Oleh : Tb. Moh. Sholeh
Tersebutlah sebuah fakta epik sejarah di masa lalu, tepatnya saat
peradaban Islam tengah mencapai kegemilangannya. Di masa Kekaisaran
Sulaeman Al-Qanuni (1494-1566), Sultan ke-10 Dinasti Utsmani, pernah
terjadi satu kisah heroik.
Alkisah, saat itu
tengah terjadi konflik yang melibatkan dua negara Eropa, yakni Prancis
dan Inggris. Keduanya bersitegang dan berperang yang menyebabkan satu
implikasi besar, yaitu kalahnya Prancis dan ditawannya raja mereka
bernama Raja Francis I. Hal ini membuat gusar dan khawatir, para
petinggi dan keluarga kerajaan Prancis.
Tahukah
apa yang dilakukan orang-orang penting Prancis? Mereka ternyata meminta
bantuan kepada Sulaeman Al-Qanuni, pemimpin tertinggi Ottoman (Utsmani)
agar bersedia membantu Prancis untuk membebaskan raja mereka dari
cengkeraman Inggris.
Kesultanan Utsmani, yang
notabene saat itu adalah negara adidaya di dunia, kekuasaannya mencakup
sebagian Asia, Afrika Utara, dan Eropa. Dibandingkan dengan saat itu,
wilayah kendali Raja Francis I “hanya” meliputi negara modern Prancis
sekarang. Perbandingan antara Utsmani dan Prancis kala itu memang "bukan
setara" sehingga wajar Prancis mengajukan semacam kerjasama aliansi
militer kepada negara superpower.
Gayung
bersambut, Sultan Sulaeman Al-Qanuni mengabulkan permintaan Prancis. Apa
yang dilakukan sultan tersebut dalam upaya membebaskan Raja Francis I?
Inilah kisah heroiknya yang menjadi petanda dan bukti betapa diseganinya
umat Islam saat itu. Ya, Sultan Sulaeman Al-Qanuni cukup hanya
melakukan ultimatum kepada pemimpin tertinggi Inggris, Raja Charles V.
Al-Qanuni
menyerukan kepada Charles V agar membebaskan Francis I dari tahanannya
di Madrid. Sebuah sumber menyebutkan, sang sultan juga mengancam akan
menyerang semua wilayah Inggris, termasuk Spanyol. Satu kalimat sakti
yang keluar dari ultimatum Sultan Sulaeman berbunyi : "Bebaskan Raja
Prancis jika kalian masih ingin melihat matahari terbit keesokan pagi."
Benar
saja, berkat ultimatum tersebut, Charles V melunak. Francis I pun dapat
kembali ke Paris dengan selamat pada 17 Maret 1526. Inilah bukti betapa
peradaban Islam saat itu unggul dan disegani lawan. Dan inilah kisah
nyata akan sebuah kebesaran dan kehebatan Sultan Sulaeman Al-Qanuni.
Kini,
lima abad lebih kisah itu terlewati. Tepat di akhir tahun 2022, dalam
satu perhelatan akbar yang menyita hampir seluruh jagat dunia dan
penghuni bumi, Piala Dunia sepakbola digelar di negara muslim, Qatar.
Dari awal pergelaran ini betul-betul menyita serta menggairahkan dunia
Islam pada umumnya.
Perilaku positif dan aturan
ketat dari tuan rumah, mewakili potret umat Islam yang amat mulia dan
bernilai adiluhung, tergambar berkat kerja-kerja luar biasa pemerintah
dan didukung warganya. Betapa banyak pujian melanda Qatar berkat
kesuksesan penyelenggaraaannya.
Umat Islam
makin berbangga, manakala prestasi besar berhasil ditorehkan salah satu
negara muslim, Maroko yang lolos hingga babak semifinal dan sebentar
lagi bersiap menghadapi satu kekuatan besar sepakbola dunia, Prancis.
Meski demikian, sampai titik ini, apapun hasil semifinal nanti, Maroko
telah menorehkan sejarah baru sebagai negara Afrika pertama, juga negeri
Arab dan muslim pertama yang masuk empat besar Piala Dunia.
Urusan
bola dan agama memang beda. Tapi sulit memisahkan keduanya, sebab
faktor-faktor tertentu akan terus merekatkan keduanya (baca : negara
mewakili entitas agama). Lihatlah para suporter dari negara-negara Eropa
seperti Inggris, Italia, Spanyol, Swedia, dan lainnya yang seringkali
menggunakan simbol agama (perang salib) saat mendukung timnya pada
setiap perhelatan sepakbola.
Simak pula saat
salah seorang pelawak stand up komedi di tanah air, yang kebetulan
beragama non muslim, ikutan berkelakar dengan sedikit bumbu candaan. Ia
menyatakan bahwa pantas Maroko sulit dikalahkan karena punya Allah
sebagai salah satu pemainnya, merujuk pada seorang bek Maroko bernama
Yahia Attiat Allah. Inilah bukti bahwa agama akan selalu merasuki
ruangan publik tanpa diminta.
Keberhasilan
Maroko dan dikaitkannya dengan kebanggan seluruh umat Islam semestinya
bukanlah sebuah keanehan. Labelisasi agama dalam setiap event olahraga,
tak terkecuali sepakbola takkan bisa dihindari, sebagaimana label-label
lain yang akan ada dalam perhelatan sepakbola seperti kaitan histori,
perang ideologi antarnegara, persaingan negara tetangga, dan lain-lain.
Contoh kaitan histori, betapa panasnya tensi di dalam atau luar
pertandingan saat pertemuan Inggris vs Argentina karena faktor masa
lalu, atau timnas Indonesia vs Malaysia yang bisa mengakibatkan perang
verbal antar kedua pendukung, juga di level klub saat Glasgow Celtic vs
Rangers di Liga Skotlandia yang masing-masing mewakili entitas Protestan
vs Katolik. Dan banyak contoh lain seperti juga penolakan banyak negara
jika bertemu dengan Israel.
Maroko adalah
aktor protagonis yang menjadi buah bibir Piala Dunia 2022. Maroko
bukanlah tim unggulan, kemudian menjadi kuda hitam dan menyingkirkan
negara-negara hebat sepakbola seperti Belgia, Spanyol dan Portugal
hingga sukses menapak babak semifinal.
Apapun
hasil melawan Prancis, Maroko sudah terlanjur didaulat sebagai
perwakilan umat Islam dalam melawan hegemoni negara-negara barat, yang
selama ini dianggap selalu mengangkangi umat Islam. Di seluruh dunia
Islam, fakta itu tak dapat dibantah. Bahkan seorang Mesut Ozil,
pesepakbola muslim asal Jerman terang-terangan merasa bangga atas
capaian Maroko, dan dikatakan bahwa Maroko adalah representasi umat
Islam. Hal ini kemungkinan besar disebabkan keyakinannya sebagai seorang
muslim.
Di akhir tulisan, dengan kaitan
historis era Sultan Sulaeman Al-Qanuni yang begitu gamblang diuraikan di
awal, umat Islam, mau tidak mau, suka tidak suka sedang menunggu
sejarah besar Maroko, adalah juga sebagai pencapaian sejarah umat Islam
yang tertoreh. Jika Prancis bisa dikalahkan, ini pengulang masa lalu,
saat Islam berada di puncak kejayaan membelakangi negara-negara Eropa.
Namun jikapun Allah menakdirkan Maroko kalah oleh Prancis, umat Islam
tetap akan bangga dan piala dunia 2022 dapat dijadikan momentum
kebangkitan Islam ke depannya. Barat bisa dikalahkan. Kekuatan besar
bisa ditaklukkan. Inilah yang harus dijadikan semangat dan spirit kaum
muslim.
0 comments:
Post a Comment