JAKARTA – Kontraksi perekonomian global akan berlanjut dan pemulihan
ekonomi dunia lebih lama dari perkiraan sebelumnya. Penyebaran Covid-19
yang kembali meningkat di beberapa negara, seperti Amerika Serikat
(AS), Brasil, dan India, memengaruhi perkembangan tersebut.
“Selain itu, mobilitas pelaku ekonomi yang belum kembali normal
sejalan penerapan protokol kesehatan turut menahan aktivitas ekonomi.
Perkembangan ini menyebabkan efektivitas berbagai stimulus kebijakan
yang ditempuh dalam mendorong pemulihan ekonomi di banyak negara maju
dan negara berkembang termasuk Tiongkok, menjadi terbatas,” kata
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo saat menyampaikan hasil
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulan Juli di Jakarta, Kamis (16/7).
Menurut Perry, sejumlah indikator ekonomi global menunjukkan
permintaan yang lebih lemah, ekspektasi pelaku ekonomi yang masih
rendah, serta permintaan ekspor yang tertahan sampai Juni 2020. Sejalan
dengan permintaan global yang lebih lemah tersebut, volume perdagangan
dan harga komoditas dunia juga lebih rendah dari perkiraan semula dan
menurunkan tekanan inflasi global.
“Lambatnya pemulihan ekonomi dunia serta kembali meningkatnya tensi
geopolitik AS-Tiongkok menaikkan ketidakpastian pasar keuangan global,”
kata Perry. Perkembangan itu pada akhirnya menahan berlanjutnya aliran
modal ke negara berkembang dan kembali menekan nilai tukar negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Penduduk Miskin Bertambah
Sementara itu, Bank Dunia menyatakan bahwa pandemi Covid-19 yang
hingga saat ini belum ditemukan strategi tepat dalam menanganinya,
sudah meresahkan hampir semua negara di berbagai belahan dunia.
Pembatasan pergerakan manusia dan barang yang ditempuh hampir semua
otoritas malah berdampak pada lesunya perekonomian karena produktivitas
merosot tajam.
Bank Dunia memperkirakan penduduk miskin di dunia akan bertambah
70-120 juta jiwa selama merebaknya Covid-19 menjadi 684-734 juta jiwa.
“Diperkirakan 70 hingga 120 juta orang di dunia akan masuk ke dalam
kemiskinan,” kata Direktur Pelaksana Bank Dunia, Mari Elka Pangestu,
dalam acara Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juli di Jakarta
(16/7).
Selain itu, angka kemiskinan yang berpotensi melonjak dan adanya
kesenjangan pendapatan juga semakin melebar termasuk di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu (15/7) melaporkan peningkatan
angka kemiskinan di Indonesia pada Maret menjadi 26,42 juta jiwa atau
9,78 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk miskin itu bertambah
1,63 juta jiwa dibanding September 2019 yang tercatat 24,79 juta jiwa
dan dibanding Maret tahun lalu bertambah 1,28 juta jiwa.
Mari mengimbau pemerintah perlu memberikan dukungan untuk mencegah
potensi terjadinya penambahan penduduk miskin dan kesenjangan sosial
terutama untuk kelompok rentan. “Dibutuhkan res pons kebijakan yang
memastikan kesenjangan tidak diperparah akibat pandemi,” tegas Mari.
Memperluas Stimulus
Khusus Indonesia, mantan Menteri Perdagangan itu menyarankan
pemerintah memperluas skala jangkauan stimulus perlindungan sosial
terutama untuk sektor informal.
“Banyak negara lain yang melakukan kebijakan sama dengan Indonesia,
tapi yang dilakukan dalam konteks pandemi ini adalah untuk memperluas
skala jangkauannya,” katanya.
Dia juga meminta untuk segera melakukan sinkronisasi data agar
stimulus perlindungan sosial bisa terealisasi lebih baik. “Data ini
untuk monitoring apakah yang dilakukan berhasil mencapai tujuan secara
efektif atau belum,” kata Mari.
Perluasan penerima manfaat dan sinkronisasi data itu dapat dilakukan
dengan memanfaatkan teknologi digital yang telah berkembang sehingga
memudahkan pemerintah dalam melayani, dan tracking. “Kalau
memberi bantuan seperti pinjaman mikro atau insentif maka layanannya
digital bisa jadi sarana. Ketika sistem dibangun bisa lebih luas lagi,”
katanya.
Di Indonesia, program perlindungan sosial dalam rangka menangani
dampak Covid-19 dianggarkan sebesar 203,9 triliun rupiah dan yang telah
terealisasi 72,5 triliun rupiah atau 35,6 persen.
0 comments:
Post a Comment