Nanda Meliana Ketua Komunkasi BEM
Di awal tulisan singkat ini, penulis akan mulai dengan Tulisan Ir. Soekarno dalam Buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid I di awal-awal halaman dituliskan, "Sebagai Aria Bima-Putera, yang lahirnya dalam zaman perjoangan, maka Indonesia-Muda inilah melihat Cahaya hari pertama-tama dalam zaman yang rakyat-rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan Nasib-ekonominya, tak senang dengan Nasib-politiknya, ak senang dengan segala Nasib yang lain-lainnya."
Tulisan bung Karno ini secara keseluruhan jika dibaca, bagaimana upaya bung Karno untuk mereprensentasikan kondisi rakyat dimasa penjajahan yang begitu sulit hampir disemua lini kehidupan masyarakatnya.
Bersyukurnya kita, kita hidup bukan berada pada masa perjuangan seperti itu. Kita hidup dimasa kemerdekaan yang lebih dari 78 (tujuh puluh delapan tahun) usia kemerdekaan.
Tentu saja bayangan kita tentang apa yang ditulis oleh bung Karno dimasa-masa perjuangan tentang kondisi buruk bangsa ini tentu tidak terjadi lagi, masayarakat bahagian dengan nasib ekonominya, masyarakat bahagia dengan nasib kesehatannya, masyarakat bahagia dengan Nasib pendidikannya serta Masyarakat bahagaia dengan Nasib sosio politik negerinya. Itulah harapannya.
Beberapa waktu pasca pemilihan umum berlangsung, semua Masyarakat seakan-akan berpesta berpartisipasi dan menunggu hasil pemilihan yang akan membawa dampak yang positif untuk perubahan hidup mereka, pembahasan politik nasional hampir 100% (seratus persen) dibahas, bincangkan oleh berbagai lapisan Masyarakat, tidak heran jika kedai-kedai kopi dikampung-kampung begitu riuh dengan pembahasan politik nasional dan tidak jarang juga adanya ketegangan yang terjadi diantara mereka tentang kandidat-kandidat yang masing-masing mereka tonjolkan.
Bahwa celakanya, anak dan bapak bisa berkelahi hanya kerana berbeda pandangan tentang para calon tertentu.
Carut-marut politik nasional di Masyarakat umum kota dan desa begitu kental dengan berbagai narasi-narasi positif dan negative, pasang badan demi paslon tertentu menjadi jaminan kesetiaan dan loyalitas untuk kemenangan. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan penting adalah apakah kondisi sedemikan heboh juga terjadi pada “alam” elit politik bangsa ini. ? menarik penulis teringat perkataan sang Dai Sejuta Umat
Almarhum KH. Zainuddin MZ, pernah menyatakan, "kerbau-kerbau kelahi diatas tanah yang hancur itu adalah rumput yang di injak oleh sang kerbau".
Masyarakat kita istilahkan dengan rumput yang berada alam pusaran sengketa politik elit yang bagaimanapun tetap akan mendapatkan imbas dari para elit itu. Yang ironis adalah para fanatik paslon tertentu berkelahi berjibaku dengan yang lain sementara elit yang mereka dukung saling santai dan minum kopi Bersama dan tersenyum manis di hadapan para wartawan dan media untuk ditampilkan diberbagai media nasional. Ironis memang.
Kondisi demikian diperparah dengan munculnya pemerhati-pemerhati politik dadakan seolah-seolah semua sarjana dimasa ini adalah “ sarjana politik nasional”. Sulit kita hari ini mengatakan apakah Indonesia sampai saat ini masih negara hukum ? sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia masih saja berkecamuk dikepala para pemerhati hukum sungguhan.
Perseteruan elit politik dalam pemilihan umum jika dilihat dari kacamata akademis, dan diduga merupakan kepentingan belaka, tidak dapat dianggap sebagai kepentingan nasional secara umum.
Kentalnya fakta tentang Conflic of Interest (konflik kepentingan) berhasil membingungkan para cedekiawan tentang sebenarnya negara macam apa yang hendak dibangun ? apakah negara dengan corak Presidensial atau negara dengan corak perlementer atau bahkan negara dengan bentuk Kerajaan konstitusional mengingat semua potensi sudah tampak dilakukan.
Buram sekali dalam pandangan “siapa sebagai apa dan apa itu sebagai siapa”. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan konsititusi sudah jelas dikatakan bahwa bentuk negara Indonesia adalah republik yang dipimpin oleh seorang Presden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Maka, Ketika sudah jelah bentuk negara tentu saja dibuat formulasi agar jelas dan agar penyelenggaraan negara tidak above of power sangat diperlukan kesimbangan, keseimbangan yang dimaksud adalah muncul segolongan anak bangsa yang berada pada posisi opisisi sebagai sayap lain yang akan memperhatikan roda pemerintahan berjalan sesusai dengan hukum bukan sesuai dengan kehendak politik.
Akan tetapi, pertanyaanya adalah siapa yang akan menjadi sosok opsisi itu yang tentu saja sulit untuk mendapatkan kursi-kursi kekuasaan di pemerintahan. Politik kepentingan selalu saja memberikan paradigma negative dalam kehidupan bernegara kita para elit berbuat seperti seorang pedagang yang melihat sesuatu berdasarkan untung dan rugi.
Seakan-akan sedang melakukan transaksi jual beli dengan kepentingan Masyarakat umum dengan kepentingan tertentu mereka. Itulah penulis buat judul diatas dengan politik Indonesia, semakin disimak justru semakin bingung. Harusnya politik itu mampu membuka cakrawakala Masyarakat tentang potensi baik dalam berpolitik, harusnya mampu menghidupkan kesadaran politik Masyarakat tentang pentingnya.
Tapi sayangnya itu semua seperti tidak dihiraukan, lagi-lagi dan lagi Masyarakat tidak mengerti “kenapa memilih siapa dan siapa itu untuk siapa”.
Barangkali ini adalah pekerjaan rumah setiap kita untuk membangkitkan kesadaran politik dan pencerdasan Masyarakat secara konvrehensif. Dengan harapan semua pihak tercerdaskan dan terayomi bukan justru termanfaatkan.
0 comments:
Post a Comment