SERANG –
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan September 2019 lalu,
masih ada 641,42 ribu orang miskin di Banten. Susenas yang dilaksanakan Badan
Pusat Statistik (BPS) menggunakan jumlah sampel 1.690 rumah tangga.
Peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan mencapai 71,61
persen. Lima komoditas makanan yang paling memengaruhi garis
kemiskinan, yakni beras, rokok kretek filter, roti, telur ayam ras,
daging ayam ras, serta mi instan
Hal itu
disampaikan Kepala BPS Banten Adhi Wiriana saat rilis angka kemiskinan di
Banten di kantor BPS Provinsi Banten, KP3B, kemarin.
Adhi menyampaikan, angka kemiskinan di Tanah Jawara ini mengalami
penurunan 0,15 poin dibandingkan periode sebelumnya (Maret 2019) yang
sebesar 5,09 persen. Hal itu sejalan dengan berkurangnya jumlah penduduk
miskin 13,04 ribu orang dari 654,46 ribu orang pada Maret 2019 menjadi
641,42 ribu orang pada September 2019.
Dari delapan kabupaten kota di Banten, angka kemiskinan paling banyak
di Kabupaten Lebak. “Kalau paling rendah di Kota Tangsel,” ujar Adhi,
Kamis (15/1).
Adhi mengatakan, peranan komoditas non-makanan penyumbang terbesar
garis kemiskinan, yaitu biaya perumahan, bensin, listrik, pendidikan,
dan perlengkapan mandi. Meskipun angka kemiskinan yang dirilis BPS
kemarin mengalami penurunan, tetapi garis kemiskinan justru mengalami
kenaikan. Selama periode Maret-September 2019, garis kemiskinan naik
sebesar 4,83 persen, yaitu dari Rp462.726 pada Maret menjadi Rp485.096
per kapita per bulan pada September 2019.
Penduduk yang dinyatakan miskin, yakni yang berada di bawah garis
kemiskinan. Yaitu, yang memiliki pendapatan di bawah Rp485.096 per
kapita per bulan. “Angka kemiskinan ini kemiskinan makro yang hanya
memiliki satu kriteria, yakni mengacu pada garis kemiskinan,” terangnya.
Ia mengungkapkan, penurunan angka kemiskinan selama Maret sampai
September 2019 terjadi tidak hanya di perkotaan, tapi juga di perdesaan.
Persentase penduduk miskin di perkotaan turun dari 4,12 menjadi 4,00
dan persentase penduduk miskin di perdesaan turun dari 7,49 menjadi
7,31.
Adhi menjelaskan, beberapa faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan
antara lain laju pertumbuhan ekonomi triwulan III 2019 sebesar 5,41
persen yang sedikit lebih rendah dibandingkan pada triwulan I sebesar
5,42 persen. Selain itu, nilai tukar petani pada September 2019 sebesar
102,11 lebih tinggi dibanding Maret 2019 sebesar 100,14.
“Upah nominal buruh tani per hari pada September naik sebesar 1,25
persen dibandingkan Maret. Yaitu, dari Rp63.080 menjadi Rp63.871,”
paparnya.
Kata dia, angka kemiskinan tidak selamanya berkorelasi dengan angka
pengangguran terbuka. Seperti diketahui, BPS juga pernah merilis angka
pengangguran di Banten pada periode Agustus 2019 merupakan yang paling
tinggi se-Indonesia, yakni sebesar 8,11 persen atau 490,8 ribu warga
Banten menganggur.
Adhi menjelaskan, warga yang menganggur belum tentu miskin karena
asetnya banyak. Sebaliknya, orang yang bekerja bisa saja miskin karena
pendapatan per kapitanya di bawah garis kemiskinan. “Apalagi kalau
melihat angka pengangguran, pendidikannya tinggi. Sedangkan angka
kemiskinan, rata-rata pendidikannya SD,” tuturnya.
Melihat peranan komoditas makanan sangat memengaruhi angka
kemiskinan, Adhi berharap pemerintah daerah dapat memperhatikan bantuan
dalam bentuk makanan seperti rastra. Selain itu, adanya bencana yang
terjadi di Kabupaten Lebak juga diperkirakan akan memengaruhi angka
kemiskinan di daerah tersebut.
“Bisa saja naik karena rumah mereka hancur, mereka tak punya lagi pekerjaan,” terangnya.
Namun, bisa saja kondisi daerah tersebut semakin baik apabila banyaknya bantuan dan donatur ke daerah tersebut.
Ia juga
menguraikan, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten mengalami
penurunan. yakni 0,361 atau turun 0,004 poin jika dibandingkan dengan Maret
2019 sebesar 0,365.
“Artinya pengeluaran penduduk masih berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah,” tuturnya.
0 comments:
Post a Comment