JAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan menolak rencana penerapan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) di bidang pendidikan yang tertuang dalam draf Revisi UU No 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pemerintah
memiliki reponsibilitas dan tugas dalam pelaksanaan pendidikan dan
penyediaan anggaran 20 persen.
Menurut Haedar, skema PPN
pendidikan merupakan hal yang kontradiktif dengan konstitusi dan tidak
boleh dilanjutkan. Ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, Kristen,
Katholik, dan sebagainya memiliki peranan dalam membantu dan meringankan
beban pemerintah yang seharusnya diberikan penghargaan.
Haedar
berpendapat bahwa rencana penerapan PPN bidang pendidikan jelas kontras
dengan konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan, yang
berisikan perintah (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang (4) Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan
dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional (5)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban
serta kesejahteraan umat manusia," ucap Haedar sebagaimana dikutip dari
laman resmi Muhamadiyah, Sabtu (12/6/2021).Haedar menyebutkan, Kemenkeu dan DPR seharusnya mendukung dan memberi
kemudahan bagi organisasi kemasyarakatan yang menggelar pendidikan
secara sukarela demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Kelak,
lembaga-lembaga pendidikan yang membantu rakyat kecil yang sebetulnya
ikut serta dalam meringankan beban pemerintah akan lumpuh. Pemerintah
dan DPR seharusnya tidak mempersulit organisasi kemasyarakatan pelaksana
pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang dioperasikan masyarakat
dengan perpajakan.
Haedar menegaskan bahwa menurut konstitusi
pemerintah memiliki peranan penting dalam melaksanakan pendidikan dan
kebudayaan bagi seluruh rakyat, jika tidak menunaikan secara optimal
berarti pemerintah abai terhadap konstitusi.
Ia menegaskan bahwa
pemerintah perlu berterima kasih kepada ormas penyelenggara pendidikan
yang selama ini membantu meringankan beban kewajiban pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan dan program kerakyatan lainnya, bukan malah
membebani dengan PPN. "Jika kebijakan PPN itu dipaksakan untuk
diterapkan maka yang nanti akan mampu menyelenggarakan pendidikan selain
negara yang memang memiliki APBN, justru para pemilik modal yang akan
berkibar dan mendominasi, sehingga pendidikan akan semakin mahal,
elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan," ujar Haedar.Menurutnya, beban pendidikan di Indonesia sangatlah tinggi, terlebih
lagi di masa pandemi Covid-19. "Lantas mau dibawa ke mana pendidikan
nasional yang oleh para pendiri bangsa ditujukan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa."
Haedar mengatakan bahwa pendidikan masih
tertatih-tatih menghadapi segala kendala dan tantangan di sejumlah
daerah-daerah 3T belum adanya pemerataan oleh pemerintah. Pendidikan
Indonesia juga semakin berat menghadapi tantangan persaingan dengan
negara-negara lain, di tingkat ASEAN saja masih kalah dan berada di
bawah. Kini mau ditambah beban dengan PPN yang sangat berat. "Di mana
letak moral pertanggungjawaban negara atau pemerintah dengan penerapan
PPN yang memberatkan itu?"Haedar mengatakan, perlu pengkajian ulang terhadap konsep pajak
progresif di bidang pendidikan karena secara ideologis menganut paham
liberalisme absolut yang tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan
kepribadian bangsa Indonesia yang mengandung spirit gotongroyong dan
kebersamaan. "Apakah Indonesia akan semakin dibawa pada liberalisme
ekonomi yang mencerabut Pancasila dan nilai-nilai kebersamaan yang hidup
di Indonesia? Masalah ini agar direnungkan secara mendalam oleh para
elite di pemerintahan," ujar Haedar.
Menurutnya, kebijakan di
Republik Indonesia semestinya dihayati, dipahami oleh para perumus
konsep kebijakan agar dapat membumi dalam realitas kebudayaan bangsa
Indonesia. "Jangan bawa Indonesia ini menjadi semakin menganut rezim
ideologi liberalisme dan kapitalisme yang bertentangan dengan
konstitusi, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia," tutur
Haedar.
Ia megatakan bahwa komitmen kebangsaan yang tinggi dengan
bersatu menolak draf PPN di bidang pendidikan tersebut sebagai wujud
komitmen pada Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai luhur bangsa, persatuan,
dan masa depan pendidikan Indonesia harusnya ditunjukkan kepada para
anggota DPR dan elite partai politik.
"Lupakan polarisasi politik
dan kepentingan politik lainnya demi menyelamatkan pendidikan Indonesia
yang saat ini sarat beban, sekaligus menyelamatkan Indonesia dari
ideologi liberalisme dan kapitalisme yang mendistorsi konstitusi,
Pancasila, dan nilai luhur keindonesiaan. Para perumus dan pembuat
kebijakan di negeri ini semestinya menjiwai Konstitusi, Pancasila, dan
denyut nadi perjuangan bangsa Indonesia termasuk peran kesejarahan
Muhammadiyah dan organisasi kemasyarakatan yang sudah menyelenggarakan
pendidikan dan perjuangan bangsa jauh sebelum Republik ini berdiri."
0 comments:
Post a Comment