JAKARTA - Hasil survei menunjukkan bahwa guru masih fokus pada
ketercapaian kurikulum pada pembelajaran daring saat pandemi Covid-19.
Hal ini bertentangan dengan Surat Edaran Mendikbud Nomer 4/2020 tentang
pelaksanaan pembelajaran jarak jauh, di mana pembelajaran yang dilakukan
tidak harus tuntas.
“Pandemi Covid-19 bukanlah kondisi normal. Oleh karenanya, guru
hendaknya jangan menyamakan pembelajaran seperti kondisi normal. Pada
saat pandemi Covid-19, eksibilitas dan kelonggaran kurikulum adalah
kunci agar anak dan guru tetap ‘merdeka dalam belajar’,” kata Wakil
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim dalam
konferensi pers daring, di Jakarta, Selasa (28/4). Survei ini
diselenggarakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan FSGI.
Survei dilakukan selama lima hari, pada 17 – 21 April 2020 dengan
menjaring 602 responden di 14 provinsi di Tanah Air. Satriwan
menambahkan fenomena itu bisa terjadi disebabkan informasi SE Mendikbud
tersebut tidak sampai atau tidak dipahami dengan baik oleh Dinas
Pendidikan Daerah. Selain itu, faktor psikologis guru yang tetap ingin
bersikap ideal dalam menuntaskan kurikulum.
“Sebab, akan ada rasa yang mengganjal pada pikiran, jika pembelajaran
tak tuntas. Jadi lebih ke faktor subjekivitas guru, rasanya tak
sempurna jika kompetensi dasar tidak tercapai,” kata Satriwan.
Orientasi pada Penilaian
Guru lebih menekankan dan berorientasi pada kegiatan penilaian atau
aspek standar penilaian pada pelaksanaan pembelajaran jarak jauh atau
77,6 persen, dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran bermakna. Menurut
Satriwan, hal itu terpaksa dilakukan guru akibat kuranganya penguasaan
terhadap aplikasi pembelajaran daring.
“Hanya 19,1 persen responden yang sudah terbiasa menggunakan aplikasi
daring. Selebihnya lebih banyak menggunakan media sosial. Hal itu,
membuat pembelajaran jarak jauh menjadi model pembelajaran yang tidak
menarik bagi siswa,” ujar Satriwan. Secara umum, tambah Satriwan,
penerapan pembelajaran jarak jauh berjalan dengan baik meskipun
menghadapi banyak kendala. Kendala tersebut, antara lain kemampuan guru
dalam mengelola pembelajaran jarak jauh, metode pembelajaran yang
digunakan, keterbatasan kepemilikan media gawai pintar, dan keterbatasan
akses terhadap internet. Semua itu menjadikan pembelajaran jarak jauh
menjadi kurang bermakna. Menurut Satriwan, guru yang mengajar di
perkotaan cenderung lebih memiliki akses yang luas terhadap kepemilikan
gawai dan akses internet. Para guru juga sebagian besar menggunakan
media digital dalam pembelajaran, setidaknya menggunakan pembelajaran
daring sebanyak satu kali. Sementara itu, guru yang sudah terbiasa
menggunakan pembelajaran daring terus menerus di kelas paling sedikit
hanya delapan persen. Bahkan, tambah Satriwan, masih ada guru yang sama
sekali belum pernah melaksanakan pembelajaran daring sebelum pandemi
(9,6 persen).
0 comments:
Post a Comment