JAKARTA (KONTAK BANTEN) - Kekhawatiran harga cabe mengalami lonjakan
pada bulan puasa akhirnya terjadi juga. Harga cabe makin pedas alias
naik tajam, yakni tembus Rp 100 ribu per kilogram (kg).
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan,
kenaikan harga cabe terjadi karena pasokan menurun akibat gagal panen
yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi.
“Kalau hujan terus, maka panennya gagal, karena cabe bisa busuk. Kalau
kemarau terlalu panjang, maka kutu air banyak. Jadi, menanam cabe itu
susah,” kata Zulhas saat mengecek harga pangan di Pasar Kramat Jati,
Jakarta, Jumat (15/3/2024).
Zulhas mengakui, kenaikan harga cabe sampai Rp 100.000 per kg. Meski melonjak, menurutnya, tidak terjadi kelangkaan.
Dalam kunjungan ini, Zulhas juga menemukan harga beras premium lokal
yang masih mahal. Yakni, dikisaran Rp 16.000-19.000 per kg. Tapi, untuk
beras impor dari Perum Bulog sudah sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET)
beras medium Rp 10.900 per kg.
Menurut Zulhas, masih mahalnya harga beras karena saat ini belum terjadi
panen raya. Apalagi masa tanam padi mengalami kemunduran sehingga panen
juga jadi mundur.
“Karena memang musim tanamnya bergeser, panennya bergeser. Bulan
depan baru panennya agak banyak, bulan April baru panen raya
saudara-saudara,” jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meninjau Pasar Kawat di Tanjungbalai,
Sumatera Utara untuk memeriksa harga bahan pokok. Jokowi menyebut harga
beras masih terbilang baik.
Jokowi menemukan, beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Rp 57.000 per 5 kg. Kemudian beras lokal medium juga masih di Rp 12.800 per kg.
“Saya kira dibandingkan dengan provinsi lain masih baik. Masih lebih baik,” lanjutnya.
Jokowi menyebut harga cabe yang mengalami kenaikan. Namun Presiden tidak menyebut berapa harga cabe di pasar tersebut.
Jokowi menilai, di masa Ramadan harga bahan pokok masih terkendali.
Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian
mengatakan, kenaikan harga menjelang Ramadan merupakan siklus tahunan.
Dia mengakui terjadi kenaikan sebagian besar harga pangan mulai dari komoditas beras, cabe, bawang merah, hingga minyak goreng.
“Sebab tingginya permintaan, sementara dari sisi suplai relatif tetap,” katanya.
Eliza menjelaskan, setiap komoditas memiliki karakteristik yang
berbeda. Misalnya untuk ayam dan telur. Secara pola tahunan, harganya
memang akan cenderung naik di awal tahun dan kembali melandai sekitar
Maret hingga April.
Kemudian, harga akan naik kembali pada rentang Juni sampai Juli dan
turun mulai Agustus. Lalu pada November hingga Desember naik lagi.
“Ini karena pola budidaya saja yang menyebabkan kenaikan harga pada
bulan tertentu. Momentum awal tahun ini ditambah dengan pesta demokrasi
dan menjelang puasa Ramadan yang semakin meningkatkan permintaan bahan
pangan,” jelasnya.
Begitu pula dengan cabe yang polanya juga musiman. Jika musim hujan,
banyak yang akhirnya busuk, sehingga suplai jadi berkurang. Terlebih
permintaannya relatif tinggi menjelang Ramadan.
Untuk komoditas bawang putih, kata dia, harganya sangat ditentukan oleh harga internasional dan manajemen impor. Hal ini karena hampir 99 persen bawang putih berasal dari impor.
Sedangkan untuk komoditas beras, kata Eliza, ada anomali. Jika
dihitung secara data, stok beras awal tahun mencapai 6,7 juta ton.
Bahkan kalau mengacu pada data Badan Pangan Nasional, stok awal tahun
tercatat tinggi, sekitar 7,4 juta ton.
0 comments:
Post a Comment