Jakarta – Badan Akuntabilitas dan Keuangan Negara (BAKN) DPR RI di masa sidang ini bertugas menelaah temuan-temuan BPK terkait persoalan pertanahan dan agraria.
Untuk tugas itu, BAKN perlu mendapatkan masukan-masukan dari berbagai pihak termasuk akademisi. Oleh karena itu, BAKN melakukan kunjungan kerja ke dua perguruan tinggi terkemuka di tanah air.
Kunjungan kerja ke Universitas Diponegoro, Semarang dilakukan pada Rabu (10/11/2021) dan kunjungan kerja ke Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta dilakukan pada Kamis (11/11/2021).
Dalam kedua kunjungan kerja ini, wakil ketua BAKN, Anis Byarwati, menyampaikan beberapa pandangannya. Pertama, beberapa hasil studi menunjukkan bahwa hambatan dalam penentuan objek landreform adalah kesulitan teknis mengidentifikasi kelebihan bidang tanah dari maksimum pemilikan/penguasaan lahan terutama di pedesaan, serta lemahnya system informasi kependudukan untuk melacak tanah absentee.
Menurut Sujatmiko (2000) pelaksanaan landreform bukanlah solusi yang tepat dalam memperbaiki struktur kepemilikan tanah di pedesaan. Karena struktur kepemilikan lahan di pedesaan Indonesia, berbeda dengan negara dimana landreform pertama kali dicetuskan.
Hal ini menjadi informasi yang menjadi petunjuk mengapa tujuan reforma agraria yaitu selesainya masalah ketimpangan dalam kepemilikan tanah tidak juga terwujud.
Anis menggarisbawahi masalah kepemilikan tanah dalam reforma agraria. Pemerintah masih memberikan kepemilikan tanah kepada korporasi dan tidak memberikan kepemilikan kepada petani sehingga tidak bisa mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah.
Sementara menurutnya, pemerintah bisa memberikan kepada petani dalam skala kecil-kecil. Ketidakmampuan pemerintah mencapai tujuan reforma agraria, dinilai Anis sebagai sebuah kegagalan.
“Seharusnya pemerintah memiliki desain besar untuk mengatasi masalah-masalah tanah di Indonesia,” ungkap Anis dalam siaran persnya, Jumat (12/11/2021).
Efek dari sikap pemerintah ini menurut Anis sangat besar. Karena petani-petani kecil tidak bisa mendapatkan haknya untuk memiliki tanah.
Anggota komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS ini juga Juga menyadari bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA) oleh sebagian kalangan dianggap ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Namun setelah diteliti dengan seksama, UU ini sama sekali tidak ketinggalan zaman.
“Justru harus diperkuat karena UU ini merupakan jiwa bagi persoalan agraria di tanah air,” katanya.
Anis menegaskan, jika persoalan tanah hanya dilihat sebagai persoalan ekonomi, maka konflik kesenjangan kepemilikan tanah tidak akan berakhir.
“Perbedaaan cara pandang tentang sumber daya alam yaitu kepemilikan tanah antara masyarakat umum dengan pemilik modal, menjadi akar masalah,” tegasnya.
Jika cara pandang ini dibiarkan sendiri-sendiri, maka petani dan pemilik modal akan selalu berhadapan.
“Ini yang menyebabkan reforma agraria tidak bisa mencapai titik temu,” ujarnya.
Secara khusus, Anis mengutip ayat-ayat yang termaktub dalam pasal 1 UUPA yaitu: (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
“Ruh yang termaktub dalam UU ini sangat luar biasa, mencerminkan identitas dan kepribadian bangsa yang luhur,” paparnya.
Ia kemudian menjelaskan bahwa masyarakat menganggap tanah adalah harga dirinya, martabat dirinya, kelangsungan hidupnya dan memelihara tanah merupakan bentuk tanda syukur atas pemberian Tuhan.
Sementara pemilik modal melihat tanah sebagai alat produksi sehingga cara pandangnya, jika mengandung nilai produksi yang tinggi akan dibeli sebanyak-banyaknya.
“Jadi dalam sudut pandang ekonomi siapapun bisa memiliki tanah asal punya uang,” jelasnya.
Padahal di Pasal 1 UUPA disebutkan, hubungan yang bersifat abadi antara tanah dengan pemiliknya/warga negara.
Anis pun mengajak BAKN untuk melihat sudut pandang positif dalam UUPA.
“BAKN perlu mengambil kesimpulan penting bahwa UUPA yang mengandung nilai-nilai luhur bangsa dan memiliki semangat Pancasila dan UUD 1945, harus dipertahankan. Karena nilai-nilai filosofis dalam UU ini sangat kuat menegaskan identitas bangsa,” ajaknya.
0 comments:
Post a Comment