Irman Gusman
Ketua DPD RI periode 2009-2016
KETIKA pergerakan Boedi Oetomo didirikan pada tahun 1908, musuh bersama yang dihadapi bangsa ini adalah penjajahan. Menghadapi satu common enemy
bernama penjajahan itu, bangsa kita muai bersatu dan 20 tahun kemudian
melahirkan Soempah Pemoeda sebagai tonggak persatuan menuju proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Satu musuh bersama bernama
penjajahan membuat seluruh bangsa ini bersatu untuk melawan dan
menghalaunya. Tapi 113 tahun setelah pergerakan kebangkitan nasional
bergulir, dan 93 tahun setelah Soempah Pemoeda diikrarkan, persatuan
bangsa kita terkesan tercabik-cabik, justru pada saat kita menghadapi
banyak common enemies, banyak musuh bersama.
Lebih tragis lagi,
banyak musuh bersama itu justru berasal dari dalam negeri sendiri.
Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial dan kesenjangan
antardaerah, ketidakadilan di bidang hukum dan HAM serta ekonomi,
keterbelakangan dan ketertinggalan di bidang pendidikan di tengah dunia
yang semakin canggih, erosi moral dan nilai-nilai budaya, mengendornya
rasa kebersamaan dan solidaritas serta kedermawanan di tengah krisis,
merosotnya kepatuhan pada ajaran agama -- semua itu adalah sebagian dari
musuh-musuh bersama yang sekarang kita hadapi.
Yang lebih
berbahaya lagi adalah musuh-musuh bersama yang tidak disadari
kehadirannya. Eksploitasi sumberdaya alam tanpa menyadari bahwa
sumberdaya alam Indonesia bukanlah warisan masa silam melainkan titipan
dari generasi masa depan, adalah musuh bersama yang jarang disadari
bahayanya. Begitu pun ketergantungan yang semakin meningkat pada komoditas dan
sumberdaya asing merupakan musuh bersama yang ironisnya, bukannya
dihentikan malah dilanggengkan, sementara potensi dalam negeri yang
sebetulnya dapat dikembangkan untuk menciptakan kemandirian dan
kedaulatan justru dilemahkan oleh ketergantungan yang demikian itu.
Di
tengah situasi demikian itu, terlalu banyak waktu dan energi bangsa ini
terbuang untuk hal-hal yang tidak mengarah pada penciptaan solusi
terhadap semua musuh bersama itu. Hal ini terjadi antara lain karena
masyarakat tidak melihat adanya leadership yang kuat di bangsa ini untuk
menghimpun segenap potensi negeri ini demi mengatasi berbagai common enemies dimaksud.
Kita
memiliki terlalu banyak leaders tetapi terlalu sedikit leadership di
bangsa ini sebagai pembawa solusi untuk berbagai permasalahan yang
sedang dihadapi. Dan kondisi seperti ini terjadi di tengah absennya sense of crisis sehingga berbagai terapi yang diimplementasikan untuk menghadapi common enemies
dimaksud hanyalah terapi normatif, pendekatan yang hanya cocok dipakai
dalam kondisi normal, bukan dalam kondidi abnormal seperti sekarang.
Musuh
bersama yang kita hadapi saat ini sebagai bangsa bukan hanya Covid-19.
Selain krisis kesehatan ini sekarang munculkrisis ekonomi, krisis
sosial, krisis kepercayaan yang melahirkan low-trust society,
krisis hukum dan keadilan, krisis politik identitas, krisis kepemimpinan
dan keteladanan, krisis keamanan dan kedaulatan, krisis persatuan
bangsa, krisis kebablasan demokrasi liberal yang menggeser demokrasi
Pancasila, krisis proxy war, dan krisis kebudayaan.
Mengatasi
semua masalah ini tidaklah mudah. Tak mungkin juga kita menggantungkan
harapan pada rezim yang sedang berkuasa untuk menciptakan solusi bagi
semua permasalahan itu, karena skala permasalahannya sangat besar,
sementara kapasitas untuk mengatasinya sangat kecil. Yang dapat kita lakukan adalah mengawal pemerintahan Presiden Joko
Widodo-Ma’ruf Amin untuk mengakhiri masa jabatannya dengan aman dan
mencari pemimpin nasional yang lebih peka dan efektif sehingga dapat
men-deliver lebih banyak lagi manfaat bagi bangsa ini.
Sebab yang
justru perlu dibangun di negeri ini adalah sistem pengkaderan dan
kepemimpinan nasional yang mengedepankan proses sebelum hasil, bukan
sebaliknya. Negara ini membutuhkan sistem pengkaderan kepemimpinan
nasional yang mengutamakan kapasitas dan prestasi, bukan popularitas
belaka, apalagi hanya hubungan kekeluargaan.
Bisakah, dalam
memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, kita mulai berbalik
arah untuk mencari calon-calon pemimpin bangsa di semua tingkatan, yang
diseleksi berdasakan kriteria kapasitas dan prestasi sehingga yang
memimpin di semua bidang dan tingkatan adalah putra-putri terbaik bangsa
ini? Indonesia tidak kekurangan orang-orang cerdas dan berpotensi untuk
memimpin. Yang kurang hanyalah sistem pengkaderan dan seleksi yang
memungkinkan orang-orang hebat itu tampil ke atas panggung kepemimpinan
nasional. Karena itu maka sistem seleksi kepemimpinan nasional itu
sendiri perlu diperbaiki dari hulu ke hilir.
Sebab sangat
disayangkan apabila suatu bangsa yang memiliki potensi sumberdaya alam,
potensi sumberdaya manusia, serta sumber daya sosial-budaya yang sangat
besar ini dipimpin oleh sosok-sosok yang kurang memahami bagaimana
caranya mendayagunakan semua sumberdaya itu untuk membuat Indonesia naik
kelas agar sejajar dengan negara-negara maju dan dapat unggul di tengah
krisis global.
Di masa silam, bahkan semenjak pergerakan Boedi
Oetomo didirikan, modal sosial yang dimiliki oleh keluarga besar Stovia
adalah semangat untuk berkorban dalam perjuangan membela Tanah Air.
Ketika para pemuda menggelar Soempah Pemoeda 1928, modal sosial yang
mereka miliki adalah semangat persatuan untuk berjuang tanpa pamrih demi
suatu cita-cita yang tidak mereka nikmati sendiri, karena perjuangan
mereka diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan generasi masa depan.
Kenapa
ketika cita-cita kemerdekaan yang mereka perjuangkan itu sudah dicapai
dan dinikmati oleh generasi masa kini, justru generasi masa kini tidak
memikirkan kepentingan generasi masa depan, tetapi hanya mementingkan
kepentingan transaksionalnya sendiri, bahkan hanya mementingkan
kepentingan kelompoknya sendiri?
Patutlah kita yang hidup di
masa sekarang merasa malu pada luhurnya perjuangan generasi masa lampau
yang mengorbankan jiwa dan raga untuk kemerdekaan dan kedaulatan negara
dan bangsa kita saat ini. Mereka telah mewariskan kemerdekaan dan
kedaultan kepada kita yang hidup di masa kini. Apa yang akan kita
wariskan kepada generasi masa depan bangsa ini? Pertanyaan ini perlu
direnungkan dan dijawab di peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun
ini.
Jangan-jangan yang kita wariskan hanyalah beban ekonomi yang
akan semakin menyengsarakan generasi masa depan. Hutang negara sudah
ribuan triliun sementara pemasukan hanya sekitar sepertiga dari beban
hutang dimaksud. Secara teori ekonomi, sudah bangkrut negara ini,
sebetulnya. Bahwa kita masih bisa hidup sebagai negara, itu karena kita
masih memiliki napas dan semangat untuk bertahan di tengah pendemi
Covid-19 yang memunculkan banyak krisis turunannya.
Oleh karena
itu, marilah, dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun ini,
kita tinggalkan dahulu semua kepentingan kelompok dan kepentingan sesaat
yang hanya menguntungkan diri dan kelompok sendiri. Sebab ada
kepentigan yang jauh lebih besar, yaitu menyelamatkan bahtera bangsa ini
yang bocor di sana-sini di tengah hantaman gelombang dan badai krisis
multidimensional saat ini.
Bagi mereka yang beruntung berada di
lapisan atas piramida ekonomi, inilah saat yang terbaik untuk
menunjukkan kedermawanan sosial demi mengamankan eksistensi usaha di
masa depan. Sebab bukan tidak mungkin bahwa absennya empati demikian
akan menciptakan bom waktu yang dapat membahayakan diri sendiri.
Bagi
penyelenggara negara, inilah saatnya berkorban demi bangsa dan negara,
setelah sekian lama menikmati semua fasiltas dan bayaran yang diberikan
oleh negara. Tidak ada salahnya gerakan kedermawanan sosial di tengah
pandemi Covi-19 ini dimulai dari lembaga-lembaga penyelenggara negara,
baik di eksekutif, legislatif, maupun di yudikatif, sebagai teladan
kepedulian dan solidaritas sosial. Dimulai dari para pimpinan lembaga
penyelenggara negara, kementerian, BUMN, dan seterusnya.
Selain
itu, semua proyek mercusuar yang menghabiskan dana besar sepatutnyalah
ditunda dulu sampai kondisi perekonomian kembali normal lagi. Juga semua
pengeluaran birokrasi penyelenggaraan negara yang dapat diefisienkan
seharusnya ditinjau ulang. Sebab bukti tentang adanya sense of crisis
adalah hadirnya sistem implementasi kebijakan yang lebih prudent tanpa
mengganggu roda pemerintahan.
Semoga di Hari Kebangkitan Nasional
ini kita semua bangkit dari kondisi suram dan mulai melakukan perbaikan
di berbagai bidang dan tingkatan. Sebab kondisi dunia tidak akan
semakin membaik, dan kita harus belajar hidup berdampingan dengan dan
mengatasi berbagai krisis yang menghadang derap perjalanan kita sebagai
bangsa
0 comments:
Post a Comment