JAKARTA – Presiden Joko Widodo ingin tingkat kemudahan berusaha atau ease of doing business (EODB)
di Indonesia meningkat signifikan dengan perbaikan pada beberapa
indikator yang selama ini dinilai masih kurang efisien.
“Kita tahu posisi kita di peringkat 73 meskipun kalau kita lihat dari
2014 berada di posisi 120, sebuah lompatan yang baik, tapi saya minta
agar kita berada pada posisi di 40,” kata Presiden saat memimpin rapat
terbatas bertema Akselerasi Peningkatan Peringkat Kemudahan Berusaha, di Kantor Presiden Jakarta, Rabu (12/2).
Kepala Negara memerintahkan para menteri untuk mengakselerasi
peringkat EODB Indonesia maka beberapa hal harus dibenahi. “Pertama
fokus memperbaiki indikator yang masih berada di posisi di atas 100 dan
indikator yang justru naik peringkat,” katanya.
Menurut Presiden, ada empat komponen yang berada pada peringkat di atas 100, yakni memulai usaha (starting a business) yang peringkatnya masih di 140, kemudian perizinan mendirikan bangunan (dealing with construction permit) masih di posisi 110.
Selanjutnya, pendaftaran properti (registering property) yang justru naik ke level 106, kemudian perdagangan lintas negara (trading across border) yang stagnan pada posisi 116.
“Dan juga dua komponen yang di bawah 100, tapi justru naik lagi dari 44 ke- 48, ini getting credit (akses kredit) dari 44 ke 48. Kemudian, masalah yang berkaitan dengan resolving insolvency (penyelesaian perkara kepailitan) dari 36 ke 38. Sudah 36 kok naik lagi, ini berkaitan dengan kebangkrutan,” katanya.
Diketahui, Bank Dunia setiap tahun mengeluarkan laporan tentang kemudahan berbisnis 190 negara berdasarkan 10 indikator (lihat infografis).
Apabila Indonesia naik peringkat ke- 40, posisinya akan menggusur
Vietnam yang berada di peringkat 69, Brunei Darussalam peringkat 55,
Tiongkok peringkat 46, dan mendekati Jepang yang berada di peringkat
39.
Secara khusus, Presiden meminta prosedur yang ruwet saat akan memulai
usaha dan pengurusan yang memakan waktu di Indonesia itu segera
dibenahi agar lebih efisien. Dia mencontohkan, terkait waktu memulai
usaha di Indonesia membutuhkan 11 prosedur dan waktunya 13 hari.
“Kalau kita bandingkan dengan Tiongkok prosedurnya hanya 4, waktunya
hanya 9 hari. Artinya, kita harus lebih baik dari mereka,” jelas
Jokowi.
Selain itu, dia juga meminta agar kemudahan berusaha tidak hanya
ditujukan untuk pelaku menengah dan besar, tetapi juga diutamakan bagi
pelaku usaha mikro usaha kecil (UMKM).
Sulit Memulai Usaha
Dihubungi terpisah, peneliti Institute for Development of Economics
and Finance (Indef), Agus Herta Sumarto, mengatakan ada beberapa
masalah utama yang menjadi perhatian investor untuk berbisnis di
Indonesia, yaitu pelaksanaan kontrak dan sulitnya ketika memulai
bisnis. Padahal, kedua masalah tersebut erat kaitanya dentan regulasi.
“Masalah regulasi ini hampir selalu menjadi masalah utama yang
berulang dalam EODB, seperti tumpang tindih peraturan, tidak sinkronnya
antara regulasi di tingkat pusat dan regulasi tingkat daerah, dan
implementasi peraturan yang sering kali tidak konsisten,” ujar Agus.
Agus mengatakan rencana pemerintah menciptakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dan Perpajakan sebenarnya menjadi momentum dalam memperbaiki dan meningkatkan peringkat Indonesia ke posisi 40,.
Sementara itu, Japan External Trade Organization (Jetro) mengemukakan
survei bahwa produktivitas pekerja di Indonesia tidak selaras dengan
upah minimum regional.
“Lebih dari 50 persen merasa upah dan produktivitas di Indonesia
tidak sesuai, kenaikan upah dinilai sangat tinggi,” ujar Direktur Senior
Jetro Jakarta, Wataru Ueno.
Berdasarkan survei Jetro, hanya 23,7 persen perusahaan yang menilai
upah minimum regional di Tanah Air sesuai dengan produktivitas pekerja
di Indonesia, adapun 55,8 persen menilai tidak sesuai, dan 20,4 persen
tidak tahu. Tingkat kepuasan perusahaan Jepang itu masih di bawah
rata-rata Asean. fdl/uyo/ers/AR-2
0 comments:
Post a Comment