ISU pemberantasan
korupsi di Indonesia selama ini terlalu didominasi oleh persepektif
hukum dan administrasi, meskipun merupakan salah satu sisi yang paling
penting dari upaya pemberantasan.
Padahal dalam banyak kasus, ditemukan adanya relasi antara tindakan
korupsi dan aspek politik, terutama partai politik sebagai institusi
penting dalam sistem politik yang demokratis.
Perlu dipahami bahwa perspektif hukum tidak cukup lagi untuk memberantas
korupsi mengingat korupsi akan selalu berhubungan dengan modal yang
memasuki dan terintegrasi ke dalam institusi penyelenggaraan negara
secara massif.
Sehingga, pada akhirnya pembahasan tentang korupsi juga harus melihat
keterkaitannya dengan aspek politik, seperti demokrasi, pemilu dan
partai politik.
Indonesia menganut sistem demokrasi yang menempatkan kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat.
Rakyatlah yang membentuk pemerintahan, ikut menyelenggarakan
pemerintahan, dan menjadi tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat yang demikian itulah disebut
dengan sistem demokrasi.
Hal itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945:
"Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan melalui Undang-Undang
Dasar".
Untuk menjalankan mekanisme demokrasi tersebut, maka di dalam konstitusi
juga diatur tentang keberadaan pemilu.
Pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali merupakan mekanisme
sirkulasi elite, baik itu di eksekutif maupun legislatif, sekaligus
juga menjadi ukuran apakah negara itu telah demokratis atau tidak.
Proses penyelenggaraan pemilu itu juga menghadirkan partai politik
sebagai pilar utama demokrasi.
Keberadaan partai politik adalah penting karena demokrasi mensyaratkan
wewenang warga untuk memerintah dan menjadi bagian dari hak warga
berpartisipasi menentukan kebijakan publik dan pemimpinnya.
Para pakar politik setidaknya merangkum beberapa fungsi penting partai
politik di dalam demokrasi, antara lain artikulasi dan agregasi
kepentingan, pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen.
Peran sentral partai politik
Semenjak era reformasi tahun 1999,
Peran dan kedudukan partai politik
semakin menguat.
Partai politik tidak lagi hanya sebagai boneka dan perpanjangan tangan
penguasa seperti di masa Orde Baru, tetapi sudah menjadi pemegang
peranan sentral hampir di semua proses kehidupan berbangsa.
Berdasarkan konstitusi, partai politik menjadi kendaraan satu-satunya
dalam pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan presiden
(pilpres), serta menjadi pengusung calon kepala daerah dalam pemilihan
kepala daerah (pilkada).
Pembentukan dan pengisian lembaga-lembaga negara juga sangat ditentukan
oleh apa maunya partai politik melalui fraksi-fraksi di DPR, sebut saja
misalnya, seleksi untuk anggota Komisi Yudisial (KY), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi
Pemilihan Umum (KPU), dan
sebagainya.
Namun, dengan peran yang semakin kuat itu, selama lima kali pemilu yang
diselenggarakan di era reformasi sejak tahun 1999, partai politik belum
mampu menjalankan peran dan fungsi sebagaimana mestinya.
Partai politik malah berkubang dalam berbagai permasalahan, terutama
terkait citranya yang lekat dengan tindakan korupsi.
Perkembangan demokrasi sampai saat ini malah membuat korupsi makin masif
baik di pusat maupun daerah, dan mayoritas pelakunya adalah para elite
politik dan kepala daerah. Bahkan korupsi juga menyertakan pihak swasta.
Berbagai jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga juga
mengonfirmasi betapa belum berjalannya fungsi partai politik secara
baik, selaku pilar demokrasi.
Jajak pendapat yang dilakukan Indo Barometer pada 2017 menunjukkan
tingginya tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik
karena sebanyak 51,3 persen masyarakat menganggap partai politik
berkinerja buruk.
Dari survei itu, dijelaskan bahwa masyarakat semakin tidak percaya
kepada partai karena banyak kader partai yang terjerat kasus hukum,
terutama korupsi.
Besarnya ketidakpercayaan itu juga berdampak terhadap tingkat kedekatan
masyarakat kepada partai yang semakin rendah. Sebanyak 62,9 persen
masyarakat merasa tidak dekat dengan partai.
Hasil survei Indo Barometer terkait rendahnya kepercayaan masyarakat
terhadap partai politik itu, seirama dengan survei yang dilakukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelang Pemilu 2019.
Hasil survei LIPI itu menunjukkan kinerja lembaga demokrasi seperti
partai politik memperoleh penilaian terendah sebagai institusi
berkinerja baik, yaitu sebesar 13,10 persen.
KPK sebagai lembaga superbody diharapkan mampu memberantas praktik
koruptif dalam penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan daerah sejak
didirikan tahun 2002, ternyata tidak bisa secara maksimal menghilangkan
korupsi.
Korupsi masih saja marak serta makin menggurita, dan menurut data sejak
2004 sampai 2019, sudah 124 kepala daerah yang notabene para politisi
terjerat kasus korupsi.
Korupsi, baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif untuk
kepentingan partai politik, merupakan fenomena yang marak sejak
reformasi bergulir.
Selain itu, kasus-kasus skandal korupsi partai politi juga makin marak
dengan melibatkan individu-individu di pemerintahan.
Maraknya fenomena ini tidak lain disebabkan karena partai politik belum
bisa menjadi institusi yang baik sebagai pilar demokrasi.
Parpol hari ini belum mampu menjadikan sebuah institusi yang
menghadirkan sosok-sosok pemimpin yang bisa berpikir bagaimana
menyejahterakan rakyat.
Begitu pula jalannya pemerintahan yang sebagian besar tidak terlepas
dari peran partai politik, juga belum mampu membawa ke arah pemerintahan
efektif yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan rakyat.
Kita lihat saja pertumbuhan ekonomi kita yang masih stagnan di angka 5
persen, dan peringkat ekonomi kita belum beranjak dari middle income
trap (jebakan negara berpendapatan menengah).
Jadi, bisa dikatakan bahwa partai poitik dengan wewenang yang begitu
besar di era reformasi ini, belum mampu menopang peneyelenggaraan
pemerintahan efektif yang mengurus kepentingan rakyat.
Hal itu terjadi karena figur-figur yang dihasilkan partai tidak meiliki
sebuah tekad kuat untuk mewujudkannya, atau tidak berdaya karena partai
politik sudah sangat bermasalah.
Politik biaya tinggi
Kita tidak bisa menutup mata bagaimana faktor politik biaya tinggi baik
dalam pemilu legislatif, pemilu eksekutif di pusat maupun di daerah,
menjadi faktor destruktif bagi partai politik sebagai pilar demokrasi.
Biaya politik yang tinggi membuat begitu rentannya para politisi
terjerat korupsi sehingga membuat politik pemberantasan korupsi menemui
jalan buntu.
Seperti kita ketahui, dalam arena pilkada, pengeluaran calon pimpinan
daerah tidak berhenti hanya sampai operasional kampanye dan pilkada
semata.
Lebih awal dari itu adalah biaya yang harus dikeluarkan kepada partai
politik, yang biasanya dikenal dengan "mahar politik".
Istilah ini mengacu pada "pembebanan kewajiban oleh partai
politik/gabungan partai politik kepada seorang bakal calon untuk
mengeluarkan sejumlah biaya sebagai syarat untuk mendapat dukungan atau
syarat untuk dapat maju dalam pemilihan".
Dalam aturan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 40 ayat 1
disebutkan bahwa partai politik/gabungan partai politik dapat
mencalonkan kandidat apabila mendapat 25 persen suara atau 20 persen
kursi dari jumlah keseluruhan kursi di DPRD bersangkutan, dan bakal
calon harus mendapatkan persetujuan dari DPP masing-masing partai yang
mengusulkan.
Di sinilah umumnya transaksi "mahar politik" terjadi, sebagaimana yang
diindikasikan KPU.
Bahkan, penelitian KPK terhadap 286 kepala daerah yang kalah dalam
Pilkada 2015 menyebutkan bahwa mahar politik merupakan komponen
pengeluaran biaya terbesar dari seorang kandidat, dan angkanya melebihi
Rp 2 miliar.
Besarnya kebutuhan dana membuat rawan terjadinya praktik korupsi dan
makin sulit terlaksananya prinsip tata kelola pemerintahan yang efektif
karena gaji ketika mereka terpilih nantinya tidak sebanding dengan
pengeluaran untuk pemilu.
Seperti yang dilaporkan KPK dalam kajiannya terkait pendanaan Pilkada
2015, sebanyak 51,4 persen responden poltisi mengeluarkan dana kampanye
melebihi harta kas (uang tunai, tabungan, dan deposito).
Bahkan, 16,1 persen mengeluarkan dana kampanye melebihi total harta yang
mereka cantumkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Selain itu, 56,3 persen responden mengatakan tahu bahwa donatur kampanye
mengharap balasan saat calon kepala daerah terpilih.
Sebanyak 75,8 persen responden mengatakan akan mengabulkan harapan
donatur. Sebanyak 65,7 persen donatur menghendaki kemudahan perizinan
usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran di daerah).
Kecenderungan ini jelas mengarah pada korupsi, di mana para caleg akan
mengupayakan agar investasinya selama pemilu bisa kembali dalam waktu
cepat selama ia menjabat.
Jadi, maraknya mahar politik itu tidak lain disebabkan oleh pembiayaan
yang tinggi di arena politik.
Tidak heran jika partai melakukan jalan pintas seperti berkolaborasi
dengan para pemodal dan penguasa, sehingga fungsi rekrutmen yang
seharusnya terbuka bagi semua kalangan yang memiliki integritas menjadi
didominasi kalangan pemilik modal.
Padahal, proses rekrutmen dan kaderisasi dalam demokrasi dapat
diibaratkan seperti bercocok tanam untuk mendapatkan hasil yang unggul,
yang juga harus diikuti dengan memilih, menanam dan mengolah bibit itu
secara unggul pula.
Realitas poltik seperti minimnya sumber pendanaan dan menguatnya
pragmatisme dan politik transaksi, pada akhirnya menimbulkan
kencenderungan partai untuk memberikan dukungan kepada kandidat dari
eksternal partai (non-kader) demi memenuhi kebutuhan akan dana
operasional dan biaya kompetisi politik yang besar.
Selain itu, komposisi pendanaan yang secara dominan dikuasai elite
politik dan pengusaha akan menciptakan struktur kebijakan yang
oligarkis.
Partai politik dan kandidat sebagai aktor utama kebijakan publik akan
lebih mudah dikontrol oleh kekuataan oligarkis.
Jeffrey A Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki
dalam dua dimensi.
Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital
yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi
simpul-simpul kekuasaan.
Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang
menggurita secara sistemik.
Akibat dari oligarki tersebut, partai politik menjadi semakin tak mampu
menjalankan peran dan fungsi secara mandiri karena terkooptasi oleh
kekuatan modal atau oligarki.
Partai akan sangat mudah dikontrol oleh kekuatan pemodal, sehingga
fungsi penting terutama dalam hal rekrutmen, menjadi lemah.
Maka tidak heran jika dalam konteks mengusung calon anggota legislatif,
partai politik cenderung mengistimewakan figur-figur yang dinilai
memiliki kapital dan kekuasaan.
Kondisi tersebut amat berbahaya dan menyuburkan tindakan korupsi karena
determinasi kekuatan uang dalam politik di Indonesia sebagai negara yang
sedang mengalami transisi politik dengan fragmentasi yang cukup tinggi
menimbulkan ketergantungan yang besar pada kuasa ekonomi.
Hal itu dapat menimbulkan kooptasi langsung maupun tidak langsung
terhadap kekuasaan politik.
Fenomena ini kelak diwarnai dengan penguasaan struktur atau pos anggaran
tertentu dalam pemerintahan untuk posisi kaum pemodal yang secara tidak
langsung juga memberikan kekuasaan politik untuk mengakumulasikannya.
Selain itu, komposisi pendanaan yang secara dominan dikuasai elit
politik dan pengusaha akan menciptakan struktur kebijakan yang
oligarkis.
Partai politik dan kandidat sebagai aktor utama kebijakan publik akan
lebih mudah dikontrol oleh kekuataan oligarkis.
Oleh karena itu, salah satu pembenahan partai politik di Indonesia demi
memberantas korupsi adalah dengan mengeliminasi faktor politik biaya
tinggi.
Selama faktor itu belum diselesaikan, maka jangan berharap korupsi bisa
diatasi dan dihilangkan.
Dengan adanya politik biaya tinggi, maka partai politik juga akan
semakin tidak demokratis, bahkan semakin oligarki, karena dikuasai dan
dikendalikan oleh para pemodal, orang-orang kaya, dan penguasa.
Kesimpulan dan rekomendasi
Pascareformasi, kita menyaksikan terjadinya penguatan kewenangan partai
politik. Berbeda dengan era Orde Baru, di mana partai politik hanya
sebagai boneka penguasa, di era reformasi kewenangan partai politik
begitu besar hampir di semua proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan yang besar ini tentu saja diikuti dengan kebutuhan partai yang
besar pula untuk menjalankan fungsinya, terutama untuk mempertahankan
keberadaannya dan mengupayakan berbagai cara untuk memenangkan
pertarungan elektoral.
Namun sayangnya, besarnya pengeluaran ini tidak dibarengi dengan
pendapatan atau pemasukan yang memadai.
Pendapatan partai politik sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Partai Politik, mencakup lima sumber, yaitu iuran anggota, sumbangan
perseorangan anggota, sumbangan perseorangan bukan anggota, sumbangan
badan usaha, dan subsidi negara.
Subsidi negara yang diharapkan dapat menjadi pendapatan yang memadai
bagi operasional partai, ternyata belum memadai demi menjaga
berlangsungnya fungsi partai selaku pilar demokrasi.
Padahal, solusi membenahi parpol agar mandiri, di tengah biaya politik
yang makin tinggi ini, adalah kehadiran negara melalui subsidi yang
memadai.
Sesungguhnya pendanaan parpol yang relatif lebih baik pernah dilakukan
pada masa reformasi, di saat pemerintahan Abdurahman Wahid, melalui PP
51 tahun 2001 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, yang
besarnya Rp 1.000 per suara.
Angka subsidi untuk partai politik itu cukup besar bila melihat APBN
kita waktu itu yang hanya sekitar Rp 1.400 triliun.
Sayangnya, di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005, subsidi dana parpol diubah hanya sebesar
Rp 108 per suara.
Akibatnya, parpol mengalami kesulitan keuangan, dan menjadi sulit untuk
mandiri dalam melakukan fungsinya.
Maka, tidak heran jika pasca-2004 partai politik berlomba-lomba masuk ke
pemerintahan dan membentuk kartel politik.
Akibatnya, parpol cenderung transaksional dan pragmatis, serta
mengenyampingkan ideologi dalam perjuangannya.
Kita bersyukur, pada tahun 2018 pemerintah menyadari akan kondisi itu,
dengan dikeluarkannya PP Nomor 1 Tahun 2018 yang mengembalikan besarnya
subsidi untuk partai per suara sebesar Rp 1.000.
Namun, negara perlu mengkaji dengan serius antara besaran subsidi dan
aspek proporsionalitas terhadap postur APBN kita.
Menginat tidak masuk akal kalau kita ingin membangun partai yang
bermartabat, bersih, dan mandiri, jika negara hadir hanya memberikan Rp
130 miliar per tahun untuk 9 partai politik (dengan asumsi suara sah
pemilu 2019 sebesar 130 juta). Padahal, postur APBN kita saat ini
sebesar Rp 2.300 triliun.
Bagaimana mereka bisa melakukan kaderisasi, musyawarah daerah,
pendidikan politik, dan sebagainya dengan dana minim? Maka, tidak heran
jika proses pencalonan marak korupsi.
Apa kita tidak mau untuk maju karena selalu berkutat di masalah korupsi
politik itu saja?
Penulis adalah orang yang selalu konsiten di setiap forum rapat di DPR
terkait dana partai yang ideal, walau belum ada kajian yang kredibel
terkait kebutuhan partai politik dalam menjalankan fungsinya.
Namun, kalau kita asumsikan misalnya anggaran subsidi parpol itu
ditingkatkan dari Rp 1.000 menjadi Rp 10.000 per suara, sesungguhnya
negara sudah memiliki kemauan untuk membenahi partai politik.
Walaupun jika dilihat total subsidinya yaitu Rp 1,3 triliun, angka yang
relatif kecil dibandingkan dengan postur APBN kita saat ini sebesar Rp
2.300 triliun.
Dengan bantuan yang lebih besar itu, kita bisa memberikan harapan parpol
yang mandiri dan bisa menjauhkan diri dari pendanaan ilegal.
Kedua, partai politik sebagai pilar demokrasi harus kembali kepada
falsafah demokrasi, di mana pengambilan keputusan harus dilakukan
melalui mekanisme kolektif-kolegial sehingga meminimalisasi terjadinya
praktik oligarki dalam kepengurusan partai.
Mengingat kepartaian yang teroligarki itu dapat menimbulkan kooptasi
langsung maupun tidak langsung terhadap kekuasaan politik, yang pada
akhirnya akan menciptakan struktur kebijakan publik yang mudah dikontrol
oleh kekuataan oligarkis.
Ketiga, dalam menjalankan fungsi agregasi dan mengartikulasi aspirasi
masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraannya, parpol harus semakin dekat
dengan rakyat, dan tidak elitis.
Secara umum, partai-partai era reformasi masih dicirikan oleh rendahnya
kemauan dan kemampuan profesional mereka dalam membentuk serta
memelihara konstituen.
Sebagian besar partai mendekati masyarakat manakala mereka membutuhkan
suara dukungan dalam pemilu. Padahal, korupsi politik memiliki hubungan
erat dengan artai politik.
Samuel Huntington pernah mengatakan bahwa makin lemah dan kian tidak
diterimanya partai politik oleh publik, maka makin besar kemungkinan
terjadinya korupsi politik.
Saat ini ada kecenderungan bagaimana partai-partai dalam
menyelenggarakan acara seperti musyawarah nasional (nasional) lebih
memilih di hotel-hotel mewah ketimbang di tempat yang dekat dan terbuka
bagi rakyat untuk berpartisipasi.
Ke depan seharusnya acara kepartaian seperti munas atau kongres
sekalipun lebih mendekat kepada rakyat, seperti di lapangan terbuka,
sehingga membuka peluang rakyat berpartisipasi dan menyaksikan.
Kedekatan antara partai dengan rakyatnya adalah penting, karena jika
hubungan itu menjauh atau bersifat labil, situasi ini berpengaruh
terhadap perkembangan partai politik, sehingga arah hubungan lebih
banyak dipengaruhi dari faktor eksternal, seperti upaya politik
transaksional (money politics) yang dianggap dapat memenuhi tuntutan dan
kebutuhan pragmatisme pemilih.
Maka, sudah saatnya kita serukan, "Benahi partai, berantas korupsi!"
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pembenahan Partai Politik sebagai Solusi
Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Muda di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas
0 comments:
Post a Comment