Rakyat juga menginginkan pemerintah tidak terlalu berharap pada
bantuan Bank Dunia dan afiliasinya. Sebab, sangat berisiko jika negara
mempertaruhkan nasib 260 juta penduduk di tangan satu lembaga. Ekonom
Indef, Bhima Yudhistira, mengemukakan resep reformasi struktural yang
digembar-gemborkan Bank Dunia ternyata tidak bisa mendorong ekonomi
nasional secara signifikan.
Padahal, Indonesia sudah menjalankan resep itu, antara lain,
memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM) sekaligus listrik, dan
menerbitkan utang luar negeri untuk membiayai infrastruktur. “Tapi apa?
Bukannya meningkat, konsumsi justru stagnan karena daya beli masyarakat
terkikis oleh kenaikan tarif listrik golongan 900 VA (volt ampere) yang
luar biasa,” ungkap dia, di Jakarta, Minggu (4/11).
Menurut Bhima, masyarakat menahan belanja karena pendapatan mereka
banyak tersedot untuk membayar tagihan listrik. Akibatnya, pertumbuhan
konsumsi rumah tangga yang menyokong lebih dari 50 persen Produk
Domestik Bruto (PDB), melambat. Hal inilah yang menjadi salah satu
penyebab dalam empat tahun terakhir pertumbuhan ekonomi justru
terperangkap dalam stagnasi di level 5 persen.
“Ini artinya resep Bank Dunia tidak cocok dengan ekonomi Indonesia,”
tukas dia. Bhima mengingatkan agar Indonesia belajar dari pengalaman 20
tahun mengakrabkan diri dengan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional
(International Menetary Fund/IMF). Hasilnya, Indonesia tetap terancam
masuk dalam jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income
trap.
“Di Eropa yang namanya Bank Dunia dan IMF ditolak habis-habisan
karena memperburuk krisis utang. Kok di Indonesia malah diberi karpet
merah,” papar dia. Padahal, Indonesia pernah menjadi korban kesalahan
resep IMF dalam mengatasi krisis keuangan 1998.
Sebagai salah satu syarat mendapatkan pinjaman IMF untuk penanganan
krisis, lembaga itu merekomendasikan penerbitan obligasi rekapitalisasi
perbanan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bernilai sekitar
650 triliun rupiah. Utang BLBI itu beserta bunga-berbunganya hingga kini
mencapai lebih dari 3.000 triliun rupiah.
Sebab, pemerintah harus menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang
juga berbunga, hanya untuk membayar bunga utang lama tersebut. Obligasi
rekap menjadi biang membengkaknya utang negara yang hingga September
2018 mencapai 4.416 triliun rupiah.
Dalam 20 tahun terakhir APBN harus membayar bunga obligasi rekap
sebesar 70 triliun rupiah setahun. Ini sama saja mencederai keadilan
bagi rakyat, karena memaksa 260 juta penduduk Indonesia ikut menanggung
utang segelintir obligor nakal BLBI. Padahal, rakyat tidak menikmati
utang itu.
Struktur Ekonomi Rapuh
Menyinggung kepekaan pemerintah terhadap potensi krisis, Guru Besar
Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto,
mengingatkan pemerintah agar tidak meremehkan pertumbuhan utang luar
negeri (ULN) Indonesia. Meskipun secara teori kerap dinyatakan ULN saat
ini masih aman, tetapi realitas yang ada kemampuan membayar Indonesia
diragukan karena struktur ekonomi yang rapuh.
“Utang luar negeri yang semakin lama makin besar menandakan kita
sangat bergantung dari utang dalam menjalankan program pembangunan,”
ujar dia. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), ULN Indonesia pada akhir
Agustus 2018 mencapai 360,7 miliar dollar AS atau setara 5.410,50
triliun rupiah (pada kurs 15.000 rupiah per dollar AS).
Dari jumlah itu, utang pemerintah dan bank sentral sebesar 181,3
miliar dollar AS dan utang swasta termasuk BUMN senilai 179,4 miliar
dollar AS. Bagong mengatakan pemerintah jangan melupakan pertanyaan,
apakah utang yang ditarik selama ini produktif. Pasalnya, ekspor
Indonesia masih kalah dengan impor. Padahal, ekspor inilah yang
seharusnya diharapkan akan digunakan untuk membayar kembali utang.
0 comments:
Post a Comment