![]() |
SERANG – Puluhan mahasiswa
yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Banten menggelar
aksi simpatik dalam memperingati hari Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan di depan Kampus A Untirta Serang.
Dalam aksi ini, mereka menuntut agar
perempuan, terutama di Provinsi Banten, dapat lebih berdaya,
menghentikan segala kekerasan terhadap perempuan, dan penuhi hak-hak
para perempuan. Selain itu, mereka juga menuntut agar pembangunan di
Provinsi Banten dapat lebih berbasis gender.
Humas Aksi, Ega Khairunisa, menyampaikan
bahwa hari penghapusan kekerasan terhadap perempuan diperingati untuk
mengenang perjuangan tiga orang perempuan yang telah mati dalam
memperjuangkan hak demokratisnya di Republik Dominika.
“Sejarah mengatakan ada perjuangan tiga
bersaudari di Republik Dominika melawan diktator fasis, yaitu Rafael
Trujilo. Mereka dibunuh karena menyuarakan hak-hak demokratisnya pada
tanggal 25 November 1960,” ujarnya, Senin (25/11/2019).
Ia mengatakan, berdasarkan data yang
pihaknya miliki, di Indonesia saat ini terdapat 237 kasus kekerasan
terhadap perempuan. Sedangkan di Banten sendiri, kata Ega, terdapat 36
kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Laporan tahunan Komnas Perempuan di Banten
mengatakan bahwa di Indonesia terdapat 237 kasus kekerasan terhadap
perempuan. Dan khusus di Banten, sebanyak 36 kasus sedang ditangani oleh
LPA Banten, dan 82 persennya merupakan kasus kekerasan perempuan,”
ucapnya.
Mahasiswi yang juga merupakan ketua Seruni
Ranting Untirta ini mengaku bahwa pembangunan di Provinsi Banten masih
belum berbasis gender. Akibatnya, banyak hak-hak dari perempuan yang
masih belum dipenuhi oleh Pemerintah Daerah di Provinsi Banten.
“Bahkan di Untirta pun dalam pembangunannya
tidak memenuhi hak-hak daripada perempuan. Seperti disediakannya
ruangan khusus untuk menyusui bagi dosen yang baru saja melahirkan. Sama
dengan beberapa kantor pelayanan publik di Banten,” ujarnya.
Ia juga mengaku, perampasan lahan yang
kerap terjadi di pedesaan, memaksa para perempuan untuk pergi ke kota
maupun ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Akibatnya, banyak dari
para perempuan, khususnya yang bekerja sebagai TKW, menjadi korban
kekerasan dari majikannya seperti Ruyati yang meregang nyawa akibat
disiksa.
“Selain itu juga, para buruh harian lepas
di perkebunan sawit di Siak, Riau pun mendapatkan kekerasan yang serupa.
Misalkan, para buruh ingin cuti karena haid, para mandor akan melakukan
pelecehan dengan cara selangkangan buruh itu disenter dan diraba-raba,”
ucapnya.
Di akhir, ia menuntut agar segala bentuk
kekerasan dan persekusi terhadap perempuan, harus dihapuskan dari Dunia,
khususnya di Indonesia. Selain itu, ia menuntut agar pemerintah
memenuhi seluruh hak perempuan, dengan melakukan pembangunan berbasis
gender.
“Hentikan seluruh bentuk persekusi dan
penangkapan terhadap perempuan pejuang HAM, serta hentikan segala bentuk
kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan. Lakukan pembangunan
daerah yang berbasis gender,” ucapnya.







0 comments:
Post a Comment