JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Pemilihan umum serentak tinggal setahun lagi dan berita-berita
seputar politik tahun ini semakin menguat. Menghadapi pesta demokrasi
lima tahunan itu, Dewan Pers menegaskan pihaknya berkomitmen untuk
menjaga agar media berlaku profesional dan independen.
Komitmen itu dinilai penting karena belajar dari pengalaman ketika
pemilu tahun 2014 dan 2019, tidak independennya sebagian media ikut
memecah belah masyarakat.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi
Hendriana kepada VOA seusai diskusi mengenai “Pers dan Pemilu Serentak
2024” yang berlangsung di Jakarta, Kamis (26/1), mengatakan independensi
sebuah media di Indonesia sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel.
"Pertama, kompetensi dari jurnalis itu sendiri. Kedua, bagaimana seorang
jurnalis itu menghadapi tekanan dari berbagai kepentingan. Ketiga,
bagaimana kekuatan pemilik kepentingan untuk menekan redaksi (newsroom).
Kalau kuat pengaruh tersebut, maka independensi akan pudar di
ranah-ranah redaksi," kata Yadi.Yang perlu diperhatikan, tambah Yadi, adalah intervensi kekuatan politik
ke dalam redaksi. Jika campur tangan tersebut dapat ikut mempengaruhi
editorial maka keterbelahan dalam ruang redaksi tak terhindarkan, dan
dampaknya ikut mempengaruhi masyarakat. Saat ini tercatat ada 47 ribu
media di tingkat lokal dan nasional, di mana 90 persennya adalah media
online.
Yadi menegaskan urgensi menegakkan kode etik jurnalis yang sudah ada dan
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Untuk itu Dewan Pers bulan lalu
mengeluarkan surat edaran yang menggarisbawahi peran penting wartawan
dan media, serta seruan untuk bersikap independen atau mengundurkan
diri.
Untuk menekankan pentingnya menegakkan kode etik ini Dewan Pers akan
safari ke 34 provinsi untuk mendidik media, dan sekaligus masyarakat
agar dapat mengawasi dan mengontrol media.
Saat pemilu tahun 2019, ada 626 kasus pers yang masuk ke Dewan Pers. Dari jumlah itu 522 sudah berhasil diselesaikan.
Pada tahun 2022 lalu, terdapat 691 kasus masuk ke Dewan Pers, yang 98
persen melibatkan media online. Kasus yang dilaporkan berupa berita
bohong, fitnah, tidak melakukan konfirmasi, membunuh karakter, dan yang
terburuk adalah media online yang dipakai untuk provokasi seksual.Direktur Utama Tempo Media Group Arif Zulkifli menjelaskan ada tiga hal
yang membuat sebuah media profesional, yakni independensi, objektifitas,
dan netralitas. "Independen itu artinya kebijakan-kebijakan redaksi
terhadap sebuah berita itu murni diambil hanya oleh redaksi.
Independensi redaksi itu dari pemred (pemimpin redaksi), dari pemilik,
dari parpol, kekuatan lain di luar itu, dari pemerintah. Jadi dia harus
independen," ujar Arif.
Pemimpin redaksi sekali pun, tambah Arif, tidak boleh memaksakan sebuah
berita dipublikasikan. Keputusannya harus dilakukan secara egaliter,
bersama-sama dalam redaksi. Wartawannya sendiri juga harus independen Meskipun objektivitas media, dalam arti sebuah berita harus diproduksi
secara objektif dan tidak mengaburkan fakta, dapat dicapai; namun ia
mengakui bahwa netralitas dalam jurnalisme itu ilusi.
Arif menyebutkan era reformasi membuka peluang bagi siapa saja untuk
membuat media. Berbeda dengan era Orde Baru di mana semua media harus
memiliki izin, yang proses pengurusannya sangat rumit. Persoalannya kini
adalah bagaimana pemilik media yang berasal dari beragam latar belakang
itu menjaga kredibilitasnya.
Hal senada ditegaskan Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra, yang menilai musuh besar media saat ini adalah pemodal dan penguasa.
"Kunci utamanya itu menurut saya independen. Jadi sejauh mana peraturan atau apapun yang mempengaruhi independensi redaksi, di situlah yang harus direvisi. Apakah pemilik modalnya mempengaruhi independensi redaksinya? Ketika mempengaruhi, harus direvisi. Apakah kedekatan dengan penguasa itu mempengaruhi iendependensi redaksinya? Ternyata mempengaruhi, di situlah harus direvisi," tutur Sutta.Ketika media tidak dapat menjaga independensinya, maka media tidak berbeda dengan jurnalisme warga yang bisa dilakukan oleh siapa pun juga.
Merujuk pada Kompas, Sutta mengatakan ketika ada wartawan di surat kabar terkemuka itu terlibat dalam partai politik, ia akan diberi kesempatan untuk memilih tetap bekerja dan melepaskan jabatannya di partai politik, atau berhenti. Hal seperti ini diharapkan dapat tetap menjaga independensi media.
0 comments:
Post a Comment