KOTA TANGERANG – Pengamat hukum Akhwil menyorot
hiruk pikuk hak masyarakat atas tanah dan bangunan yang mereka tempati
puluhan tahun tiba-tiba digusur oleh pemerintah untuk kepentingan umum.
Namun tidak diberikan haknya dengan dalih tidak memiliki alas hak atas
tanah.
Menurut Akhwil, pertimbangan dalam penyediaan tanah untuk pembangunan
nasional, seringkali terhambat oleh pemanfaatan tanah oleh masyarakat
dalam waktu lama. Pemerintah perlu menangani dampak sosial
kemasyarakatan.
Atas pertimbangan tersebut, lanjut Akhwil, tercatat pada 6 Agustus
2018, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial
Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional.
“Perpres Nomor 62 Tahun 2018 itu menjadi regulasi teknis pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum,” ujar Akhwil saat ditemui BantenNews.co.id Jumat
(31/1/2020).
Disebutkan dalam Perpres ini, pemerintah menangani dampak sosial
kemasyarakatan kepada Masyarakat yang menguasai tanah yang digunakan
untuk pembangunan nasional, baik proyek strategis nasional dan non
proyek strategis nasional.
“Tanah sebagaimana dimaksud merupakan tanah negara atau tanah yang
dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara,
atau badan usaha milik daerah,” kata Akhwil sesuai bunyi Pasal 3 ayat
(2) Perpres ini.
Untuk itu, Perpres ini menugaskan kementerian/lembaga, pemerintah
daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah yang
tanahnya akan digunakan untuk pembangunan nasional dan dikuasai oleh
masyarakat menyusun dokumen rencana Penanganan Dampak Sosial
Kemasyarakatan.
Adapun masyarakat yang dimaksud adalah memiliki identitas atau
keterangan kependudukan yang disahkan oleh kecamatan setempat dan tidak
memiliki hak atas tanah yang dikuasainya.
Sementara penguasaan tanah oleh masyarakat sebagaimana dimaksud,
memenuhi persyaratan antara lain telah menguasai dan memanfaatkan tanah
secara fisik paling singkat 10 tahun secara terus-menerus dan menguasai
atau memanfaatkan tanah dengan itikad baik secara terbuka, serta tidak
diganggu gugat, diakui dan dibenarkan oleh pemilih hak atas tanah
dan/atau lurah/kepala desa setempat.
“’Masyarakat yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud diberikan
santunan berupa uang atau relokasi,’ bunyi Pasal 6 Perpres ini,” papar
Akhwil.
Dokumen sebagaimana dimaksud diserahkan kepada Gubernur, yang
selanjutnya membentuk Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial
Kemasyarakatan.
Selain memverifikasi dan memvalidasi data atas bidang tanah yang
dikuasai masyarakat, menurut Perpres ini, Tim Terpadu juga bertugas
menunjuk pihak independen untuk menghitung besaran nilai santunan,
merekomendasikan besaran santunan, dan merekomendasikan daftar
masyarakat yang berhak untuk mendapatkan santunan.
“Seharusnya besaran santunan dihitung berdasarkan penilaian pihak
independen dengan memperhatikan biaya pembersihan segala sesuatu yang
berada di atas tanah, mobilisasi, sewa rumah paling lama 12 bulan dan
atau tunjangan kehilangan pendapatan dari pemanfaatan tanah,” kata
Akhwil Koordinator Bidang Advokasi dan Bantuan Hukum KIN Pusat.
Di sisi lain, dipaparkan Akhwil melihat kasus terdahulu antara warga
dengan pemerintah daerah setempat di Palem Semi Kota Tangerang menuai
konflik. Serta kasus terbaru pembebasan lahan Runway 3 Bandara Soetta di
Kosambi Kabupaten Tangerang tengah konflik warga Kalibaru dengan
perusahaan BUMN PT Angkasa Pura II (Persero).
“Itu semua karena tim pengadaan tanah untuk kepentingan umum
notabenenya melibatkan pemerintah daerah setempat, tidak memperhatikan
regulasi yang sudah ditetapkan oleh Presiden Jokowi,” tandas Akhwil.
Timbul pertanyaan bagi Akhwil apakah ini merupakan unsur kelalaian
atau kesengajaan. “Jadi persoalannya jangan dibalik masyarakat yang
digugat perbuatan melawan hukum, padahal unsur kesalahan berdasarkan
regulasi tersebut ada pada tim pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
apakah ini bentuk suatu dari arogansi kekuasaan.”
0 comments:
Post a Comment