![]() |
Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini. Foto/jazulijuwaini.com |
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang para
ketua umum (Ketum) partai politik pendukung atau pro pemerintah ke
Istana negara, pada Rabu 25 Agustus 2021.Hal ini dibaca sebagai upaya konsolidasi partai koalisi pendukung
Jokowi. Apalagi Partai Amanat Nasional (PAN) juga ikut bergabung sebagai
mitra baru koalisi. Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) ketika ditanya perihal pertemuan tersebut menyatakan biasa saja.
Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini menyatakan, PKS tetap memilih menjadi oposisi.
Bahkan melihat dan mengevaluasi jalannya pemerintahan di bawah Presiden
Jokowi 7 tahun terakhir, PKS mengatakan justru semakin mantap
beroposisi."Jangan ragukan sikap oposisi PKS. Sejak awal kami sampaikan oposisi
hadir untuk menjaga demokrasi, menghadirkan check and balances agar
pemerintahan tetap on the track berpihak kepada kepentingan rakyat. Kami
juga ingin menjaga kehormatan partai-partai yang sejak awal berjuang
mendukung Pak Jokowi. Fair kan?," kata Jazuli, Kamis (2/9/2021).
Anggota
Komisi I DPR Dapil Banten ini mengatakan, PKS konsisten memerankan
oposisi yang konstruktif dalam mengawal jalannya pemerintahan dengan
kritik yang membangun.
Sayangnya, selama 7 tahun pemerintahan Pak
Jokowi Indonesia belum menampakkan kemajuan signifikan. Oleh karena
itu, bukan hanya PKS tetap menjadi oposisi tapi PKS justru semakin
mantap beroposisi.
"Kami melakukan evaluasi pemerintahan Pak
Jokowi setiap tahun. Tiap pemerintahan tentu punya tantangannya sendiri,
tapi harus tetap ada ukuran atau parameter objektif yang digunakan
sebagai patokan. Dari empat bidang yang kita evaluasi, hasilnya tidak
menggembirakan. Makanya kita mantap terus beroposisi secara subtantif,"
terang Jazuli. Dijelaskan, Jazuli, evaluasi Fraksi PKS terhadap pemerintahan Jokowi,
pertama di bidang ekonomi, PKS menilai pemerintahan saat ini belum mampu
mengatasi permasalahan struktural ekonomi sehingga lebih berpihak pada
rakyat atau ekonomi kerakyatan sebagaimana amanat Pasal 33 dan 34 UUD
1945.
"Akibatnya puluhan tahun Indonesia tidak beranjak status
sebagai negara berkembang. Indonesia terjebak dalam perangkap negara
berpendapatan menengah (middle income trap), bahkan dalam penilaian Bank
Dunia (2021) negara kita turun peringkat menjadi negara berpenghasilan
menengah-bawah (lower middle income country)," jelasnya.
"Utang luar negeri terus bertambah dan menjadi beban generasi yang akan datang. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan audit LKKP 2020 telah mengingatkan bahwa utang pemerintah sudah melampaui batas dan kapasitas pengembalian dibanding potensi pendapatan," tambahnya.
Di sisi lain kata Jazuli, arah untuk mewujudkan kedaulatan bagi petani, nelayan, pekerja, sdm lokal, serta produk-produk dalam negeri tidak terlihat konsisten, kebijakan hulu dan hilirnya acapkali tidak nyambung. Kita negara kaya sumber daya alam, hasil bumi dan hasil laut tapi tiap tahun pemerintah masih impor beras hingga garam.
"Di bidang politik dan penegakan hukum yang berkeadilan rapor pemerintah juga tidak menggembirakan. Lembaga internasional The Economist Intellegence Unit (2020) menilai terjadi penurunan indeks demokrasi Indonesia terendah selama 14 tahun terakhir," ungkapnya.
Merosot ke posisi 64 dari 167 negara. Posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara Indonesia di bawah Malaysia, Thailand, dan negara baru eks wilayah kita Timor Leste. Menurut banyak akademisi dan masyarakat sipil, hal ini tidak lepas dari iklim kebebasan berpendapat yang dirasakan ada pengekangan, ada kecenderungan perbedaan pendapat disikapi secara reaktif dan represif.
"Kelompok-kelompok kritis merasa dikriminalisasi. Ada persepsi ketidakadilan dalam perlakuan antara kelompok kritis dengan mereka yang kerap membela pemerintah. Ditambah lagi sikap dan perilaku buzzer yang agresif sehingga acapkali menimbulkan segregasi dan alienasi yang mengarah pada disharmoni sosial dan konflik terbuka," tegasnya.
"Kita juga masih tersandera kasus-kasus korupsi, konflik kepentingan pengisian jabatan publik dan BUMN, pelanggaran etik dan kepatutan, serta sejumlah praktik maladministrasi, data yang tidak vakid dan akurat, hingga maraknya kasus kebocoran data pribadi," sambungnya.
0 comments:
Post a Comment