JAKARTA - Kementerian Kesehatan RI mencatat terdapat
68 ribu kasus demam berdarah (DBD) tersebar di 460 kabupaten/kota
seluruh wilayah Indonesia. Dalam konferensi pers yang disiarkan langsung
akun YouTube BNPB pada Senin (22/6), Direktur Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan,
dr Siti Nadia Tarmizi, M Epid, mengungkapkan fase demam berdarah tahun
ini berbeda dengan tahun sebelumnya.
Nadia menyebut puncak demam berdarah biasanya terjadi pada Maret,
namun tahun ini tambahan kasus masih terus terjadi hingga Juni.
"Jadi kalau kita lihat DBD puncak kasusnya setiap tahun selalu
terjadi Maret. Satu hal yang berbeda tentunya pada tahun ini adalah kami
melihat penambahan kasusnya sampai Juni, kami masih temukan penambahan
kasus yang cukup banyak. Artinya, angka ini adalah sesuatu yang berbeda
dari tahun-tahun sebelumnya. Kita melihat bahwa sampai saat ini kita
masih temukan 100-500 kasus per hari," ujar dia.
Demam berdarah merupakan penyakit pada manusia yang disebabkan virus
dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti. Kasus pertama demam
berdarah di Indonesia ditemukan pada 1968.
Menurut dokter spesialis infeksi dan penyakit tropik dari RS Cipto
Mangunkusumo (RSCM), dr Erni Juwita Nelwan, SpPD-KPTI, mengatakan perlu
ada upaya berkesinambungan dalam mencegah penyebaran penyakit demam
berdarah, antara lain dengan memberantas sarang nyamuk serta menjaga
kebersihan di sekitar tempat tinggal.
“Bukan karena kita terpaku pada Covid-19 lalu kita jadi abai pada
yang lain. Perhatian terhadap demam berdarah harus terus diingatkan
bahwa ini adalah upaya yang harus terus-menerus dikerjakan,” ujar Erni
saat dihubungi di Jakarta pada Senin siang.
Faktor cuaca dinilai turut berpengaruh dalam meningkatnya kasus demam
berdarah di Indonesia. Faktor tersebut dapat mempercepat siklus hidup
nyamuk Aedes aegypti mulai dari telur, larva, pupa, hingga menjadi
nyamuk dewasa yang biasanya selesai dalam waktu 10 hingga 20 hari.
“Sekarang kita fasenya climate change, bisa saja dalam seminggu ada
hujan, ada (kondisi) tidak hujan. Ini akan memudahkan siklus hidup
nyamuk itu berubah lebih cepat atau pendek,” ujar Erni. Ia mengatakan
bahwa saat ini telah beberapa kali terjadi hujan, sehingga fase
perkembangan nyamuk dari jentik ke dewasa pun menjadi lebih cepat.
Jentik nyamuk Aedes aegypti hidup di kondisi yang lembab dan basah
seperti tempat penampungan air. Erni menekankan bahwa gerakan 3M yaitu
mengubur, menguras, dan menutup wadah-wadah yang jadi tempat
bersarangnya jentik nyamuk harus terus dikerjakan. “(Jika) tidak ada
nyamuk di sekitar kita, tidak ada jentik-jentik nyamuk yang berkembang
biak di sekitar kita.”
Infeksi Ganda
Dari 460 kabupaten/kota yang mencatatkan kasus demam berdarah,
sebanyak 439 di antaranya juga melaporkan kasus Covid-19. Direktur
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
Kementerian Kesehatan RI, dr Siti Nadia Tarmizi, M Epid, dalam
konferensi pers yang disiarkan langsung akun YouTube BNPB mengatakan
bahwa infeksi ganda ini memungkinkan seseorang yang terserang Covid-19
juga berisiko terinfeksi demam berdarah.
Senada dengan Nadia, Erni mengungkapkan bahwa ia banyak menjumpai
pasien yang terinfeksi demam berdarah dan Covid-19 secara bersamaan.
“Ini gejala demamnya lebih dominan, tapi secara klinis kita lihat
gambaran pasiennya memang sakit demam berdarah pada umumnya. Demam akut
3-4 hari pertama, kemudian demam mulai turun disertai dengan kadar
hematokrit naik, trombosit turun, leukosit turun. Jadi polanya tetap
demam berdarah tetapi gambaran rontgen-nya itu seperti Covid-19. Di-swab
ternyata hasilnya positif,” papar Erni.
Namun, Erni yang berprofesi sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ini enggan menyebut jika virus korona
dapat mempermudah seseorang terinfeksi virus demam berdarah, begitu pula
sebaliknya.
Menurutnya, belum ada data lebih lanjut terkait hal tersebut. Ia
menekankan bahwa gejala demam berdarah berbeda dengan Covid-19. Pasien
Covid-19 banyak memiliki keluhan masalah pernapasan seperti batuk atau
sesak napas, dan gejala ini hampir tidak dikeluhkan oleh pasien demam
berdarah.
Lebih lanjut Erni mengatakan ada pula kasus di mana pada saat awal
pasien telah dicurigai menderita demam berdarah, tetapi tidak dicek
virusnya. Saat kondisi pasien tidak juga membaik dan malah kian buruk
ternyata pasien tersebut menderita Covid-19.
"Tidak bisa bilang demam berdarah mirip Covid kecuali kalau sudah ada
bukti kalau pertama itu demam berdarah dan pada fase berikutnya ada
infeksi Covid juga,“ jelas Erni.
Di tengah pandemi Covid-19 ini, lebih lanjut Erni mendorong untuk
dilakukannya upaya pengasapan atau fogging secara maksimal demi
memberantas nyamuk Aedes aegypti dewasa yang mempunyai daya jelajah
sejauh 200-400 meter ini.
“Fogging itu tidak perlu berkerumun cukup ada petugas yang
melakukannya. Nyamuk gigitnya dalam rumah, idealnya saat fogging
rumahnya dibuka supaya obat yang disemprotkan membunuh nyamuknya, bisa
mengenai semua nyamuk yang ada di dalam rumah. Demam berdarah itu indoor
bite,” papar Erni.
Sedikitnya ada 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus demam
berdarah tertinggi, antara lain Jawa Barat dengan 10.594 kasus, Bali
8.930 kasus, Nusa Tenggara Timur (NTT) 5.432 kasus, Jawa Timur 5.104
kasus, Lampung 4.983 kasus, Nusa Tenggara Barat (NTB) 3.796 kasus, DKI
Jakarta 3.628 kasus, Jawa Tengah 2.846 kasus, DI Yogyakarta 2.720 kasus,
dan Riau 2.143 kasus.
Sementara, hingga berita ini diturunkan tercatat sedikitnya 46.845
kasus positif Covid-19 di Indonesia dengan 18.735 kasus dinyatakan
sembuh, dan 2.500 kasus dinyatakan meninggal dunia.
0 comments:
Post a Comment