Foto : Istimewa
Pakar hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo |
JAKARTA - Aparat penegak hukum perlu menerapkan keadilan restoratif berbasis pemulihan dalam menangani berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang marak. Usulan ini disampaikan pakar hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo, di Jakarta, Jumat (26/11).
"Pada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tidak selesai dengan menghukum pelaku. Sebab masih diperlukan proses pemulihan. Maka dari itu, sangat diperlukan keadilan restoratif," jelas Lidwina Inge Nurtjahyo.
Lidwina mengemukakan hal itu saat menjadi narasumber webinar bertajuk "Restoratif Justice dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak." Proses pemulihan tersebut, dapat berupa konseling, penguatan kapasitas diri korban, atau pelayanan medis. Melalui proses tersebut, penyintas dapat merasa aman untuk kembali bersosialisasi di luar rumah.
Dia memberi contoh kasus kekerasan rumah tangga (KDRT) di Timor Leste. Selain korban diberikan konseling untuk memulihkan trauma, juga dipertemukan dengan pelaku. "Dalam konteks KDRT di Timor Leste, waktu kami penelitian, kalau korban sudah cukup kuat, kemudian direncanakan bertemu pelaku," ujar Lidwina.
Jika menurut konselor pelaku telah berubah menjadi lebih baik, lanjutnya, dia diperbolehkan bertemu korban yang merupakan istrinya. Selanjutnya, keduanya difasilitasi untuk berdialog dan membahas penyebab kekerasan. "Ternyata, ini proses pemulihan juga bagi korban. Mereka bilang tidak takut lagi bertemu pelaku," tambah Lidwina.
Namun, Lidwina menegaskan jika kasus yang dihadapi kekerasan seksual di antara pelaku dan korban bukan pasangan suami-istri, tidak boleh mempertemukan pelaku dan korban. Dalam webinar yang diselenggarakan LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta itu, menurut Lidwina Inge Nurtjahyo, korban kekerasan seksual yang bukan istri pelaku lebih disarankan untuk pemulihan dari konselor ahli saja.
Untuk itu, dia mengusulkan agar dewan adat berlatih khusus menerapkan keadilan restoratif sehingga memiliki perspektif korban dan memahami prinsip-prinsipnya. "Berdasarkan penelitian di beberapa daerah, dewan adat memang perlu pelatihan khusus," jelas dia.
Dengan pelatihan khusus itu, kata dia, kekeliruan dalam penerapan keadilan restoratif pada penyelesaian perkara kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dari sudut pandang hukum adat dapat dicegah. Kekeliruan tersebut di antaranya tindakan menikahkan korban dan pelaku. Atau memberi uang ganti rugi kepada korban. Ada juga pelaku hanya dibebani denda adat.
Lidwina juga menekankanprinsip keadilan restoratif yang tepat berarti memberi peluang kepada korban untuk mulih. "Sebetulnya, prinsip keadilan restoratif memberi peluang korban memperoleh pemulihan. Sebaliknya, pelaku pun memperoleh kesempatan untuk memperbaiki diri," kata dia.
Satgas KDRT
Sementara itu, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat, Atalia Praratya Kamil, segera membentuk satuan tugas (Satgas) khusus untuk mencegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dengan begitu, kasus kekerasan terhadap perempuan tidak terus terulang.
"Kami berharap dengan dibentuknya satgas tersebut, dapat menekan angka KDRT di Jabar yang saat ini tercatat sebanyak 300 kasus. Ini yang sudah melaporkan. Entah berapa banyak yang tidak melapor," kata Atalia. Satgas KDRT akan dibentuk di tiap-tiap kabupaten/kota Jabar. Selanjutnya di tingkat RT/RW, sehingga saat ada laporan dapat langsung ditangani.
Bahkan, jauh hari, tambah dia, pihaknya sudah membentuk tim khusus hingga tingkat desa. Tim ini akan diaktifkan kembali seiring masih tingginya angka KDRT di tiap wilayah agar penanganannya tuntas.
"Kami juga mengimbau seluruh warga Jabar, untuk sama-sama menjadi pengawas karena ini tugas bersama, tidak hanya satgas atau tim khusus. Segera melapor jika mendapati KDRT di tempat tinggalnya," katanya.
0 comments:
Post a Comment