JAKARTA – Proses legislasi yang dilakukan DPR RI
harus berdasar praktik berbasis bukti (evidence based). Maraknya protes
terhadap Rancangan Undang- Undang (RUU) maupun ujimateri UU menurut
Peneliti Badan Keahlian DPR RI Lidya Suryanu Widayatu karena dalam
prosesnya, kurang berdasar praktik berbasis bukti yang diimplementasikan
oleh pengambil kebijakan.
“Kami rutin memberikan naskah akademik penelitian kepada pengambil
kebijakan. Namun, naskah tidak tersentuh karena adanya kesenjangan
antara periset dan pengambil kebijakan,” ujar Lidya dalam seminar
nasional bertema Kebijakan Berbasis Bukti untuk Kinerja Legislasi DPR RI
dan Daya Saing Bangsa di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (5/12).
Lidya mengatakan pihaknya dan perancang Undang- Undang (UU) sudah
memberikan informasi terkait RUU yang akan disahkan kepada pengambil
kebijakan. Namun, tidak sampai tersentuh oleh mereka. “Kami menggunakan
bahasa ilmiah, landasan teoretis, nah ini buat pengambil kebijakan jadi
tidak implementatif.”
Kemudian menurut mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)
Amien Sunaryadi, para pengambil kebijakan pun harus berdasar praktik
berbasis bukti dalam menegakkan kasus suap sebagai kasus korupsi paling
mendominasi di sekitar masyarakat.
“Jangan korupsi keuangan negara saja yang difokuskan, pasal suap juga
harus lebih diprioritaskan. Dari pengalaman saya, suap pengaruhnya
besar. Pengambil kebijakan memiliki kewenangan dalam menyetir penegak
hukum.”
Sejalan dengan hal tersebut, Amien berpesan dalam menjalankan suatu
kebijakan, harus ditemukan definisi yang tepat untuk menginterpretasi
praktik berbasis bukti dengan cara riset ke lapangan.
Pada kesempatan itu, Direktur Jenderal Anggaran Askolani mengatakan
perlu peningkatan produktivitas dan pembangunan ekonomi untuk mencapai
peringkat 5 ekonomi dunia di tahun 2045. Peningkatan tersebut memerlukan
riset yang mendalam dan didukung oleh seluruh sektor pemerintah.
“Riset menjadi tumpuan kita, kalau tidak didukung, maka akan lemah.
Dari sisi daya saing, seperti infrastruktur dan visa mejadi kelemahan
saat ini. Hal itu bisa dijawab dengan penelitian dan pengelolaan
pendidikan sumber daya manusia (SDM),” ungkap Askolani.
Sementara Ketua Panitia Khusus RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (Iptek) Daryatmo Mardiyanto mengungkapkan peneliti dirasa
kurang memberikan inovasi yang baik, sehingga kinerja pihak pengambil
kebijakan pun jadi terhambat. “Peneliti kebanyakan bekerja dalam tempat
yang sunyi, hasilnya sepi, kadang dipakai kadang tidak, sulit
berkembang,” tegasnya. dis/AR-3
0 comments:
Post a Comment