Virus Corona atau yang dikenal dengan Covid-19
terus menjadi menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat dunia. Bagimana
tidak? Dilansir dari John Hopkins University per Sabtu
(21/3/2020) pagi, jumlah total kasus Covid-19 di seluruh dunia telah mencapai
271.629 kasus. Dari banyaknya kasus-kasus tersebut, terjadi 11.282 jumlah angka
kematian dengan jumlah 87.403 pasien sembuh. Meskipun angka kesembuhan cukup
tinggi, Covid-19 menyebar sangat cepat sehingga Covid-19 atau coronavirus
disease oleh WHO (World Health Organization) telah resmi
dinyatakan sebagai pandemi pada 11 Maret 2020 lalu. Pandemi sendiri merupakan
wabah penyakit global, dimana suatu penyakit dinyatakan sebagai pandemi jika
melewati fase wabah dan epidemi, adapun coronavirus disease atau
Covid-19 ini telah menginfeksi 114 Negar per (21/3/2020). Di Indonesia sendiri,
per (21/3/2020) jumlah pengidap Covid-19 menurut penuturan Juru Bicara
Pemerintah untuk coronavirus Achmad Yurianto, telah mencapai total
kasus sebanyak 369 kasus positif ,dengan angka kematian 32 orang dan 17
orang lainnya dinyatakan sembuh. Angka yang cukup mengejutkan bagi masyarakat
Indonesia yang baru merasakan dampak wabah yang cukup signifikan di bulan
ketiga ini.
Berbicara Covid-19,
Disini akan kita kaji seberapa jauh dampak Covid-19 terhadap perekonomian yang
ada di Indonesia. Covid-19 telah menjungkirbalikkan proyeksi ekonomi Negara yang
menggunakan sektor pariwisata sebagai leading sector pertumbuhan
ekonominya, tidak terkecuali Indonesia. Dampak adanya Covid-19 terhadap sektor
pariwisata bermula ketika Pemerintah Tiongkok melarang warganya untuk melakukan
kunjungan ke luar Negeri, yang mana kita tahu wabah pertama coronavirusdisease,
berada di kota Wuhan, Tiongkok pada akhir tahun 2019. Hal ini berdampak
kepada berkurangnya turis asing ke Indonesia pada tahun ini. BPS (Badan Pusat
Statistik) mencatat, Tiongkok menempati urutan ke dua (2) asal kunjungan
wisatawan mancanegara terbanyak selama tahun 2019 di Indonesia, yaitu dengan
jumlah 2, 072 Juta kunjungan atau kurang lebih sekitar 12 % dari 16 juta wisman
(wisatawan mancanegara) yang berkunjung ke Indonesia. Oleh karena itu, dengan menurunnya
angka wisman Tiongkok hal ini berpengaruh terhadap turunnya devisa negara. Nia
Niscaya Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran II Badan Ekonomi Kreatif dan
Pariwisata (BEKRAF) menyatakan, Jika masalah coronavirus
bertahan hingga akhir tahun 2020, maka Indonesia dapat kehilangan Rp 40 triliun
devisa dari pasar turis Tiongkok. Data dari Badan Ekonomi Kreatif dan
Pariwisata (BEKRAF) Indonesia, dalam kurun waktu 1 tahun, turis Tiongkok yang
datang ke Indonesia mencapai 2,1 juta orang per tahun. Analoginya, jika 1 orang
turis Tiongkok setiap datang ke Indonesia bisa menghabiskan kurang lebih US$
1400 atau sekitar 19 juta rupiah dalam 1 tahun, Makah hal ini menyebabkan
pendapatan devisa negara melalui sektor pariwisata berpotensi dalam jangka
waktu 1 tahun ini kehilangan sebesar Rp 40 triliun. Potensi kehilangan ini
semakin jelas, ketika masakapai perbangan baik asing maupun nasional menunda
sejumlah jadwal penerbangan, dari dan menuju semua destinasi di wilayah
Tiongkok. Terhitung pada tanggal 5 Februari 2020, Pemerintah Tiongkok
menghentikan sementara pemberian fasilitas visa kepada warganya untuk melakukan
kunjungan bebas hambatan antarnegara. Kementrian Perhubungan Republik Indonesia
juga melarang 5 maskapai nasional : Garuda Indonesia, Citilink, Batik Air, Lion
Air, dan Sriwijaya Air untuk membatalkan perjalanan dari dan menuju Tiongkok
sebagai upaya mitigasi penyebaran Covid-19 di Indonesia, padahal mulanya
menurut data dari Kementrian Perhubungan, maskapai Garuda Indonesia
melayani 30 frekuensi penerbangan setiap minggu ke Tiongkok, adapun Lion
Air menunda 15 perjalanan ke Tiongkok. Tidak hanya Tiongkok saja, Wabah
Covid-19 juga dapat menghambat wisatawan Amerika dan Eropa yang hendak
berkunjung ke Indonesia, sebab banyak maskapai penerbangan Indonesia yang harus
transit dulu ke Tiongkok. Prediksi dari BEKRAF Indonesia, melansir faktadata
hingga bulan Juni 2020 akan kehilangan kurang lebih 40.000 orang wisman dari 10
negara di Eropa yang memiliki penerbangan transit melalui Tiongkok. Selain itu,
Standard and Poor’s (S & P) global ratings menyatakan,
Pemerintah Tiongkok menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasionalnya, dari
sebelumnya 5,7% menjadi 5% akibat pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan tahun
2020 akan menjadi laju perkembangan ekonomi terburuk negara Tiongkok selama 29
tahun terakhir, dan Standard and Poor’s memperkirakan dan
berasumsi bahwa perekonomian Tiongkok baru akan pulih dari Covid-19 pada
kuartal ke III tahun ini.
Negara kita
Indonesia, sangat senstif dengan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang memburuk.
Menurut faktadata, Penurunan 1% pertumbuhan ekonomi Tiongkok di tahun 2020 bisa
berdampak sekitar 0,3% terhadap perekonomian yang ada di Indonesia. Sekertaris
Kemenko Perekonomian Susiwijono menyatakan, Pertumbuhan ekonomi Indonesia mempunyai
potensi tergerus hingga 0,11% sampai dengan 0,30%. Namun, Susiwijono tetap
yakin perekonomian Indonesia tetap mencapai target 5,3% tahun ini. Kembali ke
bahasan sebelumnya, mengapa pertumbuhan ekonomi Tiongkok sangat sensitif
terhadap perekonomian Indonesia? Hal itu dikarenakan Tiongkok merupakan mitra
dagang utama atau terbesar dari Indonesia.
Dilansir dari data BPS (Badan Pusat
Statistik) Indonesia pada tahun 2019, Ekspor non migas ke Tiongkok sebesar US$
25,8 milyar atau setara dengan 353,3 triliun. Dari data tersebut, presentase
ekspor non migas Indonesia kepada Tiongkok menduduki angka 16,7% dari total
ekspor non migas yang ada. Angka ini cukup besar, kemudian beralih ke angka
Impor Indonesia terhadap Tiongkok sebesar US$ 44,58 atau sebesar 611 triliun.
Memegang presentase 30 % dari angka impor non migas Indonesia secara
keseluruhan. Menurut catatan Kemenperin, sekitar 30 % impor bahan baku industri
manufaktur berasal dari Tiongkok. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan,
harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan baku di negeri sendiri dan
negara lain. Selain itu pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga sangat sensitif
terhadap Indonesia, dikarenakan faktor lain yaitu Investasi. Investasi PMA
(penanaman modal asing) terus meningkat beberapa tahun terakhir dan Investor
terbesar kedua pada tahun 2019 adalah Tiongkok. Faktadata menyebutkan, Tiongkok
berinvestasi kepada Indonesia senilai US$ 4,7 milyar atau setara 64,4 triliun
atau sekitar 16,8% dari total PMA keseluruhan.
Jadi, Indonesia yang
bergantung pada Tiongkok, atau sebaliknya? Menurut penulis, Tiongkok dan
Indonesia ibarat simbiosis, saling menguntungkan, kadang merugikan, akan tetapi
tetap saling membutuhkan. Bagaimana menurut kalian?
Lockdown Indonesia
dari Covid-19, Perlukah?
Dalam
kondisi saat ini, Coronavirus disease atau Covid-19, merupakan issue
yang lit di dunia kesehatan. Akan tetapi sebelum kita membahas lebih
lanjut, perlu atau tidak lockdown diterapkan, kita lihat dulu
urgensinya. Tidak dapat disangkal, ketika terjadi lockdown tentu
ada sebuah pengorbanan ekonomi yang cukup besar dan harus diperhitungkan.
Tetapi terkadang, pengorbanan itu memang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan
yang lebih baik, dalam hal ini konteksnya adalah kesehatan seluruh rakyat
Indonesia. Secara logika, perekonomian suatu negara tidak bisa berjalan dengan
baik jika kesehatan warganya terganggu, Dan juga urgensi perlu tidaknya lockdown
ini yang paling berwenang menentukan disamping pemerintah adalah para ahli dan
pakar kesehatan, Mengapa? Karena, tentu mereka lebih mengetahui sampai titik
mana tingkat bahaya dari wabah ini sehingga lockdown wajib dilakukan.
Ahli kesehatan dan matematik tentunya sudah memprediksi angka maksimal korban
yang akan berjatuhan dengan pola seperti ini. Dengan meningkatkatnya pengidap
Covid-19 di Indonesia yang bisa dikatakan cukup drastis, tentu sangat
mengkhawatirkan bagi kita, masyarakat Indonesia. Bagaimanapun juga ini adalah
pandemi bukan sekedar wabah biasa,WHO (World Health Organization)
sebagai organisasi kesehahatan dunia mengemukakan untuk menghentikan penyebaran
pandemi ini harus ada titik dimana kita bisa melakukan lockdown atau
tidak, akan tetapi hal ini masih bersifat debatable, yaitu menimbulkan
pro dan kontra. Tetapi secara ekonomi jelas sekali menimbulkan dampak
signifikan, setelah kita tadi berbicara dampak terhadap pariwisata dan
ekspor-impor, juga berdampak terhadap cost (biaya) yang
besar. Tentunya selama lockdown dilakukan, Pemerintah harus menyiapkan cost
yang besar bagi masyarakat yang diisolasi. Dan hal ini semua bergantung kepada policy atau
kebijakan yang diterapkan pemerintah. Dan tentunya, yang paling perlu ditolong
jika lockdown ini diterapkan adalah masyarakat kelas bawah. Di dalam
kelompok masyarakat di negara kita, berdasarkan ekonominya terbagi menjadi 3
kelas masyarakat, yaitu : Mayarakat golongan atas, menengah, dan bawah. Yang
paling terpengaruh dari adanya lockdown ini adalah kelas bawah,
Mengapa? Karena kelas menengah ke atas masih memiliki kemampuan untuk
mengabsorbsi dampak dari adanya lockdown tersebut, policy
atau kebijakan dalam ini sangatlah penting karena ini menyangkut hidup dan mati
masyarakat Indonesia. Seperti Negara Australia misalnya, setiap keluarga yang eligible
mendapat A$ 750, dengan syarat harus mematuhi peraturan yaitu diam di rumah
dalam kurun waktu 2 minggu lamanya, jadi dibutuhkan policy yang
kurang lebih seperti itu.
Sebelum
terjadi full lockdown, Pemerintah juga harus mempertimbangkan
secara matang potensi kerugian (loss) nya , seperti berkurangnya
pendapatan karena tidak ada kegiatan juga harus dihitung dan jumlah penerimaan
yang hilang dan lain sebagainya, dalam hal ini sepertinya pemerintah Indonesia
masih tahap proses pengakjian lebih lanjut. Hal yang perlu diketahui lagi,
biasanya dengan pemerintah menerapkan lockdown maka akan
menimbulkan kepanikan terhadap masyarakat, impact nya masyarakat
berpotensi melakukan panic buying yang juga akan menimbulkan kenaikan
harga, misalnya kita lihat kasuistik yang terjadi akhir-akhir ini di negara
kita, yaitu fenomena mahalnya harga masker melebihi standar harga jual dan lain
sebagainya. Itu masih contoh kecil, jika skalanya nasional misalnya? Yang di lockdown
tidak hanya DKI Jakarta saja, Maka tidak menutup kemungkinan juga berimbas
kepada kenaikan harga-harga bahan pokok yang ada di Indonesia, karena
bagaimanapun masyarakat yang diisolasi tentu memerlukan ketersediaan (supply) bahan
pokok.
Selain
itu, dengan adanya full lockdown tentu banyak sektor bisnis yang
terkena dampaknya, Secara otomatis revenue atau pendapatan
pemerintah daerah juga berkurang dalam skala nasional karena tidak adanya
aktivitas bisnis, akan tetapi sekali lagi berapa besar pun cost yang
dikeluarkan, benefit atau manfaat yang kita peroleh tentu lebih
besar dari adanya kesehatan itu, karena menghitung nikmat sehat itu tidak
semata-mata selalu bisa diukur dari sisi ekonomi saja, dampak atau impact nya
akan meluas hingga ke society as a whole.
Coba kita
lihat lagi data masyarakat yang terinfeksi Covid-19 di atas, Data tersebut
adalah data yang telah terdekteksi oleh pemerintah, atau bisa jadi kenyataannya
lebih dari itu, hanya saja belum teridentifikasi, Yang mana kita ketahui
apabila tidak dilakukan langkah antisipatif atau mitigasi penyebaran, maka
wabah ini akan terus meningkat kasusnya dan kasusnya bisa terus melonjak
tinggi. Kemungkinan yang paling menakutkan adalah akibat pasien yang terus
melonjak tinggi, jumlah kasus akan melebihi kapasitas tim medis dan juga rumah
sakit. Semoga saja mimpi buruk itu tidak akan pernah terjadi di negara kita.
Kembali kepada
Pro dan Kontra Lockdown Covid-19
Sejumlah kalangan mendesak pemerintah untuk segera melakukan lockdown,
bahkan lockdown selalu menjadi trending topics di
Twitter Indonesia akhir-akhir ini. Memang sebagian dari kita meminta untuk
lockdown karna mengikuti kebijakan mainstream negara yang sudah
terpapar Covid-19. Namun alangkah baiknya, kita belajar dulu bagaimana kondisi
negara lain ketika menerapkan lockdown di negaranya.
Lockdown sendiri
pertama kali dilakukan oleh Tiongkok untuk mengisolasi wilayah tempat pertama
kalinya terpaparnya virus, yaitu kota Wuhan. Kala itu, jumlah kasus
positif Covid-19 sudah melebihi jumlah rumah sakit dan tenaga medis. Akibatnya
pemerintah Tiongkok kewalahan dan melakukan langkah ekstrem dengan mengisolasi
kota Wuhan, untuk menciptakan social distancing dan menekan laju
penyebaran coronavirus.
Selain
itu, tujuan lain dari pemerintah Tiongkok mengisolasi kota Wuhan dan provinsi
Hubei dikarenakan agar mereka yang mengidap coronavirus yang tidak
terdeteksi dan gejalanya ringan dapat beristirahat dan mengisolasi diri di
rumah, intinya agar aktivitasnya berhenti secara total, dan tubuhnya kembali
fit dan normal sehingga tidak saling tertular dan menularkan. Rupanya upaya
tersebut cukup efektif, dalam beberapa pekan angka penyebaran Covid-19 di
Tiongkok menurun, bahkan kabar terbaru saat ini per (21/3/2020) dalam kurun 3 hari
terakhir, tidak ada kasus baru di Wuhan dan mereka menunggu karantina untuk
segera berakhir. Dan dikabarkan 62.000 warga sembuh dari pandemi ini.
Kita lihat lagi
kasus di Korea Selatan, Korsel juga menerapkan lockdown akan
tetapi hanya sebagian kotanya saja yaitu kota Daegu, yang diduga menjadi titik
awal penyebaran atau epicentrum Covid-19 di Korsel. Aksi pemerintah
Korsel yang pro aktif dan juga cepat tanggap, didukung oleh masyarakat Korsel
yang disiplin dalam mengikuti instruksi dari pemerintah, membuat angka
penyebaran coronavirus perlahan-lahan bisa dikendalikan di negeri
drakor itu. Korsel melakukan lockdown sejak Januari 2020, dan sejauh
ini 1407 orang sembuh.
Kita
lihat juga di Italia, langkah lockdown Covid-19 rupanya berujung pada lockdown
di seluruh kota atau isolasi nasional, hal ini berawal dari masyarakat Italia
yang panik pasca diumumkannya lockdown di 1 wilayah, akibatnya banyak
warga Italia yang berbondong-bondong pergi mengamankan diri dari satu kota ke
kota lain sehingga menyebebkan Covid-19 tersebar di seluruh Italia, dan alhasil
angka kematian di negara Italia terus meningkat drastis dan menjadi yang
tertinggi hingga saat ini, melansir dari Agence France-Presse atau
AFP, kantor berita Prancis, melaporkan, Sabtu (21/3/2020), terjadi 627 kematian
dalam sehari (24 jam) di Italia akibat terpapar coronavirus atau
Covid-19. Dan sejauh ini korban yang meninggal akibat terpapar infeksi coronavirus
berjumlah 4000 orang.
Kembali
ke pembahasan, Meskipun demikian lockdown memang dinilai efektif jika
diterapkan akan tetapi hal ini bukan tanpa syarat, agar langkah ini bisa
sukses, Pemerintah harus mampu memberikan instruksi yang tegas kepada
masyarakat dan bersedia untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat selama masa
isolasi. Kemudian, masyarakat juga harus disiplin, Kita bisa mencontoh warga
Korea Selatan yang disiplin terhadap instruksi yang diberikan negaranya. Jadi
jangan sampai, menganggap lockdown ini hanya main-main saja dan
justru dimanfaatkan untuk kesenangan pribadi, berlibur bersama teman atau
tetangga. Ini adalah tugas kita semua, memerangi coronavirus, bukan
hanya tugas pemerintah. Negara lain yang sampai saat ini juga menerapkan lockdown adalah
Denmark, Spanyol, Iran, Italia, Filiphina , dan negara lainnya. Di
Indonesia sendiri tidak bisa dipungkiri juga memberikan opsi pemerintah untuk
melakukan lockdown, akan tetapi seperti yang sudah dijelaskan berkali
kali jika memang lockdown diterapkan, Pertama batasan lockdown
harus jelas, misalnya seperti di Filiphina tidak boleh ada transaksi
antarnegara, semua instansi diliburkan, akan tetapi supermarket yang menjual
bahan-bahan pokok tetap dibuka. Kedua, seluruh protokol lockdown harus
benar-benar disiapkan baik pasokan makanan dan kebutuhan pokok harus terjaga,
Terutama pemerintah harus memperhatikan ketersediaan kebutuhan masyarakat
kalangan bawah misalnya para pelaku usaha ultramikro dan pekerja serabutan,
yang mengandalkan penghasilan sehari-hari untuk menghidupi keluarganya. Ketiga,
ketersediaan tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang memadai, dan juga
kebijakan finansial harus diberikan stimulus, karena nyatanya lockdown
akan menyebabkan jutaan orang bekerja di sektor informal, yang menyebabkan
hilangnya penghasilan, akan tetapi beban finansial masyarakat masih terus
berjalan, seperti cicilan Bank, cicilan KPR, dan lain sebagainya agar lebih
diringankan. Kemudian yang terakhir adalah, pemerintah harus mengantisipasi
kemungkinan warga masyarakat yang melakukan panic buying sehingga
harus dipastikan bila hal itu terjadi, warga masyarakat masih bisa memperoleh
barang-barang kebutuhan dengan harga yang terjangkau.
Namun sejauh ini, Di
Indonesia sepertinya pemerintah belum memiliki rencana untuk melakukan
lockdown.
Presiden mengatakan, “ Sampai saat ini
tidak ada kita berpikiran ke arah kebijakan lockdown, kebijakan lockdown baik
di tingkat nasional maupun daerah adalah kebijakan pemerintah pusat ”
– Ir.H.Joko Widodo
* Mari kembali kita renungkan, sebenarnya
negara kita ini memerlukan lockdown atau tidak? Jawabannya ada di
dalam hati teman-teman sendiri, yang terpenting langkah sederhana yang bisa
kita lakukan adalah dengan mengikuti instruksi pemerintah sejauh ini yaitu
dengan menjaga kesehatan, melakukan social distancing, dan selalu cuci
tangan setiap selesai aktivitas, dan yang terakhir sebaiknya kita selalu
berdo’a agar wabah Covid-19 ini segera berakhir.
Salam sayang dan peduli, Ulvia Nur Fiant
1.Aktivis Intellectual Movement Community (IMC)
2.Ex Ketua YBM BRI Kanwil Malang - KC Jember 3.Ketua Departemen RnI KSEI
4.Kader PMII Rayon FEBI 5.Tutor Obama Learning Center 6.Freelancer and Student
of Islamic Banking Dept.
0 comments:
Post a Comment