![]() |
“Tetapi, aku (percaya bahwa), Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku.”
|
Masih ingatkah Anda dengan kisah tiga orang bani Israil yang diuji oleh Allah Subhanahu wata’ala
dengan penyakit yang membuat orang-orang yang di sekeliling mereka
merasa jijik? Betul, salah satu di antara mereka berpenyakit belang,
kulitnya rusak dan jelek; yang lain kepalanya tidak ditumbuhi rambut
sama sekali; dan yang ketiga buta, tidak dapat melihat. Mereka diuji
oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan kesenangan berupa
kesehatan, sembuh dari penyakit yang mereka derita, bahkan diberi-Nya
pula kekayaan. Namun, di akhir cerita, orang yang terkena penyakit kulit
dan botak dikembalikan oleh Allah Subhanahu wata’ala seperti semula. Adapun yang buta tetap melihat, bahkan kekayaannya diberkahi. Demikianlah yang dikisahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah mendengarnya dari seorang pendeta atau ahli ilmu mana pun. Tidak lain, hal itu berasal dari Allah Subhanahu wata’ala.
Dua orang pertama dikembalikan karena
mengingkari kesenangan yang telah mereka rasakan. Itulah akibat
mengkufuri nikmat. Adapun orang yang ketiga tetap dengan kesehatan dan
kekayaannya. Itulah buah dari rasa syukur. Itulah sunnah Allah Subhanahu wata’ala yang membagi manusia menjadi dua golongan: yang bersyukur dan yang kafir. Tentu saja yang paling dibenci oleh Allah Subhanahu wata’ala adalah kekafiran dan para pelakunya, sedangkan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala adalah syukur dan orang-orang yang bersyukur. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Jika kamu kafir, sesungguhnya Allah
tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-
Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu
itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (az- Zumar: 7)
Iman itu terdiri atas dua bagian: syukur
dan sabar. Syukur adalah pencarian terbaik orang-orang yang berbahagia.
Kedudukannya di dalam agama sangat mulia. Kadang Allah Subhanahu wata’ala menggandengkannya dengan zikir atau dengan keimanan. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala mengaitkan adanya tambahan karena adanya syukur, sebagaimana firman-Nya,
Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu
memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Allah Subhanahu wata’ala menerangkan pula bahwa mereka yang pandai bersyukur itulah yang mengabdi dengan sebenar-benarnya kepada Allah Subhanahu wata’ala, sedangkan orang-orang yang tidak tahu bersyukur kepada- Nya, tidaklah tergolong orang-orang yang beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
Semua yang dirasakan oleh manusia di
dunia ini tidak lepas dari dua hal. Yang pertama, sesuai dengan
keinginan jiwa manusia; dan yang kedua, tidak sesuai dengan jiwanya.
Yang pertama bisa berupa kesehatan, keselamatan, kekayaan, kedudukan,
dan berbagai kesenangan lainnya. Adapun yang kedua adalah kebalikan atau
lawannya. Kedua hal ini diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala ke tengah-tengah manusia untuk menjadi ujian bagi mereka. Demikianlah firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (al-Anbiya: 35)
Artinya, Kami memberi ujian kepada
kalian dalam bentuk musibah dan kesenangan, agar Kami melihat siapa di
antara kalian yang bersyukur dan siapa yang kafir. Siapa pula yang
bersabar dan siapa yang berputus asa. Akan tetapi, sebagaimana kata
sebagian salaf yang saleh, “Terhadap ujian berupa musibah, bisa saja
seorang mukmin dan kafir itu sabar menghadapinya. Tetapi, tidak ada yang
lulus menghadapi ujian yang berujud kesenangan selain orang yang
benar-benar jujur dan benar keimanannya (shiddiq).” Sahabat yang mulia, ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu,
dengan penuh kerendahan hati, tanpa menganggap suci dirinya meski telah
dipastikan masuk surga, masih mengatakan, “Kami diuji dengan kesulitan,
tetapi kami mampu bersabar. Namun, ketika diuji dengan kesenangan, kami
tidak sabar menghadapinya.” Kalau seorang sahabat semulia ini menyadari
kelemahan dirinya, padahal beliau memiliki keutamaan yang tidak dapat
ditandingi oleh orang-orang yang sesudahnya, bahkan terkenal pula
sebagai orang yang dermawan dan zuhud, bagaimana kiranya dengan mereka
yang hidup sesudah zaman beliau? Wallahul musta’an.
Untuk menanamkan bagaimana jelasnya hakikat syukur dan kufur, berikut buahnya masing-masing, Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya n sering membuat perumpamaan yang mudah dicerna.
Perumpamaan itu kadang berupa kisah yang pernah terjadi di masa lalu.
Karena Allah Subhanahu wata’aladan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang menerangkannya kepada kita, sudah pasti itu semua adalah benar dan
pasti terjadi di alam nyata, bukan dongeng. Bahkan, kisah tersebut
sarat dengan pelajaran hidup yang berharga buat mereka yang masih
mempunyai hati dan mau mencurahkan perhatiannya terhadap kisah tersebut.
Sebagian perumpamaan itu telah diceritakan dalam edisi sebelumnya. Kali
ini adalah kiash tentang dua orang yang punya hubungan dekat, yang satu
kaya tetapi musyrik, sedangkan yang lain mukmin tetapi miskin. Dari
kisah ini kita akan memahami arti syukur dan bahaya mengingkari (kufur)
nikmat/kesenangan yang telah dilimpahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Musyrik yang Kaya & Fakir yang Mukmin
Al-Baghawi rahimahullah dalam
tafsirnya menukil dari ‘Abdullah bin al-Mubarak, dari Ma’mar, dari
‘Atha’ al-Khurasani yang menceritakan bahwa dahulu ada dua laki-laki
yang melakukan kerja sama. Keduanya memperoleh laba sebesar delapan ribu
dinar. Ada juga pendapat yang mengatakan, keduanya adalah dua
bersaudara yang mendapat warisan sebanyak itu juga. Kemudian, keduanya
membagi rata harta tersebut. Salah seorang dari mereka membeli tanah
seharga seribu dinar. Yang lain, demi melihat temannya membeli tanah
seharga seribu dinar, berkata, “Ya Allah, Si Fulan telah membeli tanah
seribu dinar, maka Aku membeli tanah di surga dari-Mu seharga seribu
dinar.” Dia pun bersedekah dengan seribu dinar itu. Lelaki pertama mulai
membangun rumah dengan harga seribu dinar, maka lelaki kedua pun
berkata pula, “Ya Allah, si Fulan telah membangun rumah seharga seribu
dinar, maka Aku membeli rumah di surga dari Engkau seharga seribu
dinar.” Lalu dia pun menyedekahkan seribu dinar yang kedua.
Lelaki pertama kemudian menikahi seorang
wanita dengan mahar seribu dinar, maka yang kedua berkata pula, “Ya
Allah, si Fulan telah menikahi seorang wanita dengan seribu dinar, maka
Aku melamar dari-Mu seorang wanita surga dengan seribu dinar,” dan dia
pun menyedekahkan seribu dinar berikutnya. Lelaki pertama membeli
pelayan dan perabotan dengan seribu dinar. Lelaki kedua mengetahuinya
dan berkata, “Ya Allah, si Fulan membeli pelayan dengan seribu dinar,
maka Aku membeli dari-Mu pelayan dan perabotan dengan seribu dinar,”
lalu dia pun menyedekahkan seribu dinar terakhir. Akhirnya, 4.000 dinar
di tangan lelaki kedua itu habis. Dia tidak mempunyai uang sepeser pun
untuk memenuhi keperluan hidupnya. Rumah, dia tidak punya, apalagi
perabotannya, atau istri dan pelayan yang membantunya mengurusi rumah
itu. Usaha atau ma’isyah, dia juga tidak punya. Bangkrut, itulah
istilah yang lumrah diberikan kepadanya. Suatu ketika dia berniat
menemui temannya, mudah-mudahan dia bisa memperoleh kebaikan dari
temannya itu.
Dia pun duduk di jalan yang biasa
dilalui oleh temannya. Begitu tiba di hadapannya, lelaki yang kehabisan
uang itu berdiri. Lelaki yang pertama, yang telah menghabiskan hartanya
untuk membeli tanah, rumah dan seterusnya, berhenti dan menatap orang
yang di hadapannya. Dalam keadaan terkejut dia berkata, “Fulan? Ada apa
denganmu?” “Betul,” kata lelaki kedua, “Saya ada keperluan mendesak.”
“Mana hartamu, bukankah kamu sudah membawa separuhnya?” Lelaki kedua itu
menceritakan apa yang dilakukannya selama ini. Lelaki pertama berkata
dengan sinis, “Pergilah, aku tidak akan memberimu sepeser pun.” Dalam
riwayat lain, disebutkan, bahwa lelaki kedua dibawa oleh yang pertama
berkeliling melihat-lihat harta kekayaannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
Dan berikanlah kepada mereka
perumpamaan dua orang laki-laki yang Kami jadikan bagi seorang di antara
keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua
kebun itu dengan pohon-pohon kurma. Di antara kedua kebun itu Kami
buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu
tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di
celah-celah kedua kebun itu, Dia mempunyai kekayaan besar, maka dia
berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia,
“Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih
kuat.” Dia memasuki kebunnya dalam keadaan zalim terhadap dirinya sendiri; dia berkata, “Aku kira kebun ini tidak akan
binasa selama-lamanya. Aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang.
Jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat
tempat kembali yang lebih baik daripada kebunkebun itu.” Kawannya (yang
mukmin) berkata kepadanya—ketika dia bercakap-cakap dengannya, “Apakah
kamu kafir kepada (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian
dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang
sempurna? Tetapi, aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku.
Dan mengapa kamu tidak mengatakan
waktu kamu memasuki kebunmu, ‘Masya Allah, la quwwata illa billah
(sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali
dengan pertolongan Allah).’ Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit
darimu dalam hal harta dan keturunan, maka mudah-mudahan Rabbku akan
memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan
mudah-mudahan dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada
kebunmu; hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya
menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat
menemukannya lagi.” Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia
membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia
telah belanjakan untuk itu, sedangkan pohon anggur itu roboh bersama
para-paranya dan dia berkata, “Aduhai kiranya dahulu aku tidak
mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku.” Dan tidak ada bagi dia
segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana, pertolongan itu hanya dari Allah yang haq. Dia adalah sebaikbaik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan. (al-Kahfi: 32—44)
Allah Subhanahu wata’ala memerintah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam
membuat tamsil untuk orang-orang kafir Quraisy dan selain mereka.
Tamsil itu menerangkan tentang dua orang yang bersahabat. Salah satu
dari mereka adalah petani yang kaya raya dengan sawah ladang yang subur
dan hasil panen yang berlimpah serta pengikut yang banyak. Yang satunya
adalah lelaki miskin, serba kekurangan. Suatu ketika, petani kaya itu
memasuki kebunnya bersama temannya yang miskin. Kebun itu dipenuhi
anggur dan kurma yang lebat buahnya. Di selasela kebun itu, mengalir
sebuah anak sungai yang jernih. Petani kaya itu dengan bangga
memerhatikan anggur – anggur bergelantungan dan buah kurma yang
berjuntai di tandan-tandannya. Dia pun berkata kepada temannya, “Hartaku
lebih banyak darimu, demikian pula pengikutku.” Si Kaya sengaja
menyebut-nyebut kekayaan dan kedudukannya untuk membanggakan dirinya,
bukan sebagai tanda syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberinya kenikmatan tersebut.1
Si Kaya melanjutkan, “Aku tidak yakin
anggur dan kurma yang ada di kebun ini akan berhenti berbuah….” Rasa
bangga dengan anggur yang berbuah lebat, daun-daunan yang hijau, air
jernih yang mengalir di sela-sela tanamannya, serta kurma yang berjuntai
di tandan-tandannya, membuatnya lupa bahwa dunia tidak diciptakan untuk
kekal bagi siapa pun, bahkan dia pun tidak pula akan selamanya dapat
merasakan lezatnya dunia. Dengan pandangannya yang sempit tentang dunia
ini, dia pun berani mengingkari adanya kehidupan di seberang kematian.
Dia berkata dengan sombongnya, “Aku pun tidak percaya kiamat akan
terjadi. Kalaupun aku mati, pasti aku akan menerima kebaikan….” Menurut
dia, andaikata kiamat itu terjadi juga, maka sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala telah memberinya kesenangan hidup selama di dunia, di akhirat pun Allah Subhanahu wata’ala
pasti memberinya kesenangan. Anggapan seperti ini hampir merata ada di
dalam hati orang-orang yang tidak beriman kepada hari kemudian. Mereka
mengira, kalau di dunia sudah merasakan kesenangan, di akhirat juga
pasti merasakannya. Atau sebaliknya, di dunia mereka dalam keadaan
sengsara, di akhirat juga pasti sengsara. Temannya yang miskin kembali
mengingatkan (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
“Apakah kamu kafir kepada (Allah)
yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu
Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?”
Bagaimana bisa kamu tidak beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala
dan hari kebangkitan, padahal Dia telah menciptakanmu dari setetes air
yang hina lalu menjadikanmu manusia yang utuh dan sempurna? Dia
melanjutkan (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
“Tetapi, aku (percaya bahwa), Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku.”
Meskipun aku miskin dan sangat memerlukan bantuan, aku tidak akan menyekutukan Allah Subhanahu wata’ala
dengan sesuatu pun. Aku tidak akan menukar agamaku. Aku memang miskin,
harta dan anak-anakku lebih sedikit daripada milikmu, tetapi aku yakin
Rabbku (Allah) akan memberi aku lebih baik dari yang diberikan-Nya
kepadamu dan menimpakan bencana kepada kebunmu, lalu kamu akan
melihatnya berubah, hilang warna hijau dan keindahannya. Atau, airnya
menyusut ke dalam tanah, hingga kamu tidak bisa mencarinya. Mengapa kamu
tidak mengucapkan, ‘Masya Allah, la quwwata illa billah,’ setiap memasuki kebunmu? Bukankah tidak ada satu pun yang dapat memeliharanya selain Allah Subhanahu wata’alal?”
Akan tetapi, si Kaya tidak mau memerhatikan nasihat tersebut. Suatu
hari, si Kaya itu memasuki kebunnya untuk menikmati pemandangan indah
yang ada di sawah ladangnya.
Begitu kakinya memasuki pintu kebun itu,
dia terbelalak dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kebunnya
hancur. Tidak ada lagi anggur ranum yang bergelantungan ataupun
tandantandan kurma yang bernas menjuntai. Bahkan, daun-daun hijau yang
menghiasi tanamannya berserakan di atas tanah. Dia pun memukulkan tapak
tangannya satu sama lain karena ngeri melihat kehancuran di depan
matanya. Saat itu juga dia teringat ucapan temannya, maka dia pun
menyesal, “Duhai kiranya aku tidak menyekutukan Rabbku dengan sesuatu
apa pun.” Tetapi, penyesalannya terlambat karena kebun itu tidak lagi
bermanfaat baginya. Itulah akibat kekafirannya dan tidak bersyukur atas
kesenangan yang diperolehnya. Dia menyebutnyebut kesenangan itu hanya
untuk membanggakan diri terhadap orang lain, bukan untuk mengingat Allah
Subhanahu wata’ala yang telah memberinya kesenangan tersebut.
Karena kesombongannya itu, Allah Subhanahu wata’ala
melenyapkan keindahan kebunkebunnya dan menggantikannya dengan
puing-puing serta tumpukan daun, pokok kurma, dan anggur yang tidak ada
gunanya. Semua kering, hancur luluh. Itulah perumpamaan yang Allah Subhanahu wata’ala buat untuk umat manusia, baik orang-orang Quraisy yang dihadapi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
saat itu maupun yang datang setelah mereka dan bangsa lainnya. Sebuah
tamsil yang menerangkan keadaan orang-orang Quraisy yang menentang
nikmat paling mulia yang dilimpahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada mereka, yaitu diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
ke tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri. Mereka diingatkan
akan akibat buruk yang akan mereka rasakan jika kekafiran itu terus
melekat pada diri mereka. Kemudian, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Di sana pertolongan itu hanya dari Allah yang haq, Dia adalah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan.”
Pada hari kiamat nanti, Allah Subhanahu wata’ala hanya akan membela orang-orang yang beriman.
Beberapa Faedah dan Hikmah
Kisah ini mengingatkan kita tentang beberapa pelajaran hidup sebagai berikut.
1. Di dalam hidup ini selalu ada ujian
yang silih berganti. Ujian itu tidak hanya berupa kesulitan, tetapi juga
kesenangan dan kemudahan. Kisah-kisah orangorang yang terdahulu adalah
pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang datang belakangan.
2. Dunia ini manis dan menipu, terkhusus terhadap orang-orang yang lemah iman.
3. Rezeki itu di tangan Allah Subhanahu wata’ala. Dia-lah yang telah menciptakan manusia, sehingga tentu tidak akan membiarkan mereka sia-sia begitu saja.
4. Kewajiban untuk beriman kepada hari kebangkitan/pembalasan, bahwa setiap orang pasti akan datang menemui Allah Subhanahu wata’ala untuk dihisab dan diberi balasan sesuai dengan amalannya.
5. Kekafiran dan kemaksiatan adalah
perbuatan zalim terhadap diri sendiri. Keduanya tidak akan menimbulkan
mudarat kecuali terhadap diri sendiri.
6. Proses penciptaan manusia mulai dari setetes mani hingga menjadi manusia yang sempurna menunjukkan kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala sekaligus menegaskan keberhakan-Nya untuk menerima peribadatan dari seluruh makhluk-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
7. Disyariatkan untuk berzikir menyebut nama Allah Subhanahu wata’ala ketika melihat kebaikan dan merasakan nikmat.
8. Kesyirikan dan kemaksiatan adalah sebab rusaknya harta dan hilangnya rezeki.
9. Bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala akan mengundang nikmat yang berikutnya, sekaligus memelihara nikmat yang sudah ada. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits







0 comments:
Post a Comment