![]() |
Foto : ISTIMEWA
Romli Atmasasmita - Guru Besar Ilmu Hukum |
Oleh: Romli Atmasasmita
Semua bangsa di dunia dipastikan menginginkan hidup tertib, damai, adil, dan sejahtera. Bahkan untuk mencapai tujuan tersebut, tidak lagi ada nasionalisme apalagi chauvinisme yang dulu pernah berjaya, tetapi menghasilkan Perang Dunia (PD) I dan PD II yang berakhir dengan Perjanjian Tokyo (1948) dan Nuremberg (1946).
Jika tidak ada temuan teknologi nuklir, dipastikan tidak ada kehancuran umat manusia termasuk peradabannya. Namun, temuan tersebut bukan tidak ada manfaatnya bagi kehidupan manusia, sebaliknya telah terjadi kesembuhan-kesembuhan dengan temuan tersebut seperti radiasi nuklir untuk tumor atau kanker.
Fakta temuan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya tidak untuk disalahgunakan penerapannya. Salah satu pencegahan dan penindakan adalah melalui beberapa cara, seperti pembentukan UU tentang Nuklir dan juga diperlukan kerja sama internasional untuk tujuan tersebut melalui perjanjian internasional.
Jelas bagi kita bahwa kesepakatan bersama antarmanusia ataupun pada level negara memerlukan hukum untuk memperkuatnya. Seolah-olah, tanpa hukum, keadaan kita akan kacau dan jauh dari tertib, damai, adil, dan sejahtera.
Benarkah demikian? Pengamatan pada level kehidupan mikro hukum ada tetapi seolah tiada, keadilan hanya cita-cita, tetapi yang tampak ketidak-adilan, nilai manfaat mengecil dibandingkan dengan keburukannya, dan nilai kepastian juga tidak pernah ajeg di setiap masa ke masa, dari setiap perkara ke perkara lainnya sekalipun mirip sama.
Masih ada diskriminasi perlakuan hukum antara pihak yang mampu dan tidak mampu. Karakter hukum dalam bidang apa pun sulit ditebak/ diprediksi karena lebih sering penyimpangannya dibandingkan dengan konsisten pada tujuan baiknya.
Dengan Nurani
Kritik sosial terhadap hukum dengan jargon "hukum tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah", bukan sesuatu yang aneh dan dirisaukan karena sejatinya hukum selalu berkelindan dengan kekuasaan. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan. Bahkan pandangan terkini, hukum tanpa nurani dan kesusilaan bukanlah hukum.
Apakah kita semua, termasuk praktisi hukum, tidak pernah terpikirkan bahwa hukum tidak dapat memanusiakan manusia. Praktik hukum tidak konsisten dengan asal mula tujuan kelahiranya yang selalu bersifat paradoksal.
Dalam konteks ini, dari pengamatan di lapangan bahwa hukum itu memang diperlukan, akan tetapi juga tidak disukai baik oleh kekuasaan karena pembatasan-pembatasannya maupun oleh mereka yang menjadi korban karena hukum disalahgunakan.
Sesungguhnya perjuangan kaum rasionalis hukum yang telah berhasil menuntut kebebasannya dari ikatan perjuangan kaum agamawan yang bersikukuh nilai-nilai kesusilaan harus tetap melekat hukum (baca kekuasaan) pada abad renaisans, tanpa disadari telah berdampak buruk terhadap perlindungan masyarakat karena hukum telah dijalankan tanpa rasionalitas dan nurani kemanusiaan.
Kita telah kehilangan akal sehat dan moralitas melihat/menghadapi praktik-praktik kasih uang habis perkara, dagang hukum, rekayasa hukum, dan dagang hukum yang telah banyak mengakibatkan korban ketidakadilan, kesewenangan kekuasaan.
Alih-alih mencegah dan menghentikan yang telah terjadi korbannya tetap dalam lingkaran kezaliman yang tidak berujung (vicious circle) sambil harap-harap cemas menunggu mukjizat datang.
Di mana dan ke mana mereka mengadukan nasib dan penderitaannya? Data kemiskinan secara ekonomi dan finansial selalu menjadi target capaian yang dijanjikan pemerintah kepada rakyat selama tujuh puluh lima tahun merdeka.
Akan tetapi, jauh lebih bermakna jika kemiskinan nurani dalam praktik terus terjadi; sekecil apa pun peranannya dan oleh siapa pun penyebabnya, karena kemiskinan akal sehat dan nurani berhubungan dengan sila Ketuhanan Yang Maha esa dan sila Perikemanusiaan yang adil dan beradab.
Pada titik inilah peradaban suatu bangsa dipertaruhkan, tidak cukup memadai dinilai dari kesejahteraan lahiriah, melainkan yang utama adalah kesejahteraan batiniah.
Kesejahteraan batiniah harusnya kedamaian dalam melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinannya dan manusia masih mau mengulurkan tangan untuk tolong-menolong sesamanya. Tidak cukup pula hanya dengan bansos dan BPJS semata-mata karena sikap tersebut haruslah datang dan berasal dari nurani penolong sesamanya yang berkemampuan.
Memanusiakan manusia dalam kehidupan nyata sungguh merupakan satu-satunya cara yang terbaik di dalam mengarungi kehidupan bersama dalam damai dan sejahtera.
Sekalipun terhadap seorang penjahat, tidak harus selalu dijerakan karena jera menimbulkan dendam semata, namun tidak memulihkan (to recover) yang sejatinya lebih baik dan mulia dari membuat ia lebih jahat dari sebelumnya dan jauh lebih tidak bermanfaat dalam bermasyarakat.
Satu-satunya cara untuk mulai dengan pencegahan kejahatan di negeri yang ber-Pancasila adalah biasakanlah untuk selalu bermusyawarah dan mufakat ketika ada perselisihan kehidupan bermasyarakat. Jauhkan pemaksaan, memaksakan suatu keyakinan ataupun pendirian dalam kebebasan berpendapat. Jadilah, para pihak sebagai mediator untuk diri Anda sesamanya. Hindari solusi win-lose dan tempatkanlah aparatur hukum sebagai mediator Anda, dan tidak lagi aparatur hukum ditempatkan sebagai perisai Anda untuk memenangkan perselisihan.
0 comments:
Post a Comment