The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) memiliki potensi positif
untuk ekonomi. Namun, TII juga menggarisbawahi banyaknya catatan kritis
yang harus dibahas sebelum meloloskan RUU ini.
Direktur Eksekutif TII Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan, RUU
Ciptaker sendiri sejak awal memang tidak lepas dari kebutuhan untuk
memenuhi target pemerintah, dalam meningkatkan investasi dan mendukung
kemudahan berusaha di Indonesia.
Salah satu permasalahan yang menghambat investasi dan kemudahan
berusaha adalah regulasi yang gemuk dan tumpang tindih, sehingga
menambah beban biaya dan waktu, serta lebih jauh mempersulit upaya
pembukaan kesempatan lapangan kerja yang lebih luas.
“Selain itu, pasar tenaga kerja yang dipersepsikan tidak terlalu
fleksibel juga ikut menghambat investasi di Indonesia dan mempengaruhi
daya saing Indonesia,” katanya kepada media di Tangerang, Rabu
(22/4/2020).
Dalam studi kualitatif awal TII mengenai RUU Cipta Kerja ini,
dikatakan Adinda, tecatat bahwa data pertumbuhan ekonomi selama lima
tahun terakhir, menunjukkan Indonesia memasuki kecepatan tumbuh 5 persen
per tahun. Besaran ini memang sudah cukup untuk menempatkan Indonesia
di posisi kedua kelompok negara-negara G20.
“Namun, tetap ada aspirasi agar Indonesia tumbuh lebih cepat untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah,” katanya.
Perhitungan kasar menunjukkan, untuk tumbuh dalam kisaran 5,3 - 5,5
persen saja diperlukan pertumbuhan investasi antara 8 sampai 9 persen.
Sementara, untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dari itu diperlukan
pertumbuhan investasi di atas 10 persen (double digit).
“Namun, faktanya saat ini pertumbuhan investasi dalam kurun waktu
2015-2019, tidak pernah lebih dari 7,94 persen per tahun. Salah satu
penyebab tersendatnya pertumbuhan investasi tidak bisa bergerak naik
adalah indikator daya saing Indonesia,” jelas Adinda.
Global Competitiveness Report/GCR 2019) besutan World Economic Forum
(WEF) mencatat, peringkat daya saing Indonesia menurun dari posisi 45
ke-50. Prosedur perizinan di Indonesia dinilai berbelit-belit.
Hal ini salah satunya tercermin dari waktu untuk memulai bisnis yang
menduduki peringkat ke-103. Biaya untuk memulai usaha yang mendapatkan
skor di peringkat ke-67. Secara teoritis, daya saing dan investasi
menunjukkan hubungan yang positif. Artinya, ketika daya saing suatu
negara mengalami kenaikan, maka investasi di negara tersebut juga akan
meningkat.
“Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah terobosan yang mampu
mengkonfigurasi ulang hambatan-hambatan tersebut. Salah satunya melalui
Undang-undang sapu jagat Omnibus Law,” ungka[ Adinda.
Omnibus Law RUU Ciptaker, jelas Adinda, bukan hanya mengatur tentang
ketentuan investasi dan kemudahan berusaha. Tapi juga mengatur hal-hal
lain, termasuk ketenagerjaan, lingkungan, industri pertambangan,
pengelolaan wilayah pesisir dan kepulauan, Badan Usaha Milik Desa, serta
Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
RUU Cipta Kerja juga didorong untuk menciptakan perluasan kesempatan
kerja dan pemberdayaan ekonomi, melalui kemudahan berusaha dan proses
perijinan yang mudah, serta difasilitasi pemerintah.
“Catatan TII ini juga sejalan dengan Pasal 2 Omnibus Law RUU Ciptaker
yang menyebutkan tentang asas penyelenggaraan jika RUU ini diloloskan
nantinya, yaitu asas pemerataan hak, kepastian hukum, kemudahan
berusaha, kebersamaan, serta kemandirian,” katanya.
TII menilai Omnibus Law RUU Ciptaker sebagai kebijakan berpotensi
positif bagi kebebasan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan,
serta kesejahteraan di Indonesia.
Namun, sejak awal, proses pembuatan RUU ini sudah mengundang polemik,
dari prosesnya yang dinilai tidak inklusif, tidak transparan,
terburu-buru.
“Sehingga banyak ketentuan diatur didalamnya yang dianggap
mengabaikan aspek perlindungan HAM, demokrasi, penegakan hukum, dan
mengancam keberlangsungan lingkungan hidup,” paparnya.
Lebih jauh, terkait tata bangunan dan logika hukum, RUU Cipta Kerja
berpotensi menghidupkan kembali pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah
Konstitusi, yaitu ketentuan presiden bisa membatalkan peraturan daerah
melalui peraturan presiden.
“Jelas hal ini bertentangan dengan hierarki tata peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Belum lagi, potensi anomali dengan
prinsip Omnibus Law, karena RUU Cipta Kerja nantinya akan mengamanatkan
ratusan peraturan teknis untuk pelaksanaanya,” paparnya.
Hal ini pulalah yang menurut Adinda, membuat pembahasan RUU ini masih
harus mengkritisi banyaknya ketentuan yang bermasalah, mengingat
potensi dampak negatif serius yang akan ditimbulkannya.
“Untuk itu, TII menegaskan pentingya mengkritisi RUU ini, mengingat
aspek ekonomi juga berdampak terhadap aspek lainnya. Selain itu,
pembangunan yang berkelanjutan dan mendukung kebebasan ekonomi tidak
akan dapat berjalan baik dan berdampak positif, jika tidak memperhatikan
pemangku kepentingan, konteks, serta dampak di aspek lainnya, termasuk
aspek perlindungan HAM dan hukum, demokrasi, sosial, maupun lingkungan
hidup,” pungkasnya.
Adinda mengakui Omnibus Law RUU Ciptaker masih memuat banyak
ketentuan yang kontroversial dan justru ikut menghambat tujuannya,
karena proses pembuatannya yang sejak awal bermasalah.
Sebut saja, ketentuan mengenai Pasal 93 RUU Cipta Kerja yang tidak
memberi penjelasan rinci mengenai kata berhalangan, terkait ketentuan
tentang pemberian upah bagi buruh yang tidak masuk kerja karena
berhalangan. “Hal ini juga berpotensi merugikan hak-hak buruh perempuan
seperti yang disuarakan serikat buruh,” ujarnya.
Di sektor lingkungan dan industri pertambangan misalnya, banyak
ketentuan yang dihapus atau tidak mengatur dengan ketat mengenai aspek
pemberdayaan lingkungan dan sanksi. Sehingga berpotensi mengabaikan
AMDAL dan merusak lingkungan, serta memberi ruang luas untuk
perpanjangan masa ijin pertambangan dan membiarkan pengrusakan
lingkungan.
“Karena itu, TII mendesak agar semua catatan kritis dari beragam
pihak harus dipertimbangkan dan dijadikan masukan dalam proses
pembahasan RUU Ciptaker kedepan,” tegas Adinda.
Adinda menambahkan, di tengah krisis pandemi COVID-19 dan kritik
publik terhadap DPR RI yang bersikukuh untuk terus melanjutkan
pembahasan RUU ini, para pembuat kebijakan dituntut untuk membuktikan
bahwa RUU Ciptaker tetap diproses sesuai dengan prinsip-prinsip tata
kelola pemerintahan yang baik.
“Dengan demikian, proses kebijakan yang inklusif, partisipatif,
transparan, dan akuntabel, serta masukan dari berbagai pihak, menjadi
hal yang sangat penting untuk memastikan agar RUU ini juga dalam
prosesnya sejalan dengan asas penyelenggaraan yang termaktub dalam
ketentuannya. Juga relevan dengan dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan
beragam pihak, bukan hanya aspek ekonomi semata,” tutupnya. (
0 comments:
Post a Comment