Oleh : Devi Mahesa Sogondo Aktivis UI Ketua Kebijakan Publik
INDONESIA adalah kisah negara yang selalu berproses.
Tidak definitif. Diuji pelbagai rintangan, syarat---mungkin—untuk
menjadi negara besar. Karena sesuatu yang besar, dipastikan diuji juga
oleh yang besar pula.
Ada beberapa hal yang kita alami: wabah
Pandemi Covid-19 yang merenggangkan relasi fisik sosial, ekonomi dan
ekologi serta pemilihan kepala daerah pada November 2024
Dua hal
ini memakan energi. Menguras fokus. Menyedot suplemen konsentrasi
sebagai bangsa. Dibalik hal ini, ada tiga soal yang hendak ditulis dan
berkelindan untuk diselesaikan. Soal politik uang, oligarki dan dinasti.
Topik ini tengah menjadi batu uji mutu demokrasi.
Politik uang
Burhanuddin Muhtadi pada Juni 2023 merilis disertasi yang diterbitkan buku berjudul Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru (KPG,2020). Apa yang menarik dari buku ini.
Pertama,
buku ini menawarkan mistik, sebuah hal tidak lazim. Kita negara
demokrasi ketiga terbesar di dunia, namun dengan enteng, negara di Asia
Tengara yang mudah mengakui politik uang dibandingkan negara lain.
Kedua, politik uang terpapar pada pemilih yang merasa dekat dengan partai (party ID) daripada yang tidak dekat dengan partai.
Ini
menjadi misteri. Sebab umumnya, pemilih yang merasa dekat partai tentu
tidak perlu dibujuk dengan uang. Ia loyal memilih partai. Riset Muhtadi
menunjukan sebaliknya.
Meski---ini anomali berikutnya---total
pemilih yang merasa dekat dengan partai, dari riset Muhtadi, hanya
mencapai 15 persen dari total responden survei nasional.
Pasti
politik uang mengotori demokrasi. Suara aspiratif terpasung. Rakyat yang
bersedia menerima uang dan material lainnya akan tergadai selama lima
tahun. Negara disandera.
Politik uang memicu pula penyakit
lainnya. Korupsi dan jual beli jabatan marak. Sebab, logika balik modal,
bekerja di antara mesin politik uang.
Apakah secara hukum tidak ada larangan? Pasti ada.
Berbagai
ketentuan undang-undang pemilu dari masa ke masa mengharamkan politik
uang. Merupakan sejenis kejahatan yang jika terbukti bisa dihukum.
Namun, kejahatan punya hukumnya sendiri. Terdapat kalkulasi antara
risiko dan sanksi.
Jika sanksi tidak tegas diterapkan, atau
setidaknya permisif, maka politik uang menjadi pilihan pragmatis.
Apalagi di tengah publik yang miskin literasi dan ekonomi namun dahaga
pada aktivitas media sosial.
Intinya, politik uang dilarang, tapi
sukar dihapuskan karena ada perkawinan silang antara pasar politik uang
(supply dan demand) serta rendahnya risiko sanksi yang dihadapi.
Politik oligarki
Politik
oligarki sebenarnya---dari berbagai literatur---tumbuh subur di masa
Orde Baru (Orba) ketika konsensi dan kebijakan diperdagangkan oleh
segelintir elite.
Riset Vedi R Hadiz menunjukkan, bagaimana
sebelum tahun 1980-an di mana saat itu keluarga Soeharto belum menjadi
bagian dari pemain ekonomi, oligarki berupa kroni Soeharto seperti Liem
Sioe Liong, Bob Hasan dan lainnya terbiasa mendapatkan monopoli dan
akses istimewa untuk mendapatkan lisensi, pasokan dan kredit.
Tentu semakin membesar saat keluarga Soeharto turut dalam oligarki dimaksud (Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, LP3ES,2005:182-183).
Namun,
setelah reformasi, masih menurut Vedi R Hadiz, oligarki menyebar.
Terjadi desentralisasi kekuasaan presiden kepada lembaga-lembaga seperti
partai partai politik dan parlemen. Termasuk pula desentralisasi
kekuasaan pusat ke daerah.
Kontrol otoritarian di masa Orde Baru (Orba) digantikan penggunaan
politik uang. Bahkan, di awal reformasi, aroma politik kekerasan dan
intimidasi dirasakan (Vedi R Hadiz, 2005:262).
Memang politik
oligarki sukar dijangkau hukum. Ia bekerja di ruang ruang dialog
tertutup antar elite. Muncul dalam menegosiasikan jabatan jabatan
publik. Tidak sedikit melibatkan organisasi dan berbagai akses politik.
Dalam
koridor politik oligarki, maka urusan negara seperti urusan segelintir
orang-orang itu saja yang mewarnai media dan kekuasaan. Dipastikan
menggerogoti kapasitas demokrasi.
Sebab, demokrasi memuja kompetisi. Fairness. Nilai-nilai keadaban publik. Hal seperti ini, lenyap, dalam politik oligarki.
Politik dinasti
Ujung politik uang dan politik oligarki, tidak sedikit, yang melembagakan pranata politik dinasti atau politik kekerabatan.
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal
7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah
membatalkan ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik
kepentingan dengan kepala daerah inkumben.
Alasannya, pasal
seperti ini melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif.
Tentu saja, Putusan MK di atas dianggap angin segar bagi pelembagaan
politik dinasti.
Dengan begitu, siapapun sanak famili yang masih
ada hubungan dengan kepala daerah inkumben, boleh saja menjadi kepala
daerah sepanjang dipilih oleh publik.
Tentu politik dinasti menimbulkan pro kontra. Bagi yang pro, politik
dinasti sah saja. Karena merujuk ke pengalaman India, misalnya, meski
dinasti politik terus muncul namun demokrasinya tetap stabil dan
bermutu.
Namun bagi yang kontra, seperti diulas Ni’matul Huda, (Perkembangan Hukum Tata Negara:2014,
421), praktik politik dinasti merupakan praktik yang menyebabkan
maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan
institusi politik.
Proses pengambilan keputusan tidak lagi
didasarkan pada proses rasionalitas instrumental, melainkan didasarkan
keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa.
Pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditundukan hubungan darah dan hubungan keluarga.
Yang
pasti, tidak sedikit, kasus-kasus politik dinasti menyebabkan korupsi.
Banyak kasus korupsi yang terbukti melibatkan kekerabatan, seperti
terjadi di Banten, Kutai Kartanegara, Cimahi, dan Klaten.
Mekanisme demokrasi berupa checks and balances menjadi lumpuh saat dihadapkan politik dinasti.
Tentu
tidak semua negara mengalami kasus sama, namun untuk Indonesia,
pengalaman politik dinasti tidak sedikit yang mengancam pranata
demokrasi yang berdarah darah diperjuangkan rezim reformasi.
Pada
akhirnya, dibutuhkan pemikiran yang komperhensif dan regulasi yang kuat
untuk setidaknya membatasi agar politik uang, oligarki dan dinasti tidak
merajalela dan merusak tatanan demokrasi.
Bahkan, tidak saja diperlukan regulasi, namun edukasi publik yang kuat untuk membangun budaya literasi politik yang kritis.
Hal ini tidak mudah ditengah pandemi Covid-19 yang mulai mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Namun
demikian, dalam perspektif penulis, ke depan politik uang, oligarki dan
dinasti harus diperjuangkan untuk dieliminasi agar sumber daya publik,
akses ruang publik dan anggaran publik tidak disalahgunakan untuk
kepentingan segelintir elite atau kerabat.
Selain itu, memang
dibutuhkan pula pembenahan sistem pemilu dan kepartaian agar berbiaya
murah dan memastikan kader partai bermutu diprioritaskan mengisi jabatan
publik. Bukan kelompok pragmatis berbekal uang sewa perahu menjadi
penumpang gelap demokrasi.
0 comments:
Post a Comment