Sejak pertengahan bulan Mei lalu, yang tergabung dalam Gerakan Relawan Tanpa Warna (GRTW)
Provinsi Banten terus menerus bergerak menebar virus
kepedulian terhadap duafa. Seperti apa gambaran sepak terjang para perindu
sorga tersebut, berikut catatannya.
Puluhan sepeda motor berkonvoi menuju pelosok
pedesaan di Provinsi Banten sementara di bagian belakang terlihat mobil
pengangkut berbagai Keperluan Sembako . Jangan salah, kelompok lelaki dan perempuan
yang mirip rombongan touring motor itu bukanlah sedang piknik, namun mereka
merupakan relawan (GRTW ) yang
beriringan ke lokasi yang sudah di tuju .
Sebelumnya, di titik kumpul, di
pasang Korcab yang Tersebar di seluruh pelosok Banten Sindu Adi Pradono biasa disapa Sindu , selaku penanggungjawab GRTW
terlebih dulu memberikan brifing kepada relawan. Sesuai bidangnya masing-
masing, seluruh relawan mendapat jatah pekerjaan . Usai berdoa, rombongan
berangkat bersama. Hingga tiba di rumah yang dituju, tanpa dikomando, relawan langsung
berpencar untuk melaksanakan tugasnya masing- masing. Para relawan perempuan
yang mayoritas ibu- ibu muda, segera mengambil tugas untuk menyiapkan ,
kebutuhan
Kegiatan
Bedah Rumah
Kendati pengerjaan bedah rumah yang
biasanya juga dibantu warga setempat kerap diiringi gelak tawa, namun,
berdasarkan perencanaan yang matang, setiap proyek hanya dibutuhkan waktu 1
hari. " Paling lama dua hari, itu pun karena kita harus memplester lantai.
Kalau hanya berlantai tanah, satu hari selesai," kata Sindu Menurutnya, untuk satu rumah
yang dibedah, pihaknya mengeluarkan dana berkisar Rp 5 jutaan. Sebab, selain
ukuran standar Relintas hanya 4 X 6 meter, bahan baku utamanya adalah kayu
sengon dan berdinding kalsiboard.
Sedangkan pendanaan, hampir 100
persen merupakan donasi. " Banyak orang baik yang bersimpati terhadap
gerakan kami, mereka tanpa diminta bersedia menjadi donatur," ungkapnya.
Diakui oleh Bamset, mayoritas sasaran yang dibidik
adalah duafa yang berstatus anak tiri di negeri sendiri. Di mana, kendati
keberadaan mereka diakui sebagai warga negara Indonesia, namun, fakta di
lapangan, para duafa itu tak memiliki dokumen kekeluargaan seperti e KTP, KK
mau pun lahan sendiri. Akibatnya fatal, beragam bantuan pemerintah sepertinya
haram menyentuh diri mereka.
Padahal, ungkapnya, untuk mendapat bantuan pemerintah,
seseorang minimal harus mempunyai e KTP dan KK. Sementara bagi penerima bantuan
perbaikan Rumah Tidak layak Huni (RTLH), syarat utamanya selain keabsahan
dokumen keluarga, mereka juga harus mempunyai lahan sendiri. " Nah,
yang kita garap adalah rumah- rumah duafa yang pemiliknya numpang di lahan
orang lain atau lahan milik negara," jelasnya.
Keberadaan anak tiri di negeri
sendiri ini, kata Sindu , jumlahnya di pedesaan cukup banyak. Ada beragam
alasan kenapa mereka tidak memiliki dokumen keluarga , di antaranya menganggap
e KTP tak penting lagi mengingat usianya sudah uzur atau juga karena memang
awam terhadap fungsi e KTP. Sedangkan yang paling dominan, akibat kemiskinan
sehingga hanya mampu menumpang hidup di lahan milik orang. "
Harusnya pemerintah lebih bijak, untuk penerima RTLH yang memiliki dokumen
lengkap bisa menerima Rp 15 juta, terus bagi yang tidak berdokumen mestinya
bisa dicairkan separuhnya ( Rp 7,5 juta). Sebab, bagi kita, dengan anggaran Rp
7,5 juta tersebut, sudah mampu didirikan rumah berikut MCKnya," ujar
Bamset.
Diakui oleh Bamset, kadang pihaknya saat akan membedah
rumah target, kerap mendapatkan protes dari pihak pamong desa. Di mana, mereka
mengatakan rumah sasaran yang akan dibedah telah diusulkan untuk mendapatkan
bantuan RTLH. Terkait hal itu, GRTW memberikan tenggat waktu hingga 3 bulan.
Bila tenggat waktu habis ternyata dana perbaikan RTLH belum cair, maka GRTW bakal
membongkarnya.
Rumah Beragam Agama
Ada sisi menarik dari keberadaan GRTW yang terbentuk atas inisiatif komunitas sosial
Kasih untuk Sesama (Lensa) Provinsi Banten ini, di mana, dengan relawan aktif sekitar 100
orang (dari Pandeglang , Kabupaten Serang mau pun Kabupaten Tangerang dan Kota
Serang Kota Cilegon Tangsel ), namun mampu berbaur serta bekerja sama tanpa
memandang agama. " Relawan kita ada yang beragama Islam,Budha, Kristen mau
pun Katholik. Semuanya menyatu tanpa ada sekat apa pun," tutur Bamset.
Dengan beragam agamanya yang dipeluk relawan, mereka menganggap GRTW sebagai rumah besar berbagai penganut agama.
Terkait hal itu, di basecamp Relintas yang terletak di Cikini Raya
Jakarta, kerap dimanfaatkan untuk berdiskusi, penyusunan agenda bulanan hingga
sekedar kongkow bersama. Sindu sendiri mengakui, pihaknya kerap mencekoki
para relawan tentang pluralisme beragama. Sehingga, mayoritas relawan memutuskan
mengabaikan adanya perbedaan status sosial, suku mau pun agama masing- masing.
" Namanya saja untuk kepentingan sosial, masak kita harus nanya dulu apa
agamanya baru kita bantu ?" jelasnya serius.
Apa yang
disampaikan, diamini oleh para relawan. Siti Rosidah (35) yang kesehariannya
selalu berhijab, mengaku tak mempersoalkan perbedaan yang ada. Dirinya yang
ditunjuk sebagai Sekretaris GRTW dan tinggal di wilayah Provinsi Banten,
merasa tidak canggung sedikit pun berbaur dengan relawan lain, kendati memiliki
karakter heterogen.
tulah gambaran mengenai komunitas GRTW yang memiliki jargon berbagi dengan
hati, kendati sudah memiliki dukungan ratusan relawan aktif, namun di setiap kegiatan selalu membuka
kesempatan bagi calon relawan untuk berperan. Syaratnya menjadi relawan di
Lintas Komunitas, menurut nya tidak ada yang ribet. " Yang penting sehat jasmani dan rohani, silahkan gabung. Kalo
kesehatannya atau pikirannya terganggu, gimana mau bantu orang lain
?" jelasnya.
0 comments:
Post a Comment