JAKARTA – Salah satu penyebab petani menderita kerugian karena
lemahnya institusi yang menyuarakan nasib mereka. Akibatnya, berbagai
kebijakan pemerintah sekalipun belum mencerminkan keberpihakan kepada
nasib para petani, terutama dalam meningkatkan kesejahteraannya melalui
kenaikan pendapatan.
Peneliti Pusat Kajian Studi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Awan Santosa, kepada Koran Jakarta,
Senin (8/6), mengatakan bahwa koperasi petani sebenarnya bisa menjadi
wadah yang menyuarakan kepentingan petani. Jika diperkuat, malah bisa
mengalahkan korporatokrasi. Korporatokrasi merupakan segelintir
perusahaan yang mendominasi, mengimpor barang dengan harga murah, lalu
melepas ke pasar.
“Koperasi bisa menciptakan kemandirian ekonomi. Itu yang dilakukan
negara maju di Skandinavia seperti Denmark dan Norwegia,” kata Awan.
Demikian juga di Jepang, satu konferedersi (gabungan koperasi) masuk
dalam sepuluh besar koperasi terbesar dunia dengan omzet 1.000 trilliun
rupiah. “Indonesia mesti meniru itu jika ingin mengalahkan pangan
impor,” ungkapnya.
Dia menjelaskan bahwa koperasi petani di Jepang memiliki jaringan
yang kuat, dari desa hingga pasar. Mereka bisa mengontrol dari hulu ke
hilir, bahkan memengaruhi keputusan politik. “Jika kebijakan politik
tidak pro pertanian, bisa diturunkan pejabatnya,” tegas Awan.
Idealnya, kata Awan, program korporatisasi petani yang tengah
didorong pemerintah berbasiskan pada koperasi-koperasi petani yang
jumlahnya sudah banyak, tinggal meningkatkan standarnya. Selain itu,
perlu diperkuat dari sisi kemampuan sumber daya manusianya dengan
penguasaan teknologi informasi.
Kemudian, institusi kelembagaannya dibenahi dari sisi bisnis dan
jaringan, dan selanjutnya mendorong mereka untuk menguasai sarana
produksi, teknologi permodalan. “Intinya, pemerintah harus mendorong
agar petani itu naik kelas,” katanya.
Gangguan Pasokan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2020
memperlihatkan petani merugi karena harga komoditas rendah dan gangguan
rantai pasokan akibat pandemi Covid-19.
Nilai Tukar Petani (NTP), yang merupakan rasio pendapatan petani
terhadap pengeluaran rumah tangga, turun 0,85 persen menjadi 99,47 pada
Mei dari bulan sebelumnya. Nilai di bawah 100 itu menunjukkan,
pengeluaran petani lebih tinggi dari pendapatan. NTP perkebunan rakyat
turun paling tajam yakni 2,30 persen, diikuti petani hortikultura dan
sayuran, yaitu 0,58 persen dan 0,54 persen.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, baru-baru
ini menyatakan, perkebunan rakyat terpukul karena aksesibilitas ke
negara lain lebih ketat. Sektor pertanian yang mempekerjakan lebih dari
seperempat penduduk Indonesia, telah terdampak oleh pembatasan sosial
untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19. Organisasi Perdagangan Dunia
memperkirakan, perdagangan global akan turun 32 persen tahun ini.
SPI mencatat harga produk yang sangat bergantung pada ekspor,
seperti minyak kelapa sawit, turut terpengaruh. Harga tandan buah segar
di Riau, mencapai 1.170 rupiah atau 8,3 sen dollar AS per kg, sehingga
sangat merugikan petani.
Pemerintah sendiri telah mengalokasikan 34 triliun rupiah untuk
subsidi bunga pinjaman dan relaksasi kredit usaha rakyat (KUR), namun
tidak semua petani punya jaminan untuk ikut program relaksasi.
Peneliti di Pusat Studi Kebijakan Indonesia, Galuh Octania,
mengatakan pandemi telah menambah kerugian petani karena hasil panen
melimpah sedangkan permintaan konsumsi turun. Inflasi yang sangat rendah
2,19 persen secara tahunan pada Mei mengisyaratkan lemahnya daya beli
masyarakat pada bulan puasa yang biasanya menjadi puncak konsumsi.
Meskipun pemerintah telah berkomitmen menyalurkan bantuan tunai
sebesar 300 ribu rupiah selama tiga bulan kepada 2,7 juta petani miskin
dan berencana menyalurkan berbagai macam bantuan seperti pupuk dan benih
senilai 300 ribu rupiah, namun tidak banyak menolong.
Di sisi lain, TaniHub Group, perusahaan produk pertanian online,
melaporkan, gangguan logistik sebenarnya dapat menyebabkan petani
menaikkan harga untuk mengimbangi kerugian. Akibatnya, harga produk
tertentu mungkin lebih tinggi ketika tiba di Jakarta dari provinsi
penghasil, meskipun sedang musim panen.
Meskipun pemerintah telah membebaskan logistik makanan dari
pembatasan, yang secara bertahap dihapus di beberapa tempat, banyak
pengemudi truk harus menjalani isolasi mandiri 14 hari sambil mengambil
persediaan di daerah yang terkena virus. Kondisi itu meningkatkan biaya
operasional. n ers/SB/E-9
0 comments:
Post a Comment