Kekayaan, betapapun kerasnya cara kita mendapatkannya, adalah anugerah
Allah. Karena anugerah, ia harus diperlakukan sesuai dengan
aturan-aturan Sang Pemberi Anugerah. Orang tak bisa seenaknya berbuat
dengan hartanya meskipun ia mengklaim itu hasil jerih payahnya sendiri.
Sebab, setiap yang dimiliki manusia terkandung tanggung jawab yang harus
dipikul. Sikap etis dalam memiliki kekayaan termasuk dari implementasi
tanggung jawab tersebut.Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali menjelaskan etika menjadi orang kaya dalam salah satu
risalahnya berjudul Al-Adabu fid Dîn, persisnya dalam fasal Âdâbul
Ghanî (dalam Majmû‘ Rasâil al-Imâm al-Ghazâlî, Kairo: al-Maktabah
at-Taufîqiyyah). Imam Al-Ghazali mengulas beberapa poin penting yang
harus dilakukan oleh orang berpunya.Pertama, selalu bersikap tawaduk
(luzûmut tawadlu'). Kedua, menghapus sikap sombong (nafyut takabbur).
Orang yang memiliki kelebihan, termasuk kelebihan harta benda,
diharuskan untuk melestarikan sifat rendah hati, tidak angkuh, terhadap
orang lain baik miskin maupun kaya seperti dirinya. Sifat ini bisa
muncul jika si kaya menginsafi bahwa kekayaan hanyalah titipan atau
sekadar amanat.Ketiga, senantiasa bersyukur (dawâmusy syukr). Lawan dari
syukur adalah kufur alias mengingkari kekayaan sebagai karunia yang
sangat berharga. Kufur biasanya dipicu oleh sifat tamak, tak puas dengan
apa yang sedang dimiliki. Keempat, terus bekerja untuk kebajikan
(at-tawâshul ilâ a‘mâlil birr).Di antara modal orang kaya yang tak
dimiliki orang miskin adalah kekuatan ekonomi. Karena itu hendaknya
kekuatan ini dimanfaatkan untuk kemaslahatan orang lain, bukan dibiarkan
menumpuk, bukan pula untuk kegiatan mubazir atau yang menimbulkan
mudarat.Kelima, menunjukkan air muka yang berseri-seri kepada orang
fakir dan gemar mengunjunginya (al-basyâsyah bil faqîr wal iqbâl
‘alaihi). Sikap ini adalah bukti bahwa si kaya tak membedakan pergaulan
berdasarkan status ekonomi seseorang. Keenam, menjawab salam kepada
siapa saja (raddus salâm ‘alâ kulli ahadin). Orang kaya juga dituntut
untuk membalas sapaan yang datang dari setiap orang, terlepas dari latar
belakang keturunan, kekayaan, status sosial, profesi, dan lain-lain.
Manusia memang diciptakan setara dan sama-sama mulia, dan demikianlah
seharusnya tiap orang saling bersikap.Ketujuh, menampakkan diri sebagai
orang yang berkecukupan (idh-hârul kifâyah). Artinya, orang kaya tak
sepatutnya bersikap memelas atau menunjukkan tanda-tanda sebagai orang
yang butuh bantuan. Tentu ini berbeda dari sikap hidup sederhana, yang
menjadi lawan dari berfoya-foya dan terlalu bermewah-mewahan.Kedelapan,
lembut dalam bertutur dan berperangai ramah (lathâfah al-kalimahwa
thîbul muânasah). Artinya, tidak mentang-mentang kaya dan bisa melakukan
banyak hal dengan kekuatan ekonominya, orang kaya lantas boleh berbuat
apa saja, termasuk berkata kasar dan merendahkan orang lain.Kesembilan,
suka membantu untuk kepentingan-kepentingan yang positif (al-musâ‘adah
‘alal khairât). Contah dari sikap ini adalah bersedekah, membangun
fasilitas umum, memberi bantuan modal usaha, menanggung biaya pendidikan
orang miskin, dan lain-lain. (
0 comments:
Post a Comment