JAKARTA- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menyebut Bank Dunia menyoroti pemberian kemudahan izin berusaha yang tercantum dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pengambilalihan kewenangan izin usaha dari pemerintah daerah oleh pemerintah pusat di kritisi Bank Dunia.
Hal itu tercantum dalam laporan perekonomian Indonesia yang dirilis Juli 2020 dalam judul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery. Terdapat beberapa klausul dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang berpotensi merugikan ekonomi Indonesia, salah satunya ketentuan tentang perizinan.
Dalam aspek perizinan, Bank Dunia menyoroti klausul yang tidak lagi mengkategorikan usaha farmasi, rumah sakit, pendirian bangunan sebagai kegiatan berisiko tinggi, termasuk juga relaksasi syarat-syarat perlindungan lingkungan yang berpotensi mengganggu kehidupan masyarakat.
"Secara umum, World Bank menilai kegiatan usaha yang selama ini terhambat oleh perizinan, sesungguhnya bukanlah dalam aspek regulasi, melainkan oleh korupsi dan rumitnya proses administrasi perizinan," kata Wakil Ketua Fraksi PKS, Mulyanto, dalam siaran persnya, Jakarta Sabtu (8/8).
Menurutnya dalam pemberian izin bukan sekedar memindahkan kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Tetapi membangun budaya birokrasi yang efisien, sistem yang transparan, akuntabel, berbasis merit dan SDM amanah dan profesional.
Anggota Komisi VII DPR RI ini menilai dengan dicabutnya seluruh kewenangan daerah, maka RUU Omnibus Law ini berpotensi merusak tatanan demokratisasi. Begitu juga dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
Kondisi ini bertentangan dengan ruh konstitusi dalam pasal 18 ayat 2 UUD NRI tahun 1945. Pasal itu menyatakan pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
"Ini adalah soal serius, yang tidak boleh disepelekan. Apakah pemerintah pusat dapat mengurus semua kewenangan dan perizinan yang disentralisasikan?," ungkapnya.
Dia juga mempertanyakan fungsi SDM yang ada di daerah jika pendapatan daerah berkurang. "Apakah akan dikompensasi dengan DAU atau DAK atau dana bagi hasil sumber daya alam?," sambung Mulyanto.
Jangan sampai lanjutnya, setelah RUU ini disetujui, Pemda mogok dan tidak menjalankan aturan tersebut di lapangan. Sehingga terjadi kekosongan regulasi di daerah dan berbagai program pembangunan berakhir dengan kemandegan.
Mulyanto mengingatkan eksperimentasi bernegara sejak Era Reformasi. Salah satunya terkait dengan penataan format hubungan pusat-daerah, pasca runtuhnya pemerintahan sentralistik Orde Baru melalui beberapa kali revisi UU Pemda (UU No. 23 tahun 2014).
Untuk itu upaya untuk menjaga keseimbangan harmonis hubungan pusat-daerah jadi langkah penting dan strategis dalam mengelola demokrasi di negeri Nusantara dengan spend of controll yang luas.
0 comments:
Post a Comment