SERANG – Kampus Merdeka yang diusung oleh Mendikbud
Nadiem Makariem menimbulkan pro-kontra di institusi Perguruan Tinggi.
Sebagian kampus masih menunggu realisasinya, sebagian mencoba
menerjemakan dan berusaha mengimplementasikan melalui perangkat dan
matakuliah yang relevan.
Farid Ibnu Wahid selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia
(PBI) Fakultad Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa (Untirta) menjelaskan bahwa ada beberapa matakuliah yang
cukup relevan untuk menerjemahkan Kampus Merdeka yang berorientasi pada
merdeka belajar bagi mahasiswa tersebut.
”Di Jurusan kami ada matakuliah Pembelajaran Literasi. Ini Matakuliah
baru yang merespons fenomena di masyarakat. Harapannya matakuliah ini
bisa mengajak mahasiswa untuk memahami realitas perkembangan literasi di
Indonesia baik secara konsep maupun praksis.”Farid juga menjelaskan bahwa matakuliah ini dikembangkan di Jurusan PBI
untuk menjadi bekal bagi mahasiswa yang notabene akan menjadi guru di
kemudian hari. “Silakan Anda searching setiap penelitian yang dilakukan
oleh lembaga terpercaya, bahwa Indonesia selalu berada pada peringkat
terrendah untuk urusan literasi.Terakhir pada tahun 2018, hasil
Programme for International Student Assesment (PISA) yang mengevaluasi
sistem pendidikan dengan mengukur kinerja siswa di pendidikan menengah
di bidang matematika, sains dan Kemampuan Membaca memposisikan Indonesia
di peringkat akhir. Dari 79 negara, Indonesia berada di peringkat ke-74
dengan skor 371. Bandingkan dengan Singapura yang kini berada di posisi
ke-2 dengan skor 549. Melihat kenyataan tersebut, kami sebagai LPTK
harus ikut terlibat dan bertanggungjawab,” ungkapnya.
Firman Hadiansyah, yang dipercaya Jurusan PBI FKIP Untirta dalam
mengembangkan matakuliah Pembelajaran Literasi mencoba untuk meramunya
dalam silabus. “Ada dua peluang mengapa Pembelajaran Literasi penting
untuk menjadi matakuliah. Pertama, Mendikbud akan menghilangkan Ujian
Nasional menjadi asesmen literasi. Kedua, merespons problematika
literasi sebagai tanggungjawab akademisi.”
“Di dalam silabus yang saya buat, saya berusaha untuk memposisikan
mahasiswa sebagai pembelajar sekaligus penggerak. Di pertemuan awal,
mahasiswa akan dikenalkan dengan alur teori dan konsep serta
problematika literasi. Selanjutnya mahasiswa melakukan observasi ke
lapangan dan berinteraksi dengan para pegiat literasi dalam usahanya
untuk menemukenali ruang lingkup. Mereka akan mendapatkan ilmu
pengetahuan dari para pegiat literasi. Ini konsep “semua guru semua
murid”. Jadi mahasiswa belajar dari masyarakat sudah harus terjadi dalam
perkuliahan ini.”
Selanjutnya Firman menjelaskan langkah berikutnya. “Mereka akan
menuliskan profil pengelola TBM/ perpustakaan desa dalam bentuk esai dan
audio visual dan mempresentasikan di kelas masalah yang ditemui.
Setelah mendapatkan masukkan dari mahasiswa dan dosen, mereka kembali ke
lapangan untuk mengaplikasikan intervensi apa yang bisa dilaksanakan.
Jadi mahasiswa tidak hanya piawai dalam tataran teori, tapi bisa juga
memiliki skill menjadi volunteer workers,” ujarnya.
Sebagai matakuliah yang merespons merdeka belajar bagi mahasiswa,
Firman mengakui bahwa konsep dari Pembelajaran Literasi masih jauh dari
sempurna. “Di dalam konsep yang disosialisasikan oleh Mendikbud, merdeka
belajar ini menuntut mahasiswa untuk dapat magang di perusahaan
tertentu dengan durasi beberapa semester. Nah, kami di LPTK tentu tidak
bisa semata-mata hanya berorientasi pada pasar kerja. LPTK akan lebih
berorientasi pada kebutuhan pendidikan Abad ke-21 dan menjadi volunteer
workers. Itu yang sangat dimungkinkan untuk merespons konsep Kampus
Merdeka,” pungkasnya.
0 comments:
Post a Comment