JAKARTA - Tren kenaikan suku bunga dan pelemahan nilai tukar rupiah
akan membuat beban pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri (ULN)
Indonesia semakin besar ke depan. Padahal, pemerintah dipastikan bakal
menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) untuk membayar kewajiban utang
tersebut.
Akibatnya, stok utang pemerintah makin menjulang. Sejumlah kalangan
menyarankan pemerintah segera melakukan efisiensi belanja untuk
menghemat pengeluaran, dan memacu kenaikan penerimaan pajak. Selain itu,
pemerintah sudah semestinya juga memangkas warisan utang dari Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah menggerogoti APBN dalam 20
tahun terakhir.
Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Candra Fajri Ananda, memaparkan
dengan selisih kurs rupiah yang cukup besar antara asumsi APBN dan kurs
aktual, maka utang dipastikan bakal menumpuk signifikan. APBN sebenarnya
sudah mencadangkan anggaran untuk membayar utang sebesar 380 triliun
rupiah pada tahun anggaran 2018.
“Ya, kalau nanti dibayar dengan dollar dan kondisi dollar yang tengah
menguat seperti saat ini maka rupiah yang diperlukan lebih dari itu.
Ini tentunya makin memberatkan APBN dan mengurangi belanja pembangunan,”
jelas dia, di Jakarta, Selasa (16/10). Dalam asumsi APBN 2018,
pemerintah menetapkan kurs rupiah sebesar 13.400 rupiah per dollar AS.
Namun, hingga kemarin rata-rata kurs rupiah berdasarkan kurs tengah
Bank Indonesia (BI) sudah mencapai 14.117 rupiah per dollar AS, atau
meleset 5,3 persen di atas asumsi. Dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR
kemarin, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan rata- rata
nilai tukar rupiah pada 2018 akan naik menjadi 15 ribu rupiah per
dollar AS sampai Desember nanti.
Menkeu menjelaskan tren penguatan dollar AS terhadap mata uang global
terjadi di Oktober 2018 dan diperkirakan berlanjut, walaupun
diproyeksikan akan terjadi moderasi di akhir tahun ini. Terkait
pergerakan nilai tukar, kurs rupiah berhasil memperbaiki posisi pada
akhir perdagangan, Selasa.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup
menguat 19 poin atau 0,12 persen, dari posisi penutupan Senin (15/10) di
15.220 rupiah, menjadi 15.201 per dollar AS. Menyinggung pengelolaan
utang negara, Candra mengungkapkan untuk menutup tambahan beban
kewajiban utang akibat menguatnya dollar AS, pemerintah bakal menarik
utang lagi untuk mencukupi kebutuhan tersebut.
Namun, dia berharap pemerintah bisa lebih berhemat anggaran, dalam
situasi gali lubang tutup lubang utang seperti saat ini. Berdasarkan
data BI, utang luar negeri (ULN) Indonesia periode Agustus 2018
meningkat 5,14 persen (year-onyear/ yoy) menjadi 360,7 miliar dollar AS
atau setara 5.410 triliun rupiah (pada kurs 15 ribu rupiah per dollar
AS).
Jumlah ULN itu terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral sebesar
181,3 miliar dollar AS (2.719 triliun rupiah), serta utang swasta
termasuk BUMN sebesar 179,4 miliar dollar AS (2.691 triliun rupiah).
Makin Sulit
Sementara itu, ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan bagi
pemerintah dan swasta di tengah normalisasi kebijakan moneter global
tentunya semakin sulit untuk menawarkan utang baru. Imbal hasil (yield)
SBN 10 tahun saat ini hampir mencapai 9 persen, semakin melebar
dibandingkan yield US Treasury dalam tenor sama yang sebesar 3,16
persen.
“Melebarnya yield spread menandakan minat investor untuk masuk ke
pasar surat utang negara berkembang menurun. Imbasnya baik pemerintah
dan swasta harus menawarkan bunga lebih mahal untk menarik minat para
investor global,” jelas dia.
Oleh karena itu, Bhima pun menyarankan dilakukan pendalaman pasar
keuangan dengan menerbitkan lebih banyak obligasi ritel berdenominasi
rupiah untuk mengurangi kebergantungan pada utang valuta asing.
Kemudian, mengevaluasi proyek infrastruktur berdasarkan beban
pembiayaan, dan mendorong model kerja sama swasta dibandingkan bertumpu
pada utang. “Dan efisiensi belanja pemerintah khususnya belanja rutin
seperti belanja pegawai dan belanja barang yang sifatnya konsumtif,”
tukas dia.
0 comments:
Post a Comment