Sebagai kota metropolitan kedua terbesar setelah Jakarta, Surabaya
tidak lepas dari masalah kemiskinan. Salah satu contoh warga miskin
“ekstrem” adalah Suminah. Perempuan, 45 tahun, yang tinggal di kawasan
Kalisari, Tempurejo, Surabaya, itu mengatakan meski telah bertahun-tahun
menerima beragam paket bantuan, ia dan keluarganya tetap miskin.
Untuk bertahan hidup, sehari-hari Suminah bekerja sebagai pemulung di
sekitar tempat tinggalnya, dan sang suami, Busar, 50 tahun, menjadi
tukang sampah di sebuah depo dengan gaji per bulan kurang dari dua juta
rupiah.
“Sama saja sampai sekarang (miskin). Kalau penghasilan saya sendiri
sekitar 400 ribu rupiah dapat dari setor (jual) barang bekas dua minggu
sekali ke penampungan, tentu tidak cukup. Apalagi anak saya sudah kelas
tiga SMA, perlu uang jajan,” ujarnya di Surabaya, Kamis (5/3).
Dia menjelaskan, ia dan suami yang buta huruf tidak memiliki
kesempatan lain sehingga terpaksa mengais rezeki dari sampah. “Tidak
bisa menulis, bisa apa saya. Kalau tidak ada sampah (barang bekas) saya
makan apa, jadi harus ngirit-ngirit supaya cukup,” ujarnya.
Suminah bersyukur, putranya semata wayang, Muhammad Arifin, memahami
kondisi perekonomian keluarga sehingga tidak banyak menuntut. “Kalau
ditanya, dia bilang tidak ingin kuliah, kasihan Ibu, setelah lulus mau
bantu dengan melamar pekerjaan apa saja. Inginnya siapa tahu diterima
jadi petugas POM bensin atau kasir di minimart,” tuturnya.
Tetap Ada
Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surabaya, pada tahun
2018, garis kemiskinan Kota Surabaya berada pada level 530.178 rupiah
per kapita per bulan atau meningkat hampir 56 ribu rupiah dibanding
garis kemiskinan pada tahun 2017. Walaupun terjadi kenaikan garis
kemiskinan, jumlah penduduk miskin pada tahun 2018 di Kota Surabaya
justru berkurang hampir 14 ribu orang lebih menjadi hampir mencapai 141
ribu orang (4,88 persen) dibanding kondisi tahun 2017 yang hampir
mencapai 155 ribu orang (5,39 persen).
Menurut Guru Besar Sosiologi Kemiskinan dari Universitas Airlngga,
Bagong Suyanto, kemiskinan tetap ada karena kegiatan pembangunan dan
proses modernisasi yang semula dirancang untuk mengentas masyarakat
miskin, ternyata dalam praktik tidaklah semulus seperti yang
direncanakan. Bahkan, ada kesan kuat jika kegiatan pembangunan dan
berbagai program yang dikucurkan ke masyarakat, ternyata malah
melahirkan kontradiksi dan proses marginalisasi.
Salah satu faktor utama penyebab kegagalan berbagai program yang
dirancang pemerintah adalah adanya kekeliruan dan kesalahpahaman para
perencana pembangunan tentang kemiskinan.
0 comments:
Post a Comment