![]() |
Ulama Nahdatul Ulama (NU) KH Taufik Damas saat mengisi Ngabuburit Bersama BKNP PDIP, Rabu (5/5) sore. Foto/Ist |
JAKARTA - Meskipun Islam datang dari tanah Arab, namun para Walisongo tidak mentah-mentah mengajarkan Islam sebagaimana Islam di Arab.
Menurut Ulama Nahdatul Ulama
(NU) KH Taufik Damas, pada abad 15 dan 16, Walisongo menyebarkan ajaran
Islam kepada masyarakat Jawa. Caranya adalah denga lebih mengedepankan
unsur budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Inilah yang
justru dijadikan sebagai piranti dalam menyebarkan Islam.Islam hadir memang dari tanah Arab. Namun dalam penyebaran agama Islam
di Tanah Jawa, Walisongo termasuk Sunan Ampel, selalu beradaptasi dengan
kebudayaan lokal sesuai dengan kondisi sosial politik masyarakat
setempat,” kata Kiai Taufik, Rabu (5/5/2021).
Dia mengatakan itu
saat mengisi Ngabuburit Bersama Badan Kebudayaan Nasional Pusat (BKNP)
PDI Perjuangan (PDIP), yang dilaksanakan jelang berbuka puasa, Rabu
(5/5/2021) sore. Acara itu dipandu host Sekretaris BKNP PDIP, Rano
Karno, yang juga Anggota DPR RI.Menurut Wakil Khatib Syuriah PWNU DKI Jakarta itu, pemahaman soal hal
tersebut penting dan kontekstual pada saat ini. Metode dakwah seperti
yang yang digunakan Sunan Ampel perlu ditiru. Kalaupun dimodifikasi
sesuai kekinian, namun substansi pendekatan budayanya, seharusnya tak
berubah.Bahwa dalam berdakwah itu tidak hanya mengajarkan masyarakat untuk
mengerti betul tentang agama Islam. Tetapi juga harus memiliki sikap
kebijaksanaan. "Karena kebijaksanaan merupakan proses berdakwah dengan
penuh santun dan lebih mengedepankan ketenangan hati kepada masyarakat,"
urainya.
"Sikap inilah yang penting untuk dikembangkan seorang
da’i dalam berdakwah, sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh Sunan
Ampel," tambah Kiai Taufik.
Berdasarkan pendalaman ilmu yang
dilakukannya, diketahui bahwa Walisongo datang ke Indonesia dengan
kesadaran bahwa Nusantara memiliki banyak kebudayaan yang beragam. Maka
ketika berdakwah, para Walisongo menyesuaikan metodenya dengan fakta
yang ada dan tengah berkembang saat itu.
"Para Walisongo sangat
mengerti betul bahwa karakter dan budaya orang Arab sangat jauh berbeda
dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pola-pola ajaran keislaman yang
berkembang di Arab berdasarkan budayanya, ini tidak bisa serta merta
diajarkan mentah-mentah kepada masyarakat Indonesia," jelasnya.
"Misalnya,
karakter orang Arab yang keras dan egoistik. Sementara rakyat Indonesia
lebih mengedepankan karakter ‘ngejawi’-nya. Maka pola dan strategi
dalam berdakwah tidak bisa disamakan," bebernya lagi.
Itulah
sebabnya pola komunikasi yang digunakan Walisongo tidak menganggap
budaya setempat harus diubah. Sebaliknya, Walisongo justru sangat
mengapresiasi budaya yang berkembang yang kemudian ditambah nilai nilai
keislaman.
Maka, pola seperti inilah yang ditempuh oleh Sunan Ampel dalam menyebarkan agama Islam di Nusanatara.
“Sosok
Sunan Ampel memang memiliki pemahaman sufistik yang bijaksana, maka ia
sadar betul dengan kebudayaan yang sangat beragam, bisa dilihat dari
pembuatan tembang lir-ilir yang merupakan apresiasi terhadap musik yang
sudah ada sejak dahulu. Begitu juga dengan pakaian santri yang tetap
diadaptasikan dengan cara berpakaian orang Indonesia,” urai dia.
Dari
situ, dia berharap para dai dan pendakwah masa kini bisa memahami.
Bahwa kunci utama dalam berdakwah adalah bagaimana memiliki kemampuan
beradaptasi dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
“Kerap
kali tradisi dibenturkan dengan agama. Padahal tradisi diperbolehkan
dalam Islam asalkan tidak mengandung mudharat. Malah apabila kebudayaan
mengandung nilai positif, budaya atau tradisi bisa digunakan sebagai
media dakwah,” pungkas Taufik.
Program Ngabuburit BKNP PDIP
dengan tema besar ‘Mata Air Kearifan Walisongo’ hadir setiap hari pada
bulan Ramadhan pukul 17.00 WIB. Sementara sebelum sahur, ditampilkan
program sejenis juga. Semuanya dapat diikuti melalui kanal Youtube: BKNP
PDI Perjuangan, Instagram: BKNPusat dan Facebook: Badan Kebudayaan
Nasional Pusat.
0 comments:
Post a Comment