Maulid
Nabi adalah hari untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh pada
tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah. Di Indonesia, maulid sudah ada
sejak era Walisongo dengan nama perayaan Syahadatain atau Sekaten. Perayaan
tersebut dilakukan demi menarik hati masyarakat memeluk agama Islam.
Hingga
saat ini, tradisi atau upacara untuk memperingati kelahiran sang Nabi tetap dilakukan
di berbagai daerah di Indonesia. Tradisi atau upacara tersebut telah
berlangsung secara turun-temurun dan telah menjadi tradisi yang berakulturasi
dengan adat budaya setempat. Ini merupakan dialektika agama dan budaya yang
berjalan beriringan.
Meskipun
berbeda dalam bentuk perayaannya, pada hakikatnya tradisi maulid tidak hanya
sekadar seremonial belaka. Selain untuk penghormatan atas kelahiran Nabi
Muhammad SAW, tradisi perayaan maulid di berbagai daerah juga mengandung makna
filosofis substantif yang berkenaan dengan pendidikan karakter bangsa.
Nabi
Muhammad SAW sebagai teladan umat telah mengajarkan manusia agar menjadi
pribadi dan masyarakat beradab. Masyarakat beradab ditandai dengan pola
masyarakat yang berkarakter luhur atau mulia dan selalu berlandaskan pada
prinsip-prinsip moral. Tradisi maulid di berbagai daerah di Indonesia juga mencerminkan
nilai-nilai luhur yang menjadi penguat karakter bangsa.
Apalagi
saat ini, masyarakat Indonesia seolah-olah telah kehilangan karakter. Berbagai
perilaku amoral, tindakan anarkis dan perilaku koruptif menjadi bulan-bulanan media.
Bangsa ini seolah-olah kehilangan tuntunan.
Tradisi
maulid di berbagai daerah yang sarat nilai dan filosofi seharusnya menjadi
referensi untuk mengembalikan jati diri bangsa yang mulai rapuh karena berbagai
perilaku amoral. Nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya penting
untuk disosialisasi dan terinternalisasi dengan baik dalam kehidupan
masyarakat.
Jiwa Gotong Royong
Tradisi
Endog-endogan yang merupakan tradisi
masyarakat adat Banyuwangi di Jawa Timur
dalam memperingati Maulid Nabi sarat dengan nilai dan kearifan lokal
yaitu semangat gotong royong dan saling tolong menolong antar warga.
Tradisi
Endog-endogan ini sudah berlangsung
sejak puluhan tahun yang lalu. Kata endog
dalam bahasa Osing Banyuwangi berarti telur. Ada filosofi yang terkandung dalam
tradisi Endog-endogan ini. Telur
sebagai simbol terdiri dari tiga lapis, yakni kulit diibaratkan sebagai lambing
keislaman, putih telur sebagai lambing keimanan, dan kuning telur melambangkan
keihsanan.
Dalam
tradisi ini telur dihias dengan menarik, dan ditancapkan ke batang pisang (jodang) yang juga telah dihias. Satu jodang biasanya terdapat lebih kurang 50
telur yang masing-masing telah ditempatkan sebuah wadah kecil yang menarik.
Ribuan telur yang telah ditancapkan di batang pohon pisang tersebut lalu diarak
keliling kampung. Saat mengarak telur, warga akan melantunkan shalawat sebagai
bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW.
Acara
ini juga berlanjut dengan kegiatan makan bersama dalam nampan ancak (nampan dari daun pisang. Satu ancak yang berisi nasi
dan lauk pauk dimakan oleh 4-5 orang. Keguyuban pun langsung terasa saat semua
berbaur bersama-sama memakan hidangan tersebut.
Tradisi
Maulid Nabi masyarakat Aceh yang dinamakan dengan tradisi Mauripee juga mencerminkan semangat gotong royong warga. Mauripee merupakan bahasa Aceh yang
berarti iuran/patungan/kerjasama.
Seluruh warga menyiapkan secara gotong royong mulai dari pembelian sapi serta
keperluan lainnya untuk dimasak hidangan khas Maulid yaitu menu kuah beulangong.
Kuah beulangong adalah makanan khas Aceh
berupa kuah merah sejenis gulai yang menggunakan daging sapi atau kambing dan
nangka muda. Makanan ini disebut kuah beulangong
karena proses memasaknya menggunakan belanga atau kuali besar yang dalam bahasa
Aceh disebut beulangong.
Tradisi
Panjang Mulud bagi masyarakat Banten
tak luput dari semangat untuk memelihara sikap gotong royong masyarakat. Pelaksanaan
Panjang Mulud melibatkan warga yang
mampu dan warga yang kurang mampu untuk bergotong royong secara kolektif
menyumbang dan saweran dalam membuat hiasan Panjang
Mulud. Hiasan Panjang Mulud yang
berupa tajug, kubah, kapal dan sebagainya, umumnya berisi telur hias dan
sembako yang akan diarak dan dibagikan kepada masyarakat setempat.
Peduli Sesama
Tradisi
Bungo Lado dalam perayaan Maulid Nabi
SAW bagi masyarakat Minangkabau khususnya Kabupaten Padang Pariaman, memiliki
aspek kepedulian sesama. Bungo Lado
yang berarti bunga cabai, merupakan pohon hias yang berdaunkan uang atau yang
biasa disebut juga pohon uang. Setiap kelompok masyarakat saling berlomba untuk
menyumbangkan sebagian dari penghasilannya untuk disumbangkan dengan cara
menghiaskan uang sumbangan tersebut ke sebuah ranting. Selanjutnya, Bungo Lado diarak menuju salah satu
masjid atau surau. Uang tersebut nantinya akan disumbangkan untuk masjid dan
kegiatan keagamaan lainnya.
Tradisi
Maulid yang disebut Keresan di Dusun
Mengelo, Kabupaten Mojokerto juga menjadi ajang saling berbagi warga setempat. Keresan adalah tradisi berebut buah,
sayur, sandal, sepatu, kopyah, hingga baju dan barang-barang lainnya yang
digantungkan di pohon keres. Berbagai hadiah yang dipasang di pohon keres
merupakan hasil iuran warga Mengelo dan juga sumbangan dari para pengusaha
rumahan yang ada di dusun tersebut.
Tradisi
Walima masyarakat Gorontalo untuk
merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW tak luput dari nilai sosial yang tinggi.
Warga secara sukarela mempersiapkan acara Walima dan membuat kue khas Gorontalo
seperti kolombengi, curuti, buludeli, wapili, dan pisangi dalam jumlah banyak kemudian
disusun membentuk bangunan seperti rumah atau masjid.
Kue Walima tersebut diarak keliling kota
menuju masjid terdekat. Setelah memanjatkan shalawat dan doa, kue Walima tadi kemudian dibagikan kepada
warga untuk dibawa pulang.
Menjaga Kerukunan
Tradisi
Sekaten yang merupakan warisan budaya
suku Jawa dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW memiliki fungsi sosial
bagi masyarakat, salah satunya sebagai ajang interaksi sosial masyarakat. Sekaten dapat dirasakan semua kalangan tanpa
memandang status sosial.
Dengan
adanya Sekaten, masyarakat berkumpul
dengan rasa solidaritas dan perdamaian. Tentunya dengan Sekaten mampu mempersatukan setiap individu yang datang dalam
perayaan tersebut.
Tradisi
Maudu’ Lompoa yang merupakan tradisi
Maulid Nabi masyarakat di Sungai Cikoang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan juga
memiliki filosofis yang dalam. Maudu’
Lompoa bukan hanya sekadar tradisi yang dilaksanakan untuk memperingati
hari lahir Nabi Muhammad SAW, namun juga sebagai ajang silaturahmi bagi
masyarakat setempat.
Dalam
perayaan ini, warga Cikoang dan sekitarnya mengarak Julung-Julung (replika perahu Pinisi) yang dihias beraneka ragam
kain sarung dan dipamerkan di tepi sungai Cikoang. Prosesi arak-arakan julung-julung ini disebut angngantara’ kanre maudu atau mengantar
persiapan maulid ke lokasi Maudu’ Lompoa.
Di
dalam kapal-kapal itu terdapat berbagai macam bahan pokok mulai dari telur yang
juga diwarnai berbagai macam warna, serta hasil bumi dari wilayah sekitar
Kabupaten Takalar. Aneka sesaji juga dihadirkan sebagai pengisi julung-julung
seperti bakul besar yang terbuat dari anyaman daun lontar atau biasa disebut
“Baku Maudu” oleh warga setempat. Dimana di setiap bakul diisi oleh nasi pamatara atau nasi setengah matang yang
dilengkapi dengan lauk ayam kampung. Julung-julung
ini nantinya akan dibagikan kepada semua orang yang menghadiri acara Maudu
Mompoa ini.
Dengan
memahami nilai-nilai luhur yang ada pada tiap tradisi Maulid Nabi di berbagai
daerah di Indonesia, sudah semestinya keunikan khas tradisi bangsa tersebut
perlu dijaga dan diwariskan secara turun temurun. Peringatan Maulid Nabi bukan
hanya menjalankan tradisi yang baik dengan nilai-nilai keislaman yang banyak
terkandung di dalamnya, namun juga bagaimana perayaan Maulid Nabi tersebut
dapat menjadi wahana untuk menanamkan pendidikan karakter.
Oleh : Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum
0 comments:
Post a Comment