Puskapol FISIP UI (Pusat Kajian Politik) telah menyelenggarakan
diskusi publik dengan tajuk “Pemilu 2024 dan Ancaman Erosi Demokrasi”
yang diselenggarakan secara langsung pada Selasa di Auditorium
Juwono Sudarsono, FISIP UI dan disiarkan secara daring melalui akun
Youtube Puskapol FISIP UI. Diskusi ini mempertemukan para akademisi,
intelektual publik, dan mahasiswa guna membicarakan dan merefleksikan
arah Pemilu 2024 dalam konteks diskursus akademik. Diskusi ini dirancang
berdasarkan tinjauan terhadap kondisi dan arah politik elektoral di
Indonesia yang saat ini dibayang-bayangi oleh ancaman politik dinasti,
oligarki, dan erosi demokrasi.
Kegiatan diskusi publik ini
menghadirkan narasumber yaitu Titi Anggraini (Dosen Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia), Panji Anugrah Permana (Dosen Ilmu Politik
Universitas Indonesia), Bivitri Susanti (Dosen Sekolah Tinggi Hukum
Indonesia Jentera), Melki Sedek (Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa
Universitas Indonesia), dan Hurriyah (Direktur Pusat Kajian Politik
Universitas Indonesia).
Kegiatan diskusi dibuka oleh Julian Aldrin
Pasha selaku ketua Departemen Ilmu Politik FISIP UI. Dalam sambutannya,
Julian menyampaikan keterkaitan antara fenomena erosi demokrasi dengan
faktor kepemimpinan politik yang menentukan apakah demokrasi dijadikan
sebagai tujuan akhir atau semata-mata alat untuk mencapai kemakmuran
rakyat.
Isu regresi demokrasi sebetulnya telah menjadi perhatian
para scholars dalam 10 tahun terakhir yang kemudian semakin mengalami
situasi yang mengkhawatirkan jelang Pemilu 2024. Kelima narasumber
menyoroti fenomena ancaman erosi demokrasi dari berbagai aspek.
Titi
Anggraini menyoroti kemunduran dalam prosedur dan substansi kompetisi
elektoral. Hal ini dapat diidentifikasi dari beberapa hal yaitu proses
pemilu yang sejak awal lekat dengan narasi kecurangan misalnya pada
tahapan verifikasi partai politik serta fenomena penundukan lembaga
penyelenggara pemilu secara sukarela terhadap kekuatan politik/parpol di
DPR, salah satunya terkait isu pencalonan keterwakilan perempuan.
Selain
itu, adanya fenomena juristocracy yaitu pengalihan persoalan kebijakan
legislasi ke pengadilan dan menantang masyarakat sipil untuk melakukan
aktivisme hukum.
Sementara itu, Panji Anugrah menyoroti ancaman
erosi demokrasi oleh elit politik yang mampu melakukan akumulasi
kekuasaan dan membajak demokrasi. Elit politik berjalan dalam gelombang
populisme instrumental dan berhasil melakukan rekayasa persetujuan
(manufacturing consent) dengan narasi “dia orang yang baik”, “dia adalah
kita”.
Menurut Panji, elit politik hari ini memenuhi
karakteristik elit yang disebut ilmuwan politik Pareto (1968) sebagai
elit dengan karakter rubah dan lion, yakni elit yang inovatif,
spekulatif, dan skeptis. Berbeda dengan rezim sebelumnya yang cenderung
menekankan pada stabilitas dan keseimbangan, elit politik hari ini
memiliki kecenderungan untuk mengabaikan suara publik.
Panji juga
menyoal tentang tantangan demokrasi hari ini, yakni bagaimana menghadapi
elitelit politik yang mampu melakukan rekayasa persetujuan tanpa harus
menciptakan instrumen kekerasan seperti di era Orde Baru.
Berkaitan
dengan itu juga, Bivitri menekankan pada fenomena autocratic legalism
yakni adanya upaya pembajakan mekanisme konstitusi untuk mendapatkan
keuntungan dari dangkalnya demokrasi dan hukum yang berlaku. Hukum
dijadikan sebagai alat penyelewengan intrumen kekuasaan.
Menurut
Bivitri, cara ini lebih sadis dibandingkan penggunaan senjata karena
memberikan dampak luas bagi masyarakat. Dalam konteks autocratic
legalism tersebut, ada pelemahan empat institusi demokrasi di Indonesia
yaitu KPK, DPR (dalam hal ini fungsi pengawasannya), masyarakat sipil
(melalui intimidasi, kriminalisasi, doxing), serta Mahkamah Konstitusi.
Sebagai
representasi mahasiswa dan anak muda, Melki menyoroti ancaman demokrasi
dengan adanya pembungkaman gerakan mahasiswa melalui upaya peretasan,
intimidasi, dan represi yang mengakibatkan redupnya gerakan mahasiswa.
Di sisi lain, mahasiswa sebagai representasi anak muda seringkali hanya
diposisikan perannya untuk memilih dan dipilih.
Padahal lebih dari
itu, anak muda dalam demokrasi perlu diberikan ruang untuk
berpartisipasi dengan beragam cara. Adapun putusan Mahkamah Konstitusi
terkait dengan ketentuan cawapres sesungguhnya juga tidak memberikan
kontribusi bagi pengakuan dan penguatan representasi bagi anak muda,
karena tidak mengubah apapun soal kategori usia muda.
Sebaliknya,
putusan tersebut justru berpotensi menguatkan oligarki karena hanya
memberi akses bagi “anak muda yang punya pengalaman menjabat sebagai
pemimpin politik”. Ancaman erosi demokrasi tidak selalu bersumber dari
elit-elit politik.
Hurriyah melihat ancaman demokrasi juga muncul
dari bawah, yakni dari masyarakat sipil. Dalam konteks politik hari ini,
suara kritis masyarakat sipil, terutama di media sosial, seringkali
dibungkam oleh kelompok masyarakat sipil lainnya terutama kelompok
buzzer.
Kondisi ini menurut Hurriyah adalah ironi karena
masyarakat sipil selama ini diyakini sebagai agen utama demokratisasi,
dan kritik terhadap kekuasaan justru merupakan prasyarat penting bagi
terwujudnya demokrasi yang sehat. Ketika masyarakat sipil terkooptasi
dan menjadi pendukung kekuasaan, hal itu justru perlahan-lahan akan
mematikan kontrol publik.
Fenomena-fenomena ini menunjukan bahwa
demokrasi tidak pernah runtuh secara tiba-tiba, melainkan terjadi
pengikisan secara perlahan dan tidak disadari. Karenanya, Hurriyah
menyarankan pentingnya komitmen elit pada demokrasi, keberadaan oposisi
dan masyarakat sipil yang kritis dan resilien dalam rangka menjaga
kontrol publik dan melawan erosi demokrasi.
0 comments:
Post a Comment