Kecewa dengan pemimpin karena dinilai tidak adil, tidak merakyat,
kejam, bahkan bertindak sesuka hatinya? Wajar saja, tidak semua pemimpin
memiliki hati yang bersih, dan tidak semua rakyat mau memilih pemimpin
yang hatinya bersih. Hanya saja, kita beruntung masih bisa kecewa. Kenapa?
Karena
dengan kecewa, ternyata kita masih bisa menilai mana yang benar dan
mana yang salah, tanpa harus mencampur-adukkan keduanya. Setidaknya
banyak dari kita yang masih punya kemurnian hati dan harapan agar negeri
ini bisa maju dan dikendarai oleh pemimpin yang adil.
Namun,
harapan ini terus-menerus tergusur dengan kenyataan bahwa banyak sekali
pemimpin-pemimpin kita yang berkelakuan zalim. Mulai dari Kepala Desa
yang beberapa kali tertangkap tangan menggelapkan dana desa,
Bupati/Gubernur yang senantiasa tak memperhatikan daerah-daerah
tertinggal, hingga para menteri yang bergantian dalam korupsi.
Jangan
pula lupa dengan anggota-anggota DPR yang nyatanya tidak amanah, tidak
menyampaikan keluh rakyat dan senantiasa memanggang aspirasi rakyat
hingga gosong sebelum sampai di meja rapat.
Begitu
pula dari kebijakan-kebijakan "menindas" yang telah mereka orbitkan.
Dan hebatnya, rakyat kerap kali salah sasaran dalam menguntai keluhnya.
Misalnya, ada para pengusaha daerah yang mengecap bahwa Menteri Keuangan
bertindak zalim karena terus-menerus menaikkan pungutan pajak.
Para pengusaha daerah tersebut terus berdatangan via media sosial dan mengeluhkan bahwa Menteri Keuangan "zalim amat", padahal kebijakan tentang pungutan pajak dan retribusi daerah tidak melulu dibuat oleh Menteri Keuangan.
Lagi-lagi,
ini hanyalah salah satu pungutan kisah dari serakan paradigma bahwa
banyak sekali pemimpin negeri ini yang senantiasa menyalahgunakan
amanah, dan lupa dengan sumpah sucinya. Padahal mereka dulunya adalah rakyat juga kan?
Rakyat Zalim, Pemimpinnya Zalim
Karena
pemimpin itu asalnya dari rakyat, maka timbul persepsi bahwa kebaikan
maupun keburukan seorang pemimpin adalah bawaan sifat saat mereka masih
menjadi rakyat. Bahkan itu bukanlah sekadar persepsi, karena kita
sebagai rakyat sudah berulang kali tertindas oleh kebijakan-kebijakan
yang memberatkan.
Sebut saja seperti kebijakan perpanjangan masa
pensiun pegawai, pemutusan kontrak tenaga/guru honorer, kebijakan impor
yang menghancurkan harga bahan pokok tanah air, dan kebijakan-kebijakan
lainnya.
Kebijakan-kebijakan ini
sekilas tampak adil, bahkan menguntungkan. Tapi sayang, adilnya masih
subjektif, begitu juga dengan yang dapat untung. Dan parahnya, yang
tertindas adalah rakyat kecil dengan ekonomi menengah ke bawah.
Pemimpinnya? Tetap bersenyum ria sembari menepis keluh dan celaan. Huuhh.
Dari
sini agaknya perlu kita kuliti bagaimana sikap pemimpin saat ia menjadi
rakyat. Pemimpin yang hobi suap bukan tidak mungkin saat ia menjadi
rakyat kecil sering menerima suap. Walau sekadar sebungkus rokok ataupun
sekardus mie instan untuk satu suara, tetap saja itu kebiasaan buruk.
Atau
memang sengaja saat ia mencalonkan diri sebagai pemimpin, ia
mengumpulkan suara dengan cara menyuap rakyat dan teman-temannya.
Ratusan juta bahkan miliaran bukanlah soal, toh nanti bisa segera
kembali dalam waktu 1-2 tahun. Jika rata-rata calon pemimpin bersikap
seperti ini, maka sungguh macet negeri kita.
Selain itu, kezaliman
pemimpin bisa bisa terjadi tanpa disangka-sangka, bahkan beberapa kali
menyalahkan kenyataan yang selama ini kita yakini. Misalnya, sosok
pemimpin itu kita kenal sangat baik saat menjadi rakyat. Ketika mereka
jadi pemimpin tingkat Kepala Desa, Camat, bahkan Bupati, sikap baik dan
adil mereka tidak berubah.
Namun
ketika jabatannya sudah naik menjadi Gubernur, DPR, Menteri, bahkan
presiden, semua sikap baik dan adil itu berubah drastis. Dari kebaikan
yang murni menjadi kebaikan kepada oknum tertentu saja.
Dari
keadilan objektif menjadi keadilan untuk kelompoknya saja. Bahkan
muncul kesombongan, aniaya, dan sewenang-wenang dalam memimpin.
Kebaikan
dan keadilan yang selama ini kita yakini ternyata hanya sekadar
bungkusnya saja. Bahkan, kebaikan itu hanyalah berupa pengawet makanan
yang tinggal menunggu tanggal kedaluwarsa saja. Kenapa demikian?
Lemahnya iman menjadi salah satu alasan terkuat mengapa para pemimpin
bisa berubah sikap menjadi zalim. Dengan iman yang lemah, maka kekuatan
diri untuk menahan nafsu juga ikut terlemahkan.
Jadi, wajar saja
ada pemimpin baik saat masih menjabat didaerah namun menjadi jahat
ketika menjabat di negara. Nafsu perut yang terus merasa kelaparan
seakan kenyang sesaat setelah melihat nominal uang yang angka nol-nya
panjang ke kanan.
Beberapa waktu kemudian, timbullah perasaan
gundah tentang bagaimana mengolahnya. Tapi, bisikan yang lebih kuat
bahkan memekakkan telinga kanan adalah "bagaimana caranya semua masuk ke
perut saya!"
Karena kurangnya
iman, tentu saja saja telinga kiri akan pura-pura tuli dengan sumpah
suci masa lalu. Bahkan, karena sudah tuli, mata mereka ikut-ikutan buta
walau sudah berkali-kali memandang dan membaca berjuta kesedihan yang
dialami rakyat. Semoga hati mereka tak ikut-ikutan buta!
Rakyat Baik Pemimpinnya Baik
Sebaiknya,
pengertian "baik" bagi pemimpin di sini adalah murni dan utuh tanpa ada
ketimpangan, tanpa ada celah, dan tanpa ada yang kurang suatu apapun.
Untuk itu, jangan ada nafsu yang melapisi bahkan mencederai pengertian
baik itu.
Pemimpin yang baik berawal dari rakyat yang baik dan
punya keteguhan iman yang kokoh. Akan percuma jika pemimpin itu baik
kemudian ia tak punya iman, karena nantinya akan terlemahkan dengan
nafsu yang menghancurkan.
Memang
benar bahwa setiap rakyat bahkan pemimpin tidak ada satupun yang bisa
mencapai pengertian baik secara hakikat, karena mereka juga manusia.
Hanya saja, usaha untuk mencapai kebaikan yang hakiki perlu terus
dilakukan.
Dan
jika usahanya adalah untuk mencapai kesejahteraan, ketentraman,
kedamaian, dan kemajuan negeri, maka tidak cukup dilakukan oleh para
pimpinan saja. Rakyat pula harus ikut andil dan berpartisipasi dalam
memajukan negeri ini, tentu saja dengan cara yang baik.
Komunikasi
dua arah menjadi salah satu opsi penting dalam mendukung kemajuan
negeri. Jika kita adalah rakyat, maka kita bisa dengan lembut memberi
teguran, menyampaikan aspirasi dan keluhan, serta mengusulkan cara-cara
bijaksana serta inovatif untuk memajukan negeri.
Jika kita adalah
pemimpin, maka kita bisa untuk menyampaikan informasi secara jelas
kepada rakyat terkait dengan kondisi negeri ini. Kita pula bisa membuat
kebijakan-kebijakan yang bijaksana dengan cara mendengar aspirasi,
keluhan, dan usulan rakyat.
Karena biar bagaimanapun bagusnya
kebijakan menurut penilaian pemimpin, tetap saja rakyat yang
menjalankannya. Rakyat juga yang akan merasa sakit atau bahagia.
Dan
rakyat juga yang dapat menilai bahwa mereka sedang teraniaya,
tertindas, atau malah tersejahterakan. Untuk itu, penting bagi rakyat
dan pemimpin untuk duduk, sakit, dan bahagia bersama.
Lagi-lagi
harus dengan cara yang baik. Meskipun kenyataan saat ini begitu pahit
untuk dicicipi, tetap saja kita sebagai rakyat tak bisa melulu terus
merebusnya dengan celaan.
Sejenak
kita bisa lihat Fir'aun. Fir'aun adalah contoh seburuk-buruknya
pemimpin, namun umat Nabi Musa tak pernah melakukan aksi demonstrasi
padanya.
Bahkan, umat Nabi Musa malah diperintahkan Tuhan untuk
berbicara dengan lemah lembut kepada Fir'aun, sekalian berharap agar dia
ingat atau takut. Padahal Fir'aun sudah sangat keterlaluan dan mengakui
dirinya sebagai Tuhan, tetap saja Tuhan memberikannya kesempatan untuk
bertaubat.
Semestinya, begitu juga sikap kita sebagai rakyat dalam
menghadapi dan menyikapi pemimpin yang zalim. Jangan keterlaluan
bertindak, jangan pula antipati. Selagi pemimpin itu masih manusia,
yakinlah bahwa mereka bisa berubah. Mari kita tolong mereka.
Karena
sejatinya, perwujudan menolong pemimpin yang zalim adalah dengan
membebaskan diri mereka dari perilaku zalim, bukan malah memusnahkan
mereka dari muka bumi ini.
Salam.
0 comments:
Post a Comment