Sikap saling peduli dan
tolong-menolong menjadi salah satu ciri khas dalam budaya Islam. Hal
ini lantaran Allah secara langsung mengamanatkannya dalam dalil Alquran
kepada seluruh umat manusia.
Misalnya, dalam Surat Al-Maidah ayat 2, Allah SWT berfirman:
ÙˆَتَعَاوَÙ†ُوا۟ عَÙ„َÙ‰ ٱلْبِرِّ ÙˆَٱلتَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ٰ ۖ ÙˆَÙ„َا تَعَاوَÙ†ُوا۟ عَÙ„َÙ‰ ٱلْØ¥ِØ«ْÙ…ِ ÙˆَٱلْعُدْÙˆَٰÙ†ِ ۚ ÙˆَٱتَّÙ‚ُوا۟ ٱللَّÙ‡َ ۖ Ø¥ِÙ†َّ ٱللَّÙ‡َ Ø´َدِيدُ ٱلْعِÙ‚َابِ
”Dan tolong-menolong lah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan. Dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwa lah kamu kepada Allah, sesungguhnya siksa Allah sangat berat."
Tak ayal, perintah tolong-menolong dalam agama ini kerap
direpresentasikan dalam aksi kepedulian. Tak sedikit misalnya, di
Indonesia, hadirnya lembaga-lembaga filantropi juga diusung oleh
semangat kepedulian dan sikap tolong-menolong yang tinggi.
Budaya gotong-royong dan turut serta mengulurkan bantuan dalam Islam
diterapkan di banyak lini. Tak terkecuali dalam unsur aspek ekonomi
syariah. Di mana kepedulian dalam perkara perekonomian juga ditonjolkan
dengan berhati-hati dalam mengambil langkah ekonomi agar tak merugikan
atau menzhalimi ekosistem dan masyarakatnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat dalam bukunya berjudul Ungkapan Hikmah
mengatakan, membantu sahabat atau orang sekitar sama saja sebagai
tindakan menebar vibrasi syukur kepada Allah SWT. Energi ketulusan dalam
bantuan itu akan menebar kepada orang-orang yang dibantu.
Dia menjelaskan, sudah sepatutnya manusia bersyukur karena Allah SWT
dapat memberikan kesempatan kepadanya untuk memberikan bantuan kepada
orang lain. Bukan justru meminta kepada orang lain untuk bersyukur dan
berterima kasih kepada kita.
Lebih lanjut dia menjelaskan, memberikan sesuatu kepada orang lain
bukan berarti kita menjadi rugi. Jika manusia mengukurnya dengan materi
dan hitungan matematis, kata dia, mungkin saja manusia akan memberi pada
orang lain lalu berkata apa yang dimiliki akan berkurang.
Padahal sejatinya sikap memberi itu tak sama sekali merugi. Asalkan
nilai pemberian itu dilandasi dengan ketulusan, keikhlasan, dan juga
keimanan. Membantu dalam kebaikan—seberapapun besar dan kecil
nilainya—akan terasa ringan apabila dilakukan dengan tulus dan ikhlas.
Toh, umat Islam juga kerap dikenalkan sejak dini mengenai filosofi
kepemilikan. Bahwa sejatinya apa-apa yang kita miliki di dunia, baik itu
yang berbentuk wujud jasmani hingga materi, semata-mata adalah titipan
Allah SWT. Dengan titipan itu, manusia dimintai pertanggung jawabannya
kelak di akhirat.
Dengan menyadari bahwa apa yang kita miliki hanyalah titipan Allah
semata, maka budaya saling berbagi dan peduli dalam Islam pun begitu
kuat. Bahkan dalam hadis, Rasulullah berkata bahwa siapa yang
melapangkan suatu kesusahan dunia dari seorang Muslim, maka Allah akan
melapangkan satu kesusahan dirinya di hari kiamat.
Semangat berbagi dan peduli ini memang sangat kental bagi umat Islam.
Salah satu driver ojek online (ojol), Ahmad Tarmizi (25 tahun)
menceritakan pengalamannya saat diberikan sejumlah sembako oleh seorang
customer.
Sejak pemerintah menerapkan kebijakan social distancing,
Ahmad mengaku pendapatannya sebagai driver ojol semakin merosot. Maka
ketika ia mendapatkan pesanan untuk membelikan sembako lewat
aplikasinya, ia segera menerima. Siapa sangka, kata dia, customernya
tersebut justru memberikan sembako itu kepadanya sambil mengirimkan
pesan.
“Saya di chat, customer saya bilang begini ‘Pak Ahmad, ini
sembako buat Bapak dan keluarga. Jaga kesehatan, di rumah saja, dan
jangan lupa shalat zuhur di
0 comments:
Post a Comment