Tanah Laut KONTAK BANTEN – Penundaan pelantikan kepala daerah (KDH) terpilih yang tidak memiliki sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) telah menimbulkan perdebatan tajam di kalangan masyarakat dan pemerhati politik daerah. Kebijakan ini dinilai mencerminkan adanya tarik-ulur kepentingan yang berpotensi mengorbankan hak demokrasi rakyat serta stabilitas pemerintahan daerah.
Muhammad Hartono, Pemuda Tanah Laut Kalel, mempertanyakan langkah pemerintah yang dianggap mengabaikan amanah rakyat dengan menunda pelantikan KDH non-sengketa. Menurutnya, alasan yang diberikan, yakni menyelaraskan pelantikan dengan daerah yang masih bersengketa di MK, tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Pemerintah tidak boleh bermain-main dengan suara rakyat. Pilkada adalah proses demokrasi yang sah, dan penundaan tanpa alasan hukum yang jelas justru menunjukkan indikasi kepentingan politik tertentu,” tegas Hartono Mahasiswa FH Pasca Sarjana ULM.
Alasan Pemerintah dan Implikasi Hukumnya
Pemerintah beralasan bahwa penundaan ini bertujuan untuk menyerentakkan pelantikan seluruh kepala daerah guna memastikan transisi kepemimpinan berjalan lebih efektif. Namun, kebijakan ini bertentangan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 80 Tahun 2024, yang mengatur bahwa kepala daerah terpilih yang tidak memiliki sengketa hukum harus segera dilantik tanpa perlu menunggu hasil sengketa MK.
Selain itu, dalam Undang-Undang Pilkada Pasal 160 dan 160A, telah ditegaskan bahwa pelantikan KDH terpilih harus dilakukan segera setelah hasil pemilihan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan demikian, kebijakan penundaan ini berpotensi melanggar peraturan yang lebih tinggi dalam sistem hukum Indonesia.
Dari sudut pandang hukum, prinsip lex superior derogate legi inferiori aturan yang lebih tinggi harus diutamakan dibanding aturan yang lebih rendah menjadi relevan dalam polemik ini. UU Pilkada sebagai produk legislasi yang lebih kuat tidak boleh diabaikan hanya karena pertimbangan administratif atau keputusan sepihak yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Jika kebijakan ini tetap dipaksakan, maka akan menimbulkan preseden buruk dalam sistem pemerintahan daerah. Pemerintah pusat terkesan ingin memusatkan kendali dengan mengulur pelantikan KDH yang sah, sehingga dapat menciptakan celah untuk intervensi politik dalam kepemimpinan daerah.
Selain bertentangan dengan aturan hukum, penundaan pelantikan juga membawa dampak serius terhadap stabilitas pemerintahan di daerah. Beberapa risiko yang muncul akibat kebijakan ini antara lain:
Terhambatnya Program Pembangunan Daerah
Dengan belum adanya kepala daerah definitif, banyak program kerja yang telah dirancang selama kampanye menjadi tertunda. Kebijakan strategis yang membutuhkan persetujuan kepala daerah tidak dapat berjalan optimal, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Birokrasi dalam Ketidakpastian
Plt (Pelaksana Tugas) kepala daerah yang ditunjuk sering kali memiliki kewenangan terbatas dibanding kepala daerah definitif. Hal ini dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan dan menurunkan efektivitas layanan publik, karena banyak kebijakan yang tidak dapat diambil dengan cepat.
Potensi Konflik Politik di Daerah
Ketidakjelasan pelantikan bisa memicu ketegangan politik di tingkat lokal, terutama antara pendukung pasangan calon yang merasa hak politik mereka dikebiri. Situasi ini berpotensi menciptakan instabilitas sosial yang bisa berdampak pada keamanan daerah.
Pelemahan Demokrasi
Jika penundaan ini menjadi praktik yang berulang, maka publik akan kehilangan kepercayaan terhadap proses pemilu dan demokrasi di Indonesia. Rakyat bisa merasa bahwa suara mereka tidak benar-benar dihargai, yang dapat berujung pada meningkatnya apatisme politik di masa depan.
Berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil, mendesak pemerintah untuk segera melantik KDH non-sengketa sesuai dengan aturan yang berlaku. Keterlambatan pelantikan tanpa alasan yang sah bukan hanya merugikan kepala daerah terpilih, tetapi juga menghambat jalannya pemerintahan dan pelayanan publik di daerah.
Jika pemerintah tetap bersikeras menunda, maka perlu ada transparansi mengenai dasar hukum dan urgensi keputusan tersebut. Tanpa itu, kebijakan ini hanya akan menambah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan memperkuat dugaan adanya kepentingan politik di balik penundaan tersebut.
0 comments:
Post a Comment