JAKARTA – Disparitas (kesenjangan) pendapatan per kapita masyarakat
Indonesia sangat mencolok. Sebab itu, di saat pemerintah hendak
berupaya keras memulihkan perekonomian nasional akibat dampak Covid-19,
alokasi stimulus anggaaran untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional
(PEN) sebesar 695,2 triliun rupiah, 80 persennya harus disalurkan ke
masyarakat bawah.
Berdasarkan pendapatan, masyarakat Indonesia terbagi dalam empat
kelompok yaitu kelompok elite, masyarakat kelas menengah, calon kelas
menengah, dan masyarakat miskin. Kelompok masyarakat elite jumlahnya
hanya 1 persen dari total penduduk, namun menguasai 49 persen Produk
Domestik Bruto (PDB).
Sementara itu, kelas menengah dengan jumlah populasi 53,6 juta atau
25 persen penduduk menguasai sekitar 30 persen. Kemudian, calon kelas
menengah dengan jumlah populasi 116,8 juta jiwa atau 44 persen
menguasai 15 persen PDB. Terakhir, masyarakat miskin dengan jumlah 93,8
juta jiwa atau 35 persen hanya menguasai 6 persen dari PDB.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya,
Falih Suaedi, yang dikonfirmasi, di Surabaya, Senin (29/6), mengatakan
jurang disparitas yang sedemikian lebar itu tercipta karena di masa
lalu elite diberi peluang oleh penguasa. Meskipun pada era reformasi di
mana pemilihan presiden langsung dimulai pada 1999, namun sistem kroni
yang seharusnya dibubarkan malah makin subur.
“Perlu ada upaya untuk menghentikan sistem yang terus-menerus memiskinkan rakyatnya sendiri,” kata Falih.
Caranya dengan mereformasi total kebiasaan pejabat yang terbiasa
memberikan proyek kepada kroninya untuk mendapatkan bagian, cukup
melalui tanda tangan pejabatnya sudah mendapat rente. Selain itu,
sistem juga harus direformasi karena selama ini belum pernah ada yang
meminta pertanggungjawaban. Akibatnya, sistem yang ada terus
membesarkan kelompok elite, sedangkan yang 100 juta lebih selalu di
bawah garis kemiskinan seperti standar dari Bank Dunia.
“Yang 100 juta lagi low middle income. Ini yang membuat
jebakan kemiskinan dan jebakan pendapatan menengah rendah, sehingga
Indonesia tidak bisa keluar dari siklus kemiskinan,” katanya. Sebagai
akibatnya, RI selalu terbelakang dalam pembangunan manusia.
Tindakan Tegas
Lebih lanjut, Falih mengatakan di era Presiden Joko Widodo, tindakan
tegas yang diambil dengan meminta setiap pejabat negara bertanggung
jawab atas tugas dan pekerjaannya. Maka, pejabat dituntut bertindak
nyata dan transparan serta mengakkan rule of law, tidak seperti pada masa lalu yang tanpa tanggung jawab atas jabatannya.
“Bila semua bisa ditegakkan dan dilaksanakan secara konsekuen dan
konsisten maka otomatis usaha-usaha yang merampas hak rakyat kecil yang
mematikan ekonomi akan mati dengan sendirinya di era Jokowi,” katanya.
Kemudian, yang harus ditumbuhkan adalah usaha yang betul-betul
bermanfaat bagi negara dan seluruh rakyat Indonesia bukan sebagai
penindas dan memanggil dan merampas hak rakyat kecil. “Demokrasi
ekonomi itu tidak melarang orang usaha bisa besar sebaliknya membuka
peluang semua orang untuk bisa besar. Namun, sistem kronisme rent seeking dan kepentingan kelompok kecil justru mematikan inovasi nasional dan pasti mematikan ekonomi rakyat kecil,” katanya.
Sementara itu, Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee
for Social Justice (IHCS), Gunawan, mengatakan inovasi bukan untuk
mematikan atau menghalangi usaha besar, tetapi usaha yang dikembangkan
harus benar dan bermanfaat bagi bangsa dan rakyat.
“Bukan dia untung besar tapi yang lain mati, seperti impor pangan
besar, importirnya untung besar, tapi petani akan mati,” kata Gunawan.
Jika dalam praktiknya pengusaha yang sudah besar selalu mendapat
proyek besar, maka bagaimana mungkin usaha kecil punya kesempatan kalau
ekonomi perdesaan dan pertanian tidak dibantu. “Bagaimana mengangkat
ekonomi perdesaan kalau dananya tidak sampai ke desa, tapi diberikan ke
orang tertentu sebagai proyek pedesaan, tapi tidak bermanfaat bagi
rakyat desa,” katanya.
Petani dalam kondisi seperti itu, papar Gunawan, tidak akan
sejahtera dari hasil panen, apalagi tidak punya modal cukup, sehingga
harus berutang dan hasil panen pun dibeli tengkulak.
Menurut Gunawan, nilai tukar petani (NTP) idealnya 120 persen, petani
harus untung. Tidak masuk akal kalau petani rugi sementara pedagang
bisa untung 40 persen dari impor. Pada saat pasokan kurang, harga pangan
naik jauh di atas harga normal. Hal itu berarti konsumen juga dirugikan
sampai 40 persen dari harga normal, sehingga yang untung hanya
pedagang, rent seeking, dan importir.
Sebab itu, dia meminta agar produk pertanian harus diberi harga yang
menguntungkan agar petani bisa hidup lebih layak. Selama ini terkesan
jika pedagang untung 40 persen tidak ada yang ribut, namun tidak ada
satu pun yang bersuara kalau petani merugi. “Kalau yang 200 juta tidak
diberi kesempatan bangkit maka Indonesia tetap akan jadi miskin dan
semakin tertinggal,” kata Gunawan.
Satu Bangsa
Indonesia, tambah Gunawan, harus menjadi satu bangsa dan negara,
bukan terdiri dari empat kelas yang berbeda di dunianya. “Hanya satu
bangsa kalau kita perbaiki sistem tata negara di mana pejabat wajib
tanggung jawab atas jabatannya kepada 267 juta penduduk, bukan kepada
yang satu persen itu,” katanya.
Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Keuangan berkaitan dengan
pengucuran stimulus untuk program PEN, dinilai Gunawan, kurang berpihak
pada masyarakat miskin karena alokasi anggarannya belum optimal ke
mereka. Seharusnya dana PEN 80 persen diterima masyarakat bawah. “Jika
dana PEN tidak diterima rakyat bawah maka tidak mungkin ada pemulihan.
Coba kalau disalurkan ke petani dan pembangunan perdesaan, akan
bermanfaat,” tutup Gunawan.
0 comments:
Post a Comment