Tutupnya beberapa perusahaan media massa dinilai sebagai akibat terlambat menyesuaikan dengan perubahan zaman
Pertumbuhan pesat media digital diyakini tidak akan ‘membunuh’ media konvesional, tapi malah memperbesar ekosistem media.
Executive
Director Media Business Nielsen Indonesia Hellen Katherina mengatakan
ketika televisi muncul pertama kali, sebagian publik juga merasakan saat
itu adalah ajal radio sebagai media komunikasi.
Meski begitu,
pada kenyataannya radio masih bernyawa hingga kini. Bahkan, di Amerika
Serikat, radio menjadi media dengan penetrasi pasar terbesar.
Sama
seperti perkembangan dua media elektronik tersebut, kemunculan media
digital yang kian menjamur dinilai banyak orang dapat menjadi pembunuh
media cetak.
Namun, kata Hellen, media cetak tidak akan pernah mati.
“Media cetak tidak akan mati, tapi ekosistem media yang berubah. Menjadi lebih banyak,” ujar dia, di Jakarta, Rabu.
Menurut
Hellen, konsekuensi dari perubahan ekosistem itu membuat media cetak
harus meremajakan diri, menyesuaikan gaya agar bisa menarik segmen yang
lebih muda.
Hellen tidak menampik fenomena tutupnya media-media
cetak di tanah air. Namun hal itu menurutnya adalah persoalan managerial
saja alias akibat terlambat menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Begitupun
dengan media yang membawa lisensi media internasional yang gulung tikar
di Indonesia. Kata Hellen, hal itu dikarenakan biaya perpanjangan
kontrak yang bertambah mahal akibat merosotnya nilai rupiah.
Akhirnya, perubahan ekosistem pun menggiring para pelaku industri media berbondong-bondong membangun media digital.
Sebut
saja EMTEK, yang tak hanya mengandalkan bisnis televisinya lewat SCTV
dan IVM setelah membangun situs online bola.com, bintang.com, dan
liputan6.com.
Atau MNC Grup yang belakangan mengembangkan portal
iNews.com, setelah Okezone.com dan Sindonews.com berkibar beberapa
tahun, sambil tetap mempertahankan produk mereka seperti RCTI, Global
TV, MNC TV dan Koran Sindo
Pun Kelompok Kompas Gramedia yang kian mengembangkan portal kompas.com dan Grid Networks dengan berbagai fitur baru.
Penggabungan
media konvesional dan media digital ini, menurut Hellen, ditujukan
perusahaan-perusahaan tersebut untuk menambah jangkauan target konsumen.
“Dari data kami, penggabungan ini terbilang berhasil,” ujar dia.
Menurut
Hellen, pada kuarter IV/2017 sebuah koran yang mencetak 611.000
eksemplar, mendapatkan tambahan pembaca 2.950.000 pembaca untuk versi
digitalnya, sehingga total mempunyai 3.704.000 pembaca.
Survei tersebut juga menjelaskan jika pembaca Kompas versi digital (kompas.com) lebih muda dibanding kompas versi koran.
Mereka
umumnya berasal dari generasi milenial (21-34 tahun) dan generasi X
(35-49 tahun). Sedangkan media cetak mempunyai pembaca dengan usia yang
lebih mapan.
Di tempat yang sama, EMTEK digital media yaitu
bola.com dan bintang.com juga mampu menjangkau pembaca pria (54 persen)
meskipun konten media ini ditujukan untuk pembaca perempuan.
Sedangkan
untuk konten sepakbola ternyata bisa menjangkau pembaca perempuan (47
persen), meski pemirsa siaran bola di televisi hanya 42 persen.
“Artinya, media digital bisa menjangkau konsumen lebih luas dan tidak terduga,” ujarnya.
Kesimpulannya, menurut Hellen, media digital tidak ‘membunuh’ media konvensional, namun saling melengkapi.
“Masing-masing
mempunyai target audiens yang berbeda prefesensi medianya. Namun TV
tetap paling tinggi diakses oleh publik,” ujar dia.
Pakar
komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Edi Santoso
mengatakan dalam catatan sejarah perkembangan media, media baru tidak
serta-merta membunuh media lama.
Namun, kehadirannya memang dapat mengurangi pangsa pasar media lama.
Edi
mengatakan para pelaku industri konvesional harus mempunyai program
edukasi pada konsumen milenial atau generasi X agar mempunyai pengalaman
personal dengan media lama.
“Sehingga tercipta ikatan mereka dengan media yang lebih tua,” ujar dia.
Keunggulan media konvensional, menurut Edi adalah kedalaman, akurasi dan kredibilitas.
Di
sisi lain, tingkat kepercayaan masyarakat pada media digital cenderung
menurun akibat berlimpahnya informasi serta maraknya kabar bohong.
“Orang kembali menengok media konvesional sebagai rujukan. Kalau ada pembaca, ya pasti ada bisnis media di situ,” ujar dia.Memasuki era digital yang serba canggih ini, informasi dan berita lebih
mudah diperoleh dari berbagai sumber online. Hal ini, kemudian mengancam
bisnis percetakan, khususnya koran dan buku, yang menjadi sumber
informasi secara tradisional.
Dilihat dari sejarahnya, sebelum ada perkembangan internet dan smartphone, koran, TV, dan radio adalah sumber informasi utama di masyarakat. Meskipun TV dan radio menawarkan kecepatan informasi, tetapi koran, tetaplah menang dalam hal pendalaman berita.
Namun, kondisi ekonomi dan perkembangan dunia digital kian mendesak koran, membuat media ini makin kehilangan sirkulasinya dan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih sedikit. Pengorbanan dilakukan, bahkan kehilangan esensi dari koran itu sendiri.
Lalu, bagaimana jika bisnis percetakan, baik itu koran dan buku, menghilang? Dilansir dari The Seattle Times, jika bisnis percetakan buku dan koran menghilang, akan muncul efek domino yang berdampak luas. Dilansir dari The Seattle Times, bukan hanya sekadar para jurnalis koran akan kehilangan pekerjaannya, matinya bisnis ini dinilai akan membuat demokrasi menjadi semakin gelap.
Hal ini juga akan berdampak terhadap pelanggan setianya. Tidak semua orang merasa nyaman membaca berita di layar smartphone. Media koran selalu memiliki pembaca yang loyal. Tidak semua pembacanya bisa bertransisi menjadi pembaca digital. Ketika koran menghilang, sebagian dari masyarakat itu akan kehilangan sesuatu bagian yang besar dalam hidupnya.
Tak bisa dimungkiri, koran adalah esensi besar dari demokrasi itu sendiri, karena pers adalah pertahanan terakhir demokrasi. Dilansir dari Forbes, pers melalui koran, adalah pengawas pemerintah, baik itu lokal maupun nasional. Koran memberikan validasi data sebagai bukti integritasnya. Kehilangan koran, berarti masyarakat akan kehilangan pengawas pemerintah.
Karena itu, di berbagai negara maju yang tingkat literasinya tinggi, seperti Norwegia, Jerman, Denmark, Swedia, dan bahkan India, insentif atas kertas koran diberlakukan. Maka, tak heran jika peran pers cetak di negara-negara tersebut masih sangat kuat dalam mendidik masyarakat.
Dilihat dari sejarahnya, sebelum ada perkembangan internet dan smartphone, koran, TV, dan radio adalah sumber informasi utama di masyarakat. Meskipun TV dan radio menawarkan kecepatan informasi, tetapi koran, tetaplah menang dalam hal pendalaman berita.
Namun, kondisi ekonomi dan perkembangan dunia digital kian mendesak koran, membuat media ini makin kehilangan sirkulasinya dan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih sedikit. Pengorbanan dilakukan, bahkan kehilangan esensi dari koran itu sendiri.
Lalu, bagaimana jika bisnis percetakan, baik itu koran dan buku, menghilang? Dilansir dari The Seattle Times, jika bisnis percetakan buku dan koran menghilang, akan muncul efek domino yang berdampak luas. Dilansir dari The Seattle Times, bukan hanya sekadar para jurnalis koran akan kehilangan pekerjaannya, matinya bisnis ini dinilai akan membuat demokrasi menjadi semakin gelap.
Hal ini juga akan berdampak terhadap pelanggan setianya. Tidak semua orang merasa nyaman membaca berita di layar smartphone. Media koran selalu memiliki pembaca yang loyal. Tidak semua pembacanya bisa bertransisi menjadi pembaca digital. Ketika koran menghilang, sebagian dari masyarakat itu akan kehilangan sesuatu bagian yang besar dalam hidupnya.
Tak bisa dimungkiri, koran adalah esensi besar dari demokrasi itu sendiri, karena pers adalah pertahanan terakhir demokrasi. Dilansir dari Forbes, pers melalui koran, adalah pengawas pemerintah, baik itu lokal maupun nasional. Koran memberikan validasi data sebagai bukti integritasnya. Kehilangan koran, berarti masyarakat akan kehilangan pengawas pemerintah.
Karena itu, di berbagai negara maju yang tingkat literasinya tinggi, seperti Norwegia, Jerman, Denmark, Swedia, dan bahkan India, insentif atas kertas koran diberlakukan. Maka, tak heran jika peran pers cetak di negara-negara tersebut masih sangat kuat dalam mendidik masyarakat.






0 comments:
Post a Comment