Krisis ekonomi global adalah peristiwa di mana seluruh sektor ekonomi
pasar dunia mengalami keruntuhan/degresi dan mempengaruhi sektor lainnya
di seluruh dunia. Krisis ekonomi Global terjadi karena permasalahan
ekonomi pasar di seluruh dunia yang tidak dapat dielakkan karena
kebangkrutan maupun adanya situasi ekonomi yang carut marut. Sektor yang
terkena imbasan krisis ekonomi global adalah seluruh sektor bidang
kehidupan. Namun yang paling tampak gejalanya adalah sektor bidang
ekonomi dari terkecil hingga yang terbesar. Sebagai contoh bahwa negara
adidaya yang memegang kendali ekonomi pasar dunia yang mengalami
keruntuhan besar dari sektor ekonominya. Peristiwa ini mengakibatkan
rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam
satu per satu. Bangkrutnya Lehman Brothers langsung mengguncang bursa
saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti di Jepang,
Hongkong, China, Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan,
mengalami penurunan drastis 7 sd 10 persen. Termasuk bursa saham di
kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara.
Tak terkecuali di AS sendiri, Para investor di Bursa Wall Street
mengalami kerugian besar. Dampak Krisis Ekonomi Global terhadap Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia
Krisis keuangan di Amerika Serikat pada awal dan pertengahan tahun 2019
telah menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat Amerika Serikat yang
selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari
berbagai negara di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu
menyebabkan volume impor menurun drastis yang berarti menurunnya ekspor
dari negara-negara produsen berbagai produk yang selama ini dikonsumsi
ataupun yang dibutuhkan oleh industri Amerika Serikat. Oleh karena
volume ekonomi Amerika Serikat itu sangat besar, maka sudah tentu
dampaknya kepada semua negara pengekspor di seluruh dunia menjadi serius
pula, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika
Serikat. Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2019 sebenarnya
bermula pada krisis ekonomi Amerika Serikat yang lalu menyebar ke
negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Krisis ekonomi
Amerika diawali karena adanya dorongan untuk konsumsi (propincity to Consume).
Rakyat Amerika hidup dalam konsumerisme di luar batas kemampuan
pendapatan yang diterimanya. Mereka hidup dalam hutang, belanja dengan
kartu kredit, dan kredit perumahan. Akibatnya lembaga keuangan yang
memberikan kredit tersebut bangkrut karena kehilangan likuiditasnya,
karena piutang perusahaan kepada para kreditor perumahan telah
digadaikan kepada lembaga pemberi pinjaman. Pada akhirnya
perusahaan–perusahaan tersebut harus bangkrut karena tidak dapat
membayar seluruh hutang-hutangnya yang mengalami jatuh tempo pada saat
yang bersamaan. Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut
mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya,
perusahaan-perusahaan besar tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers
dan Goldman Sachs. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan
non-keuangan di seluruh dunia.
Negara Tujuan Utama Ekspor Indonesia Industri yang Terkena Dampak Krisis Keuangan Global
Banyaknya negara yang perekonomiannya terpengaruh secara
langsung itu pada gilirannya juga mempengaruhi negara-negara lain yang
berhubungan dengan transaksi ekspor-impor dengannya. Karena itu, praktis
dapat dikatakan bahwa krisis keuangan Amerika Serikat itu mempengaruhi
perekonomian semua negara di dunia, sehingga juga berdampak pada
terjadinya krisis perekonomian global. Sebagai akibatnya, tingkat
konsumsi menurun dan dengan sendirinya, tingkat produksi juga menurun
dan berdampak pada penurunan daya serap tenaga kerja serta pemutusan
hubungan kerja.
Di Indonesia, yang terkena dampak
dari adanya krisis global adalah sektor riil. Sektor-sektor yang paling
terkena imbas krisis global adalah sektor yang mengandalkan permintaan
eksternal (tradable), seperti industri manufaktur, pertanian, dan
pertambangan. Ketiga sektor ini menyumbang lebih dari 50 persen PDB dan
menyerap lebih dari 60 persen tenaga kerja nasional. Terpukulnya kinerja
sektor-sektor ini pada akhirnya akan berujung pada gelombang pemutusan
hubungan tenaga kerja.erdasarkan data resmi Depnakertrans mengenai jumlah pekerja menurut
potensi PHK dan dirumahkan yang mencakup 11 provinsi, terdapat data-data
sebagai berikut: 1. Sumatera Utara: Rencana yang dirumahkan 10.000 2.
Riau: Jumlah PHK 407, rencana PHK 8.720, jumlah yang dirumahkan 1.000 3.
Sumsel: Jumlah PHK 112 4. Banten: Jumlah yang dirumahkan 1.597 5.
Jabar: Rencana PHK 400, jumlah yang dirumahkan 600, rencana dirumahkan
6.500 6. DKI Jakarta: Jumlah PHK 14.268, rencana PHK 9.757 7. Jawa
Tengah: Jumlah PHK 1.190, jumlah yang dirumahkan 1.025 8. Kalimantan
Barat: Jumlah PHK 496, rencana PHK 5.050, jumlah yang dirumahkan 485 9.
Kalimantan Timur: Jumlah yang dirumahkan 1.890 10. Kalteng: Jumlah
rencana yang dirumahkan 2.591 11. Maluku: Jumlah PHK 515. Jumlah total
berdasarkan data tersebut, Jumlah yang telah di PHK 16.988 pekerja,
jumlah rencana PHK 23.927 pekerja, jumlah yang telah dirumahkan 6.597
pekerja dan jumlah rencana yang dirumahkan 19.091 pekerja. Berdasarkan
hasil analisis dengan memanfaatkan Tabel Input Output Indonesia tahun
2019, diketahui bahwa penurunan ekspor Indonesia sebesar 1% akan
berimbas pada penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor industri
sebesar 0,42%. Selain berimbas ke sektor industri, penurunan ekspor
tersebut juga berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor lain,
terutama sektor pertanian. Secara keseluruhan, penurunan ekspor di
sektor industri akan berdampak terhadap penurunan total tenaga kerja
sebesar 0,17%. Bagi Indonesia, pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat
terjadi di dalam negeri dan di luar negeri. Karena itu, angka
pengangguran dapat meningkat, baik karena (i) terjadinya pemutusan
hubungan kerja di dalam negeri, (ii) pemulangan tenaga kerja yang
hubungan kerjanya diputus di luar negeri, maupun karena (iii) munculnya
angkatan kerja baru yang tidak dapat ditampung oleh kesempatan kerja
yang tersedia, karena tidak adanya investasi baru yang menyerap tenaga
mereka. Dampak Krisis Global di Sektor Buruh Kelas
buruh merupakan kelas yang paling merasakan dampak dari setiap krisis
kapitalisme yang terjadi karena memang kelas buruh merupakan tenaga
produktif yang menggerakan proses produksi sehingga kelas buruh
merasakan secara langsung dari praktik penghisapan di bawah sistem
kpaitalisme. Padahal buruh adalah tenaga yang mampu menghasilkan profit
atau keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan dari proses produksi
yang dilakukan akan tetapi nilai yang dihasilkan diambil oleh para
pemilik modal yang tidak terlibat dalam proses produksi hanya menunggu
hasil saja sehngga keuntungan yang dihasilkan buruh hanya memperkaya
kelas pemilik modal. Krisis global melahirkan persoalan-persoalan baru
disektor perburuhan dan itu berakibat langsung terhadap kelas buruh
diantaranya pertama; melakukan pemotongan upah dengan alasan mengurangi
cost produksi. Upah buruh yang sebelumnya secara kelayakan masih belum
layak alias masih rendah ditambah lagi dengan penurunan upah, hal ini
niscaya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan kaum buruh artinya upah
yang rendah mengurangi daya beli kelas buruh akan barang dan jasa
ditengah tuntuan kebutuhan yang tinggi, harga kebutuhan yang semakin
tinggi juga dengan situasi ekonomi politik yang tidak menunjukkan
keberpihakan pada kelas buruh. Kedua; Kehilangan pekerjaan akibat dari
PHK yang dilakukan perusahaan ataupun akibat penutupan usaha. Tidak
sedikit perusahaan melakukan PHK dan merumahkan kelas buruh akibat dari
krisis sehingga kelas buruh tidak lagi mempunyai pendapatan dan pastinya
tidak akan mampu menjawab kebutuhan hidupnya sekarang maupun
kedepannya. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak krisis global terhadap tenaga kerja di Indonesia
Untuk mengatasi problema ini pemerintah telah mencanangkan suatu
program yang bernama Gerakan Nasional Padat Karya. Gerakan ini
diharapkan dapat benar-benar diikuti oleh segenap potensi yang kita
miliki sebagai bangsa untuk membuat rakyat Indonesia bekerja dan
mempekerjakan dirinya sendiri atau mempekerjakan orang lain
sebanyak-banyaknya. Gerakan ini melibatkan semua lapisan masyarakat
mulai dari pejabat pemerintahan, masyarakat yang hidup di daerah
perkotaan sampai ke masyarakat di pedesaan di seluruh tanah air. Pertama,
perluasan kesempatan berusaha yang sebanyak-banyaknya. Untuk memperluas
kesempatan usaha yang sebanyak-banyaknya, diperlukan berbagai fasilitas
pendukung. Pemerintah perlu mengeluarkan paket kebijakan tersendiri di
bidang perkreditan usaha kecil dan menengah (UMKM), fasilitas
perpajakan, serta bimbingan produksi dan pemasaran di bidang-bidang
pertanian dan perkebunan, nelayan, inudstri kecil dan menengah, industri
pariwisata dan industri kreatif lainnya, serta di bidang perdagangan.
Bimbingan teknologi dan manajemen sangat diperlukan agar para pengusaha
pemula dapat produktif berusaha. Sementara itu, pasar modern seperti
‘super market’ dan ‘mega mall’ dibatasi daerah dan jam kerjanya serta
ditingkatkan beban pajaknya sehingga dapat memacu peningkatan
keseimbangan di antara sektor tradisional dan modern. Kedua,
pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, dan rel kereta api secara
bergotong royong. Pola gotong royong ini sudah lama diabaikan, padahal
dapat dipakai sebagai instrumen untuk menggerakkan program padat karya,
terutama dalam membangun infra struktur jalan, jembatan dan rel kereta
api. Tentu saja, perangkat peraturan yang menunjang untuk itu harus
direvisi, misalnya ketentuan peraturan mengenai administrasi keuangan,
sistim tender proyek, dan sebagainya yang tidak memungkinkan
dilakukannya pola gotong royong. Padahal kelemahan dan kekurangan sistim
non-tender dapat diatasi dengan meningkatkan pengawasan internal dan
eksternal sehingga kebocoran dan korupsi dapat dicegah. Ketiga,
penerapan jadwal kerja industri dan perkantoran secara bergiliran, 2,
atau 3 shift. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah jam kerja dari 8
jam sehari menjadi 12 jam sehari, tetapi dilakukan oleh 2 orang untuk
setiap pekerjaan. Kedua orangnya berbagi jam kerja selama 6 hari,
masing-masing 3 hari kerja atau bekerja selama 6 jam x 6 hari seminggu.
Bahkan, jadwal kerja dapat pula dibagi untuk 3 orang setiap hari untuk
setiap pekerjaan, sehingga setiap orang dapat bekerja 4 jam sehari
selama 5-6 hari seminggu. Dengan pembagian jadwal kerja demikian,
kesempatan kerja dapat dibagikan secara merata, sehingga daya serap
tenaga kerja dapat diperluas dengan tetap menjaga dan meningkatkan
produktifitas kerja dan usaha. Keempat, peningkatan pelatihan
kerja dan pendidikan/pelatihan kembali (remedial education and remedial
training) untuk para sarjana, penyelenggaraan program sarjana masuk
desa, program transmigrasi sarjana masuk. Sekarang, rata-rata ada
sekitar 300-an ribu sarjana yang diproduksi oleh berbagai perguruan
tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Namun, perekonomian
nasional dan pasar tenaga kerja tidak dapat menyerap mereka seluruhnya.
Karena itu, para sarjana baru tersebut dapat dilatih kembali untuk mampu
menciptakan pekerjaan untuk dirinya sendiri atau mengikuti program
transmigrasi sarjana. Kelima, revitalisasi pendidikan menengah
kejuruan (SMK) dan politeknik serta peningkatan relevansi kurikulum dan
program belajar mengajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga
kerja. Dalam upaya meningkatkan relevansi pendidikan nasional,
diperlukan reorientasi kurikulum pendidikan tinggi dan menengah serta
perlunya melakukan revitalisasi pendidikan kejuruan dengan memperkuat
Sekolah Menengah Kejuruan dan Politeknik di setiap kabupaten dan kota di
seluruh Indonesia. Pendidikan kejuruan tersebut diarahkan untuk mengisi
dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri dan di luar negeri,
sehingga setiap murid dapat diwajibkan menguasai 1 bahasa asing, seperti
Inggris, Arab, dll. Solusi lainnya adalah penguatan sektor mikro yang
relatif tidak terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal seperti nilai
tukar, kebutuhan negara lain, keadaan ekonomi politik negara lain, dan
perjanjian dalam forum perdagangan seperti WTO. Sudah saatnya ekonomi
Indonesia berbasis SDM serta SDA asli Indonesia diberi peluang lebih
untuk membangun fondasi perekonomian Indonesia berbasis usaha mikro yang
terbukti lebih tahan terhadap goncangan serta dapat lebih memberdayakan
tenaga kerja negara ini agar tingkat pengangguran semakin berkurang. Dampak krisis terhadap Tenaga kerja informal Dampak krisis global dirasakan 2.068 tenaga kerja informal yang diwawancarai melalui empat pertanyaan yang tercantum dalam Tabel 6.1. Sebagian besar tenaga kerja informal (54%) merasakan dampak krisis
global terhadap pekerjaan mereka serta mengetahui masuknya pekerja
sektor formal yang di-PHK dalam pekerjaan mereka. Tidak ada perbedaan
besar dalam status pekerjaan (+/5%). Di samping itu, hanya 40% pengusaha
informal menyatakan lebih sulit memperoleh order sejak awal krisis
(lihat Gambar 6.1).
KASUS
70.000 BURUH TERANCAM PHK 3 Oktober 2019 | 06:32 WIB BANDUNG, KAMIS
- Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Daerah Jawa Barat Ade Sudrajat
memperkirakan, pada awal 2019 sekitar 70.000 tenaga kerja di provinsi
itu terancam terkena pemutusan hubungan kerja. Kondisi itu terjadi
akibat krisis global yang membuat beban perusahaan semakin berat.
”Pengusaha terpaksa melakukan berbagai efisiensi, termasuk perampingan
jumlah tenaga kerja. Salah satunya karena kegiatan produksi akan
dikurangi, bahkan ada yang dihentikan,” kata Ade di Bandung, Rabu
(22/9). Ade memperkirakan kondisi itu bisa semakin parah jika krisis di
Amerika Serikat dan Eropa tak tertolong. Konsekuensi PHK terpaksa
dilakukan atau setidaknya sebagian besar karyawan dirumahkan sementara.
Jabar adalah sentra industri tekstil utama di Indonesia dengan lebih
dari 700 pabrik tekstil dan menyerap sekitar 700.000 tenaga kerja.
Dampak krisis di AS terasa karena ekspor terbesar tekstil dan produk
tekstil (TPT) Jabar disalurkan ke negara itu. ”Jumlahnya memang hanya 4
persen dari Jabar, tetapi nilainya yang besar. Pada 2019, total nilai
ekspor tekstil Jabar mencapai 4,72 miliar dollar AS. Produk yang diimpor
dari Indonesia antara lain kemeja, blus, piyama, dan baju hangat,” kata
Ade. Pilihan untuk mencari pasar lain di luar AS juga belum tentu bisa
menyelamatkan industri TPT. Menurut Ade, sebenarnya terdapat pertumbuhan
ekspor TPT Jabar ke AS sebesar 2 persen pada 2019. Pertumbuhan itu
terancam setelah krisis terjadi. Turunnya daya beli masyarakat AS
membuat pembelian sandang di negara itu berkurang. Ketua Perhimpunan
Pengusaha Tekstil Majalaya, Bandung, Deden Suwega, menyatakan, mata
pencaharian sekitar 50.000 perajin tekstil dari sekitar 150 industri
kecil dan menengah (IKM) di wilayahnya terancam. Melonjaknya harga bahan
baku impor akibat anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
membuat biaya produksi membengkak hingga 20 persen. ”Industri tekstil
termasuk padat karya. Bisa dibayangkan jika kondisi krisis tak segera
diatasi. Pengangguran akan bertambah dan angka kemiskinan meningkat,”
tutur Deden. Sejumlah pengusaha keramik di Kabupaten Purwakarta bahkan
telah meliburkan karyawan dan tidak tahu kapan akan mempekerjakan mereka
kembali. Menurut Eman Sulaeman, Ketua Pokja Klaster Keramik Plered,
lesunya permintaan ekspor dan pasar domestik membuat pengusaha tak tahu
kapan bisa mempekerjakan karyawan kembali. Ia menambahkan, dari 15
pengusaha yang biasa membuat produk pesanan eksportir, kini hanya enam
pengusaha yang masih berproduksi. Kepala Dinas Tenaga Kerja Purwakarta,
Soekoyo, Selasa, mengatakan, sejauh ini belum ada laporan PHK di 318
perusahaan yang mempekerjakan 155.000 orang di daerahnya. Kerajinan
songket di Palembang, Sumatera Selatan, kini juga terkena dampak krisis
finansial global. Menurut Asmi Astari, pemilik gerai produksi dan
penjualan Astari Songket, Rabu, sepekan ini dia menghentikan produksi
tenun songket karena stok berlebih. Itu terjadi karena sebagian pembeli
luar negeri menghentikan pembelian sejak berlangsungnya krisis global.
”Sebagian pembeli adalah broker dari Singapura dan AS. Sejak Oktober,
mereka menghentikan pesanan,” katanya. Zainal, pemilik Zainal Songket,
menambahkan, puluhan produsen skala kecil dan menengah di Palembang dan
Ogan Ilir sudah menghentikan produksi. Wig masih aman
Berbeda pula dengan industri lain di Jawa Barat dan Palembang, pengusaha
di Purbalingga, Jawa Tengah, meyakini setidaknya hingga akhir 2009
industri rambut masih aman dari dampak krisis finansial global. Hal ini
karena industri rambut palsu (wig) di kabupaten itu umumnya telah
membuat kontrak ekspor satu tahun sampai tiga tahun mendatang dengan
importir asing. Ketua Forum Komunikasi Perusahaan Rambut Purbalingga
Sudiro KS mengungkapkan, beberapa perusahaan bahkan mengalami kenaikan
permintaan dari pembeli di luar negeri hingga 20 persen. ”Produk yang
diekspor ke luar negeri dari Purbalingga saat ini umumnya hasil kontrak
dengan pembeli satu bulan atau dua bulan lalu. Waktu itu krisis belum
benar-benar terjadi,” ujar Sudiro KS yang juga Direktur Utama PT Uro
Mustika, eksportir rambut palsu, Rabu. AKIBAT KRISIS GLOBAL, 2.000 KARYAWAN INDUSTRI TEKSTIL DI PHK 7 October 2019 Semarang – Kalangan industri tekstil di
Jawa Tengah terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) 2.000
karyawannya akibat krisis global yang mulai dirasakan. “Dampak krisis
global memang terasa berat bagi kalangan industri,” kata Ketua Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng, Djoko Wahyudi, di Semarang, Kamis.
Menurut dia, kini ada satu pabrik garmen cukup besar di Kabupaten
Semarang yang mengurangi jumlah karyawannya hingga 2.000 lebih akibat
pasar ekspor menurun. “Akibat pasar ekspor menurun, karyawan yang
sebelumnya berjumlah 10.000 orang terpaksa dikurangi 2.000 orang,” kata
Djoko yang enggan menyebutkan nama pabrik yang telah mem-PHK karyawan.
Ia menjelaskan, bisnis
yang masih aman di Jateng kini hanya yang pemasarannya di tingkat
domestik seperti jamu dan rokok karena dampak krisis global belum
menyentuh sektor riil. Menghadapi situasi seperti ini, Apindo Jateng
mengharapkan pemerintah segera merangsang pasar dalam negeri, memberi
perlindungan, dan mengendalikan moneter. “Kalau pemerintah tidak cepat
bertindak, maka semuanya semakin berat. Pengusaha bisa terus melakukan
pengurangan jumlah karyawan,” katanya. Djoko menambahkan, Kamis (16/10)
petang Apindo membahas kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2009.
“Kita mengharapkan kenaikan UMK disesuaikan dengan inflasi,” katanya PHK AKIBAT KRISIS SUDAH DIMULAI
Selasa, 25 Nopember 2008 | 08:28 WIB Jakarta – Depnakertrans hingga
Jumat (21/11) pukul 16.15 WIB menerima permintaan dari sejumlah
perusahaan di lima provinsi untuk mem-PHK 20.930 pekerja, sedangkan yang
sudah di-PHK sebanyak 1.396 pekerja. Siaran pers Depnakertrans yang
diterima di Jakarta, Senin, menyebutkan kelima provinsi yang mengajukan
PHK dan telah mem-PHK itu adalah Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Kalimantan Tengah dan Maluku Utara. Berdasarkan data tersebut
jumlah pekerja yang dirumahkan dengan yang akan di PHK hampir sama.
Jumlah pekerja yang akan dirumahkan sebanyak 18.891 orang dan yang telah
dirumahkan sebanyak 1.025 orang. Depnakertrans sudah membuat mekanisme
pelaporan kepada dinas-dinas untuk mengirimkan laporan setiap minggu
pada hari Rabu, lengkap dengan nama perusahaannya. Diharapkan minggu
depan laporan tersebut sudah lengkap. Di sisi lain, Depnakertrans juga
menargetkan pelaksanaan pelatihan tahun 2019 akan berjumlah 98.000 orang
dengan mendapat bantuan biaya pelatihan, baik untuk pelatihan yang ada
di balai latihan kerja (BLK) pemerintah maupun swasta. Tahun ini
Depnakertrans sudah mengalokasikan dana stimulan langsung ke unit
pelatihan masing-masing, baik melalui dinas maupun langsung ke BLK.
Instansi itu mengharapkan Pemda turut serta mengalokasikan dana bagi
pelatihan warganya. Sebagian lulusan BLK terserap oleh pasar kerja uar
negeri. Pada tahun 2019 terdapat 1.000 lulusan BLK yang bekerja di Timur
Tengah. Saat ini terdapat 11 unit pelaksana teknis pelatihan (UPTP)
yang dibina oleh pusat, dan 2 UPTD lagi akan diserahkan ke pusat, yaitu
UPTD Sumatera Barat di Padang dan UPTD Kendari. Total UPTP yang ada saat
ini sebanyak 161, sedangkan lembaga pelatihan swasta lebih dari 5.000
dengan berbagai macam jenis pelatihan. Tahun 2009 ditarketkan 120.000
orang yang akan dilatih. Ditjen Bina Pelatihan Depnakertrans pada 29
November 2018 juga akan mengadakan lokakarya di Cives Bekasi yang akan
mengundang sejumlah industri yang ada di Kabupaten Bengkalis, Propinsi
Riau. Tujuannya untuk memperkenalkan program pelatihan dan manfaatnya
bagi calon pekerja.
ANALISIS KASUS
Berdasarkan
dari beberapa artikel yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,
artikel tersebut memiliki kasus yang sama. Artikel tersebut membahas
adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan terhadap tenaga
kerjanya secara besar-besaran akibat adanya krisis global.
Perusahaan-perusahaan yang terkena dampak krisis global adalah
perusahaan yang bergerak pada sektor rill dan tergantung pada permintaan
eksternal seperti industri manufaktur, pertanian, pertambangan. Dan
pada kasus dalam artikel di atas, salah satu contohnya adalah industri
tekstil, yang mana industri ini adalah industri manufaktur dan pada
umumnya mereka berorientasi ekspor.
Telah diketahui sebelumnya,
pasar ekspor tujuan industri tekstil adalah Amerika Serikat (AS). Di
Indonesia, Jawa Barat adalah sentra utama industri tekstil dengan lebih
700 pabrik dan menyerap sekitar 700.000 tenaga kerja. Industri tekstil
ini mengekspor kemeja, blus, piyama, baju hangat, dan produk-produk
tekstil lainnya ke Amerika Serikat (AS). Industri ini terancam dengan
adanya krisis global yang bermula dari adanya penurunan daya beli
masyarakat AS terhadap pembelian akan sandang. Adanya penurunan daya
beli masyarakat negara tujuan ekspor, maka permintaan akan produk
tekstil berkurang, dan berdampak pada tingkat profitabilitas perusahaan
yang rendah. Sedangkan di sisi lain, kegiatan produksi tetap berjalan
dengan biaya produksi yang semakin meningkat. Perlu diketahui, bahan
baku industri tekstil adalah kapas dan fiber yang mana bahan baku
tersebut adalah impor karena di Indonesia jumlahnya tidak mencukupi
untuk proses produksi. Karena bahan baku mereka impor, dengan adanya
krisis global membuat biaya bahan baku melonjak dan semakin meningkatkan
biaya produksi perusahaan. Selain biaya bahan baku yang melonjak,
perusahaan juga harus menanggung biaya upah tenaga kerja mereka. Dengan
adanya kenaikan biaya produksi dan rendahnya profit yang diperoleh, maka
mau tidak mau mereka mengurangi kegiatan produksi dan melakukan
berbagai upaya efisiensi termasuk perampingan jumlah tenaga kerja.
Dengan banyaknya tenaga kerja yang terserap oleh industri ini, maka bisa
dikatakan industri ini termasuk industri padat karya. Jadi bisa
dibayangkan, dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara
besar-besaran akan berdampak pada jumlah pengangguran di Indonesia
semakin meningkat. Meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia maka
tingkat kemiskinan juga semakin tinggi, karena banyak penduduk yang
tidak memiliki penghasilan. Pengangguran sebenarnya bukan masalah baru
di Indonesia. Pengangguran sendiri, adalah suatu kondisi dimana terjadi
kelebihan jumlah pekerja yang ditawarkan dibandingkan permintaan.
Jenisnya sendiri terbagi menjadi pengangguran friksional, struktural,
siklis,dan musiman. Dan kondisi pengangguran yang akan kita alami adalah
pengangguran siklis. Karena pengangguran ini disebabkan adanya imbas
dari naik turunnya kondisi ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja
lebih rendah dari penawaran. Memang selalu tejadi trade-off antara
pengangguran dengan tingkat inflasi, seperti yang tergambarkan jelas
dalam Kurva Philip. Dimana saat angka pengangguran ingin diturunkan,
angka tingkat inflasi akan meninggi,dan begitupun sebaliknya, disaat
kita ingin menurunkan tingkat inflasi , angka pengangguran menjadi
tinggi. Diperlukan keadaan equilibrium yang sesuai antara kedua
trade-off di atas, dan tentu saja krisis global ini akan mengganggu
kestabilan kurva tersebut. Selain itu di Indonesia sendiri terjadi miss
antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, ketidak mix and match-nya
tenaga kerja dengan pendidikan. Misalnya saja, perusahaan banyak
membutuhkan tenaga ahli yang bergerak dibidang mesin namun justru lebih
banyak orang memilih untuk belajar ilmu kedokteran atau ekonomi yang
realitanya, di kota-kota besar telah terjadi surplus tenaga kerja dalam
bidang tersebut. Paradigma-paradigma seperti inilah yang harusnya diubah
dan lebih diarahakan oleh pemerintah. Menurut kami ada beberapa solusi
yang dapat dilakukan oleh pemerintah: * Menggalakkan UKM ( Usaha Kecil Menengah )
Menurut kami. UKM sangat penting dalam menunjang perekonomian
masyarakat kecil sekaligus industri yang banyak menyerap tenaga kerja.
Namun ternyata UKM jugalah yang paling resist terhadap dampak dari
krisis global. UKM khususnya yang bergerak di tingkat lokal tidak akan
terpengaruh oleh carut-marutnya stock-exchange di dunia, tidak akan
terpengaruh oleh menurunnya impor dari negara lain, dan tentu saja tak
terpengaruh oleh intervensi politik. * Memberikan stimulus bagi dunia usaha
Menurut kami pemerintah harus memberikan stimulus kepada dunia usaha
seperti penurunan tingkat pajak agar meningkatkan kegiatan
produktitivitas perusahaan dan dapat menyerap tenaga kerja dan mencegah
adanya PHK. Peningkatan investasi dan tingkat konsumsi yang produktif
harus maju beriringan sehingga produksi dapat meningkat.
Kebijakan-kebijakan pemerintah juga harus mendukung baik kebijakan dalam
maupun luar negeri. * Diversifikasi negara tujuan ekspor
Selama ini kita terfokus untuk melakukan ekspor ke Amerika Serikat dan
beberapa negara lainnya, sedangkan negara-negara lain kurang mendapat
perhatian. Karena itu perlu adanya diversivikasi terhadap negara tujuan
ekspor sehingga kekacauan perekonomian yang melanda suatu negara tak
akan berdampak terlalu besar terhadap negara kita * Pemerintah harus menjadi mitra usaha dan stakeholder yang baik bagi pebisnis.
Pemrintah perlu melakukan perbaikan pelayanan birokrasi dan mempermudah
perizinan usaha adalah salah satu langkah konkret yang dapat mulai
dijalankan seperti pemberantasan korupsi dan stabilitas ketersediaan
energi juga merupakan hal-hal yang harus segera dibenahi.
![]() |
Sumber: Asosiasi Pengusaha Indonesia, Gabungan Pengusaha Makanan & Minuman, dan Indonesia Property Watch. |
0 comments:
Post a Comment