Kekentalan ideologis bukan sekadar kuantitas. Kalau soal ini, hasil pileg 2019 agaknya bisa lebih memberikan gambaran.
Gambaran
besarnya, pada pileg 2014, perolehan total parpol-parpol Islam sebanyak
31,59 persen. Dari jumlah itu, yang terbanyak PKB dengan 9,04 persen,
kemudian PAN dengan 7,59 persen, dan PKS (6,79 persen) lalu PPP (6,53
persen) dan PBB tak lolos parlemen dengan (1,46 persen).
Pada
pileg 2019, menurut hitung cepat sejumlah lembaga survei, raihan total
parpol Islam justru turun. Indobarometer mencatat, raihan total parpol
Islam sebanyak 30,07 persen. Dari jumlah itu, suara yang diperoleh PKS
melonjak mencapai 9,66 persen sedangkan PKB 8,97 persen. Menyusul
kemudian PAN (6,83 persen), PPP (4,40 persen), dan PBB (0,84 persen).
Sedangkan
menurut perhitungan LSI Denny JA, penurunan total raihan parpol Islam
jadi lebih dalam, menjadi 29,17 persen. Dalam hitungan LSI Denny JA, PKB
memuncaki perolehan dengan 9,71 persen, disusul PKS (8,04 persen), lalu
PAN (6,15 persen), PPP (4,34 persen), dan PBB (0,93 persen). Baik
hitung cepat Indobarometer maupun LSI Denny JA itu disimpulkan dengan
lebih dari 90 persen sampel yang masuk.
Terlepas dari
perbandingan keseluruhan denga 2014, layak dicatat, kenaikan perolehan
suara parpol-parpol ini fenomenal jika menengok hasil survei lembaga
tersebut. Merujuk survei LSI Denny JA yang dilansir pada 5 April lalu,
PKB hanya dapat 5,8 persen, kemudian PKS 3,9 persen, PPP, 2,9 persen,
dan PAN 3,1 persen. Artinya, selain suara PPP, survei itu meleset jauh
dari batas margin of error servei tersebut sebesar 2,8 persen.
Bagaimana
membaca angka-angka tersebut dibandingkan pileg 2014? Pertama, jika
hitung cepat itu akurat, bisa disimpulkan ada sedikit suara
parpol-parpol Islam yang dicuri pesaing nasionalis mereka. Tersangkanya
bisa parpol-parpol pengusung capres seperti PDIP dan Gerindra yang
meningkat perolehan suaranya (meski sedikit saja), atau juga
parpol-parpol pragmatis macam Nasdem, atau juga parpol-parpol baru.
Kedua,
pergeseran suara di antara parpol Islam menunjukkan gejala yang
menarik. Raihan suara PPP yang anjlok tentu tak terlepas dari
tertangkapnya ketua umum mereka. Masih bagus parpol itu masih bisa
menembus ambang batas parlemen.
Artinya, kesetiaan pemilih Islam terhadap parpolnya tak membuta.
Seperti PKS yang juga anjlok pada pileg 2014 selepas petingginya
terseret kasus korupsi pada 2013, umat akan menghakimi saat
parpol-parpol Islam tak menjaga amanat.
Namun yang tak kalah
penting disimak barangkali perolehan PKB dan PKS tahun ini. Keduanya
bisa dipastikan memimpin gerombolan dengan perolehan yang hanya terpaut
tipis. Di internal parpol-parpol Islam, kedua partai tersebut panen
pergeseran dukungan dari rekan-rekan mereka.
Tentu PKB
diuntungkan dengan dukungan mutlak ke pasangan Jokowi-KH Ma'ruf. Dalam
bahasa politik, parpol ini dapat efek ekor jas alias coattail effect
dari sikap itu. Sedangkan PKS juga dapat keuntungan serupa dari
dukungan ke Prabowo-Sandi, terlebih militansi kader parpol itu bukan
main-main.
Tapi menarik juga menengok latar kedua parpol. PKB
didirikan KH Abdurrahman Wahid sebagai wadah politik Nahdliyin. Di
perpolitikan Indonesia, PKB dibayangkan sebagai rumahnya Islam
tradisionalis Nahdlatul Ulama. Sementara PKS didirikan kaum yang lebih
modernis, merujuk pergerakan Islam internasional. Tak sedikit yang
mengasosiasikan PKS dengan puritanisme Islam, Ikhwanul Muslimin, dan
garis politik gerakan salafiyah.
Artinya, dalam satu dan lain
hal, PKB dan PKS adalah dua kutub politik Islam di Indonesia yang
berbeda, jika "berseberangan" adalah kata yang terlampau kuat. Sementara
perolehan suara keduanya dalam hitung cepat menunjukkan pemilih parpol
Islam kian mengental ke arah dua kutub tersebut.
Sekarang, jika
hitung cepatnya manjur, dua parpol itu sedikit banyak akan sama kuat di
parlemen. Di sini, tanpa mengecilkan parpol Islam lainnya, sangat
penting bagi para petinggi PKB dan PKS untuk duduk dan bicara
selekasnya.
Rekahan di tataran pemilih yang kian tampak itu harus dicegah jadi
perpecahan. Biar nanti yang mereka perjuangkan di DPR benarlah untuk
kepentingan umat secara keseluruhan, bukan golongan masing-masing saja.
Karena seperti adagium terkenal dari komik Spiderman itu, "with great power come great responsibility".
Jauh
lebih bermanfaat bagi bangsa Indonesia jika perbedaan kutub politik
Islam itu tak jadi seteru yang sengit betul. Harus diingat pula,
parpol-parpol Islam praktis saat ini bebas dari "hutang" mendukung
capres dari parpol nasionalis mana pun pada Pilpres 2024 nanti. Jalan
untuk mengusung calon yang benar-benar mewakili umat Islam, bukan
sekadar jago partai nasionalis yang dipaksakan jadi suara umat, masih
terbuka lebar.
Sindu Adi Pradono SH
0 comments:
Post a Comment