Bhima menyarankan pengenaan pajak kekayaan sebesar 2 persen terhadap total harta para konglomerat. Kebijakan ini berbeda dari pajak penghasilan, karena berfokus pada nilai aset yang dimiliki para warga superkaya.
"Estimasinya akan diperoleh Rp81,6 triliun sekali penerapan pajak kekayaan. OECD dan G20 kan mendorong pemberlakuan pajak kekayaan juga," sambungnya.
Bhima juga mendorong percepatan penerapan pajak karbon yang telah diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak ini disebut dapat diberlakukan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.
"Pajak karbon yang diamanatkan UU HPP bisa dijalankan tahun ini. Tinggal keluarkan PMK-nya saja kalau soal pajak karbon. Begitu diberlakukan ke PLTU batubara, hasil pajak karbon akan digunakan untuk dorongan belanja energi terbarukan yang serap tenaga kerja. Bagus juga pajak karbon bagi lingkungan hidup," jelas Bhima.
Ketiga, Pajak Produksi Batubara. Dalam hal ini, Bhima mengusulkan agar pajak produksi batubara di luar royalti yang ada saat ini dinaikkan untuk meningkatkan kontribusi sektor tersebut terhadap penerimaan negara.
Lalu, Penutupan Kebocoran Pajak. Bhima menegaskan pentingnya memperbaiki pengawasan pajak di sektor sawit dan tambang yang selama ini kerap mengalami kebocoran.
"Tutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang," tegasnya.
Terakhir,
Evaluasi Insentif Pajak. Bhima menilai sejumlah insentif pajak saat ini
tidak tepat sasaran dan perlu dievaluasi. Salah satu contohnya adalah
program tax holiday yang diberikan kepada perusahaan smelter nikel yang telah meraup laba besar.
"Evaluasi
seluruh insentif pajak yang tidak tepat sasaran. Misalnya, perusahaan
smelter nikel yang labanya besar sekali tidak perlu dikasih tax holiday," ujarnya. Pada Selasa 31 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto memastikan bahwa
PPN 12 persen hanya diberlakukan untuk barang dan jasa mewah. Sementara
barang dan jasa yang sebelumnya terkena PPN 11 persen tidak mengalami
kenaikan
0 comments:
Post a Comment