JAKARTA – Pemerintah terus mendulang utang untuk memenuhi target
pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020.
Rencananya, pada Selasa (18/2), dibuka lelang Surat Utang Negara (SUN)
dengan target maksimal 22,5 triliun rupiah.
Hingga Desember 2019, jumlah utang pemerintah telah mencapai 4.778,6
triliun rupiah. Utang ini terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN)
sebanyak 4.014,8 triliun rupiah dan pinjaman sebesar 763,8 triliun
rupiah (lihat infografis).
Peneliti ekonomi Indef, Riza A Pujarama, mengatakan pemerintah mesti
memastikan utang yang digunakan untuk belanja negara dapat menstimulus
perekonomian domestik. “Caranya, meningkatkan belanja di sektor riil
yang produktif. Kenapa? Karena pertumbuhan ekonomi domestik ditopang
oleh konsumsi. Jadi, kalau mau pertumbuhan stabil, harus menjaga
konsumsi masyarakat. Dengan menstimulus sektor riil produktif
diharapkan dapat menjaga daya beli,” katanya saat dihubungi, Minggu
(16/2).
Dikabarkan sebelumnya, sebagian besar atau sekitar 75 persen utang
pemerintah, yang kini mencapai 4.778,6 triliun rupiah, berasal dari
akumulasi beban bunga di atas bunga penerbitan obligasi rekapitalisasi
perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) selama 19 tahun
terakhir. Selama ini, bunga utang tersebut dibayar dengan penerbitan SBN
yang juga berbunga tiap tahun.
Menurut Riza, pemerintah perlu mengerem utang agar tidak terlena.
Untuk itu, guna memenuhi kebutuhan belanja di APBN 2020 maka pendapatan
pajak mesti dinaikkan. “Namun, pendapatan pajak dalam beberapa tahun
terakhir selalu tak capai target. Kondisi inilah yang menyebabkan ABPN
selalu defisit,” jelasnya.
Riza mengatakan defisit APBN juga berasal biaya bunga utang. “Jadi,
pemerintah cari utang untuk belanja negara dan membayar bunga utang.
Sebenarnya, pemerintah perlu membuat anggaran belanja yang lebih
realistis terhadap pendapatan pajak agar tidak selalu defisit, sehingga
utang dapat ditekan perkembangannya,” ujarnya.
Riza menambahkan, penggunaan utang juga mesti diarahkan untuk
menstimulus ekonomi. “Namun, dilihat dari struktur belanja pemerintah
pusat pada APBN belum terlihat ke arah sana. Belanja modal porsinya
mengecil. Belanja pegawai dan belanja bunga utang terus meningkat
porsinya,” papar dia.
Menurut Riza, untuk memperkuat ekonomi domestik dengan mendorong
usaha menengah, kecil, dan mikro. “UMKM dapat membantu menopang ekonomi.
Namun, perlu dibarengi juga dengan upaya perbaikan industri manufaktur
dalam negeri yang terus turun,” ujarnya.
Sementara itu, ekonom senior, Rizal Ramli, menilai anggaran
pembayaran bunga utang tahun 2020 mencapai 295 triliun rupiah dan
pembayaran pokok utang 351 triliun rupiah. “Total pokok dan bunga utang
646 trilliun rupiah, lebih besar dari anggaran pendidikan dan
infrastruktur,” katanya.
Mesti Dinikmati Rakyat
Pakar ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Munawar Ismail, mengatakan pemerintah harus memiliki indikator produktivitas utang.
“Tanpa ukuran produktivitas yang jelas, dikhawatirkan utang tersebut justru menjadi beban pada waktu mendatang,” katanya.
Menurutnya, kalau rasio utang terhadap produk domestik bruto masih
di bawah tiga persen masih bisa diterima. Tapi, kalau utang
dibelanjakan untuk yang bersifat konsumsi dan subsidi malah akan
menekan pertumbuhan. “Utang itu untuk menggerakkan perekonomian,”
ujarnya.
Munawar menjelaskan, ukuran produktivitas itu terkait dengan
penggunaan utang. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang dibiaya
dari utang itu berdampak pada masyarakat luas atau tidak. Bisa menunjang
ekspor dan menekan impor atau tidak.
“Semua harus diperhitungkan. Manfaat utang harus bisa dinikmati
masyarakat banyak. Kalau indeks gini masih tinggi, artinya distribusi
belum merata, masih di lapisan tertentu, sehingga menandakan utang tidak
berfungsi,” jelasnya
0 comments:
Post a Comment