Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Fajri Nursyamsi, Terkait Pembahasan RUU Cipta Kerja
|
Keinginan Presiden Joko Widodo untuk membereskan sejumlah
undang-undang yang saling tumpang tindih dan menghambat masuknya
investasi modal asing ke dalam negeri, makin mendekati kenyataan.
Naskah akademik atau draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah diserahkan Pemerintah ke DPR RI, Rabu (12/2). Bagaimana pembahasan RUU yang kerap disebut RUU Sapu Jagat ini, Koran Jakarta mewawancarai
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, di Jakarta, Jumat (14/2). Berikut
petikannya.
Bagaimana pandangan Anda mengenai RUU Omnibus Law yang drafnya baru diserahkan ke DPR?
Sebenarnya secara garis besar dari segi proses dan substasi ada
permasalahan. Prosesnya memang yang paling kentara karena kurangnya
partisipasi publik mulai dari tahap sebelum usulan pemerintah masuk ke
DPR itu harusnya sudah membuka partisipasi publik. Sebab sebenarnya
kuncinya ada di penyebarluasan draf sejauh ini nggak ada draf yang tersebar secara resmi.
Apa masih sangat kurang pelibatan masyarakat?
Pelibatan hanya kepada kepala daerah pengusaha yang sifatnya elitis.
Padahal, RUU ini akan sangat berdampak pada kelompok di luar itu seperti
buruh, wirausaha, dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Lingkup dari
dampak peraturan ini sangat luas. Jadi, pertama itu kelompok masyarakat
yang harus dilibatkan itu seharunya menyeluruh, bukan tertentu saja.
Jika begitu adakah cara agar dapat mengakomodir kepentingan pemerintah dan buruh?
Langkah pertama adalah pelibatan pembentukan jangan hanya dianggap
urusan pemerintah saja, tapi publik harus dilibatkan. Tidak adanya
kelibatan justru akan memperkeruh suasana akan muncul rasa saling
curiga dan permasalahannya tidak akan selesai. Oleh karena itu, fungsi
pertama adalah pelibatan berikan draf yang resmi itu seperti apa.
Makanya karena belum disahkan pelibatan itu menjadi penting.
Respons DPR sendiri harus seperti apa?
DPR kan sudah dapat draf resminya DPR itu sebenarny punya fungsi legislasi dan pengawasan untuk melibatkan pemerintah. Nah ini
perannya sangat strategis karena protes atau keberatan dari publik itu
seharusnya tecermin dari DPR untuk menjalankan fungsi sebagai lembaga
perwakilan.
Keterlibatan buruh diperlukan untuk menyampaikan aspirasi apa hanya sekadar kehadiran?
Sebagai sebuah proses pembentukan peraturan memang kewenangan ada di
pemerintah dan DPR. Tapi pelibatan masyarakat menjadi syarat juga
dalam UU pelibatan konstituen atau publik itu menjadi salah satu langkah
yang harus dicapai. Karena tidak bisa langsung masuk ke dalam
persetujuan kalau belum melakukan uji publik, Rapat Dengar Pendapat
(RDP) dan seterusnya. Nah ketika pelibatan ini memang seharusnya ada forum RDP dan Rapat Dengar Pemdapat Pendapat Umum (RDPU).
Presiden ingin pembahasan RUU selesai 100 hari kerja. Apakah hal itu bisa tercapai?
Pertama itu bukan syarat mutlak. Itu hanya sebuah keinginan dan
rencana, jadi tidak ada keharusan sebuah UU itu harus diselesaikan dalam
jangka waktu 100 hari bahkan banyak contoh UU itu diselesaikan lebih
dari 100 hari. Kedua bahwa apakah ini akan cepat selesai? Saya pikir
seharusnya yang jadi indikator itu bukan waktu, akan tetapi seberapa
terbuka dan banyak pihak yang sudah terakomodir kepentingannya. Itu
seharusnya yang menjadi patokan
0 comments:
Post a Comment