarif ini dianggap tidak kondusif karena berada di
bawah biaya produksi. Harga listrik tenaga surya paling tidak 11 cent
dollar AS per kwh.
Direktur Eksekutif Energi Watch, Mamit Setiawan, mengemukakan
penurunan harga pembelian untuk PLTS tentunya sangat memberatkan
investor karena harga lebih rendah dari biaya produksi.
“Ini yang membuat investor enggan masuk ke PLTS, dan membuat
pengembangan EBT di Indonesia kurang pesat. Akibatnya, target bauran
energi 2025 sebesar 23 persen kemungkinan besar tidak tercapai,” tegas
Mamit, di Jakarta, Jumat (19/7).
Dia pun meminta pemerintah bisa memahami bahwa pengembangan EBT
pada tahap awal pasti membutuhkan investasi yang mahal, tapi ke depan
akan berangsur-angsur lebih murah.
“Ini yang harus dipertimbangkan. Maksud saya adalah mungkin di lima
tahun pertama harganya sebesar 11–13 cent per kwh, namun di tahun keenam
dan selanjutnya tarifnya diturunkan secara bertahap,” tukas Mamit.
Sedangkan Rektor ITS, Mochamad Ashari, menekankan pembangunan proyek
EBT, baik dari tenaga surya, angin, geothermal, maupun sampah harus
segera dimulai dari sekarang karena pengembangannya butuh waktu.
Dengan demikian, Indonesia tidak terlambat mengantisipasi makin
berkurangnya sumber energi fosil, dan tidak tertinggal di sektor EBT
dengan negara lain.
“Sementara untuk menekan biaya produksi dan mengingat EBT adalah masa
depan sumber energi, maka dirasa perlu untuk memulai industri
manufaktur EBT di dalam negeri agar tidak bergantung pada impor,” jelas
dia, Jumat.
Mamit juga mengatakan pengembangan EBT sangat penting karena
pemerintah saat ini bergantung pada swasta untuk membangun Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara 35 ribu megawatt (MW), dengan
harga mengambang (floating).
“Bagaimana nanti jika batu bara kita habis, apa mau impor? Bagaimana
nasib PLTU nanti, karena ke depan, listrik dari EBT akan semakin murah
dibandingkan energi fosil. Padahal, investasinya sangat besar. Ini akan
membebani keuangan negara,” papar dia.
Perpanjangan KK
Sementara itu, dikabarkan bahwa karut-marut pemberlakuan peraturan
baru soal perpanjangan Kontrak Karya (KK) perusahaan pertambangan batu
bara generasi pertama, dinilai menjadi pertanda kurang baik bagi
pemerintah.
Penundaan yang cukup lama itu tidak hanya menyebabkan
ketidakpastian hukum, tapi juga mengancam enam perusahaan pertambangan
besar di Kalimantan, yang selama ini menyumbang hampir 40 persen dari
500 juta ton per tahun produksi batu bara nasional.
Pekan lalu, Komisi VII DPR yang membidangi Pertambangan dan Energi,
mengkritik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang
dianggap lamban dalam menerapkan regulasi untuk sektor yang berperan
menjalankan 40 persen kapasitas pembangkit listrik PLN, dan merupakan
salah satu komoditas ekspor terbesar itu.
Faktanya, salah satu perusahaan tambang besar, Tanito Harum, dengan
konsesi seluas 31.000 hektare, terpaksa tutup Mei lalu karena peraturan
Kontrak Karya yang ditandatangani jauh sebelum diberlakukannya UU
Pertambangan tahun 2009, berakhir awal tahun ini. Di sisi lain,
peraturan baru tentang perpanjangan Kontrak Karya, telah disusun lebih
dari satu tahun dan belum kunjung ditandatangani oleh Presiden.
Menteri ESDM, Ignasius Jonan, mengambil inisiatif untuk mewujudkan
kepastian hukum dengan menyetujui perpanjangan 20 tahun kontrak Tanito
Harum, berdasarkan peraturan lama. Namun, Jonan terpaksa mempermalukan
diri sendiri dengan mencabut inisiatif itu setelah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada Mei mengkritik dan memberi tahu Presiden bahwa
perpanjangan KK itu melanggar UU Pertambangan.
0 comments:
Post a Comment