![]() |
JAKARTA - Guna mencapai peringkat kemudahan berusaha atau Ease of
Doing Business (EoDB) pada posisi 40 dari 190 negara, koordinasi antara
pemerintah daerah dan pusat mesti diperkuat agar terjadi kesinambungan
kebijakan. Reformasi regulasi dan birokrasi terhadap pelayanan dan izin
usaha juga harus sejalan dengan kebijakan percepatan pelaksanaan
berusaha.
Ekonom UII Yogyakarta, Suharto, mengatakan koordinasi akan
memudahkan penyelesaian masalah dan memudahkan investor dalam
mendapatkan informasi guna mengetahui potensi-potensi daerah.
“Pemerintah pusat sebenarnya sudah melakukan reformasi perizinan
melalui pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau
Online Single Submission (OSS) dan peraturan tentang
percepatan pelaksanaan berusaha, namun dalam praktiknya pengusaha masih
terbentur oleh segala jenis perizinan yang menyulitkan,” kata Suharto
saat dihubungi, Jumat (14/2).
Suharto kemudian mencontohkan pendirian rumah sakit di Provinsi DI
Yogyakarta yang terganjal oleh izin amdal pengelolaan limbah. Namun, di
sisi lain banyak bisnis yang secara kasat mata sulit mendapatkannya
justru malah mudah dapat amdal.
“Aneh bin ajaib soal-soal perizinan dan amdal ini, semua serbakabur. Dengan Omnibus Law, semestinya hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi, yakni perizinan cenderung jadi seperti ATM,” tandas Suharto.
Menurut Suharto, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah akan
menjadi kunci utama bagi level kemudahan bisnis di Indonesia. Sebab
selama ini, baik investasi di tambang yang merusak, kebakaran hutan,
investasi lain di daerah, semua terlalu kuat di daerah sebagai
konsekuensi otonomi daerah.
Namun, napas otonomi daerah nyatanya gagal diterjemahkan menjadi percepatan perbaikan di daerah dalam koridor good governance.
Sebaliknya, kepala daerah menjadi raja-raja kecil yang rentetannya
membuat sistem politik secara nasional karut-marut karena semua berebut
kue di daerah. “Sudah saatnya ada evaluasi yang tepat untuk mengubah
corak perizinan dan birokrasi di daerah menjadi berdaya saing,”
jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memerintahkan para menteri untuk
mengakselerasi peringkat EoDB Indonesia agar berada di posisi 40 dari
190 negara yag disurvei Bank Dunia. Menurut Presiden, ada empat komponen
mesti dibenahi karena berada pada peringkat di atas 100, yakni memulai
usaha (starting a business) yang peringkatnya masih di 140, kemudian perizinan mendirikan bangunan (dealing with construction permit) masih di posisi 110.
Selanjutnya, pendaftaran properti (registering property) yang justru naik ke level 106, dan perdagangan lintas negara (trading across border) yang stagnan pada posisi 116.
Perkuat Pengawasan
Dihubungi terpisah, pakar hukum Universitas Airlangga (Unair)
Surabaya, Suparto Wijoyo, mengatakan investasi tidak akan jalan kalau
tidak ada kepastian hukum. “Untuk itu, penerapan perizinan berusaha
terintegrasi secara elektronik masih perlu didukung pengawasan untuk
memperkuat kepastian hukum,” katanya.
Suparto menjelaskan kepastian hukum adalah dasar kemudahan berbisnis
itu sendiri karena investasi tanpa kepastian hukum adalah manipulasi.
“Kemudahan perizinan, lahan, perekrutan tenaga kerja, pajak,
perselisihan usaha, dampak lingkungan, semua tetap harus diatur oleh
hukum, dan dilaksanakan dengan pengawasan. Karena belum tentu bisnis
yang legal akan berjalan tanpa menabrak aturan, dan merugikan pihak
lain,” ujarnya.
Menurut Suparto, kalau semua mata rantai dipenuhi dengan mekanisme
investasi yang jelas, bisnis akan berkelanjutan, terkontrol, dan
tercapai target nilai investasi yang diharapkan.
“Pengawasan dan penerapan sanksi mesti adil dan tidak cari-cari.
Jangan ada satu perusahaan melanggar ditindak, sementara yang lain
tidak. Ini yang membuat kepastian hukum kita diragukan. Kepastian hukum
tidak boleh mengkhianati investasi,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, peneliti ekonomi Indef, Bhima Yudhistira
Adhinegara, mengatakan selain permasalahan regulasi, kemudahan berbisnis
juga ditentukan oleh kemudahan perizinan dan kepastian hukum.
“Selain regulasi, kemudahan berbisnis juga ditentukan oleh komponen
lain yaitu infrastruktur kelistrikan yang memadai, akses pembiayaan
yang mudah didapat pengusaha dan biaya bunga yang rendah, tarif pajak
yang kompetitif, perlindungan terhadap investor minoritas. Tapi,
terpenting lagi kepastian hukum,” ujar Bhima.
Bhima mengatakan kepastian hukum juga berhubungan dengan keputusan pemerintah maupun pengadilan.
“Keputusan pemerintah mesti memberikan kepastian berusaha, bukan
untuk dimanfaatkan oleh pemburu rente. Demikian juga keputusan
pengadilan, mesti memberikan efek jera sehingga tidak lagi terulang
kasus korupsi atau kasus hukum lainnya,” katanya.
0 comments:
Post a Comment