JAKARTA ( KONTAK BANTEN) - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah
mengumumkan biaya haji 2023 sebesar Rp 69.193.733 per orang. Atau naik
lebih dari Rp 30 juta, dibanding biaya haji 2022 yang hanya Rp 39,8
juta.
Sementara pemerintah Arab Saudi, justru menurunkan biaya paket layanan haji 1444 H, sekitar 30 persen dari harga tahun 2022.
Bagaimana mungkin, pemerintah berencana menaikkan biaya haji 2023, tetapi Arab Saudi justru menurunkan biaya paket layanan haji?
Terkait hal ini, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief
mengatakan, penurunan biaya paket haji yang diumumkan Saudi, sudah
diperhitungkan dalam usulan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)
1444 H/2023 M yang disusun pemerintah.
"Yang diturunkan oleh pemerintah Arab Saudi adalah paket layanan haji.
Yang meliputi layanan dari 8-13 Zulhijjah di Arafah, Muzdalifah, dan
Mina atau yang biasa disebut juga dengan Armuzna atau Masyair," kata
Hilman, Sabtu (21/1).
Untuk warga domestik, pemerintah Arab Saudi menawarkan empat paket layanan Masyair tahun 1444 H/2023 M sebagai berikut:
1. Mulai 10,596 - 11,841 riyal Arab Saudi (sekitar Rp 43 juta - Rp 48 juta)
2. Mulai 8,092 - 8,458 riyal Arab Saudi (sekitar Rp 33 juta - Rp 34,5 juta)
3. Mulai 13,150 riyal Arab Saudi (sekitar Rp 53,6 juta)
4. Mulai 3,984 riyal Arab Saudi (sekitar Rp 16 juta). Paket ini tidak
mencakup layanan di Mina (hanya akomodasi dan konsumsi di Arafah dan
Muzdalifah).
“Itulah yang disebut paket layanan haji yang ditangani oleh Syarikah
atau perusahaan di Saudi. Harganya pada tahun lalu karena alasan
pandemi, naik sangat signifikan. Tahun ini, alhamdulillah diturunkan,"
jelas Hilman.
"Jadi, terkait paket layanan haji di Masyair, hitungan dalam usulan BPIH
pemerintah juga turun. Kisarannya juga 30 persen. Itu sangat
signifikan,” tegasnya.
Hilman membeberkan, tahun lalu, paket layanan haji (Masyair) 2022 mencapai 5.656,87 riyal Arab Saudi.
"Alhamdulillah, tahun ini selain turun, Kemenag berhasil negosiasi
hingga ke angka 4.632,87 riyal Arab Saudi. Atau turun 30 persen sebesar
1.024 riyal Arab Saudi," sambungnya.
Jadi, dalam usulan BPIH tahun ini, kata Hilman, pemerintah sudah melakukan penyesuaian harga. Sesuai yang ditetapkan Saudi.
Namun, Kementerian Agama tetap mempertahankan kualitas layanan bagi jemaah di Masyair.
“Kepada perusahaan penyedia layanan, kami tetap meminta komitmen agar
menjaga kualitas layanan kepada jemaah haji. Dengan harga yang
ditetapkan pemerintah Saudi," pesan Hilman.
Untuk diketahui, komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tidak hanya mencakup paket layanan haji.
Komponen biaya haji yang diusulkan pemerintah kepada DPR itu juga
mencakup layanan akomodasi, konsumsi, dan transportasi selama di Arab
Saudi. Baik Jeddah, Makkah, maupun Madinah.
"Di luar Masyair, masa tinggal jemaah sekitar 30 hari, baik di Makkah
maupun Madinah. Ini kita siapkan semua layanannya," papar Hilman.
Selain itu, penyusunan usulan BPIH juga memperhatikan komponen kurs dolar Amerika Serikat (USD) dan kurs riyal Arab Saudi (SAR).
Dalam usulan itu, asumsi yang digunakan adalah Rp15.300 untuk kurs 1 dolar Amerika Serikat (AS) dan Rp 4.080 untuk kurs 1 riyal Arab Saudi.
Tahun 2022, kurs riyal yang digunakan adalah Rp 3.846. Sedangkan kurs dolar AS tahun 2022 adalah Rp14.425.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah komponen pesawat. Sebab, ini sangat bergantung pada harga avtur.
“Usulan pemerintah terkait BPIH 1444 H itu belum final. Terbuka untuk
dibahas bersama dengan Komisi VIII DPR. Semoga, kita bisa mendapatkan
rumusan yang paling pas terkait biaya haji tahun ini,” ucap Hilman.
Kenapa Bipih Naik?
Kementerian Agama mengusulkan BPIH 2023 naik Rp 514.888,02 dibanding 2022.
Rata-rata BPIH yang diusulkan tahun ini adalah Rp 98.893.909,11. Sementara rerata BPIH 2022 ada di angka Rp 98.379.021,09.
Lantas, kenapa Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibayar jemaah dalam usulan pemerintah justru naik?
Hilman menjelaskan, kenaikan itu terjadi karena adanya perubahan skema prosentase komponen Bipih dan nilai manfaat.
Dalam hal ini, pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan komposisi 70 persen Bipih dan 30 persen nilai manfaat.
"Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus habis," terang Hilman Latief di Jakarta, Sabtu (21/1).
Sejak 2010 hingga 2022, pemanfaatan dana nilai manfaat terus mengalami peningkatan.
Pada 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang
diberikan ke jemaah hanya Rp 4,45 juta. Sementara Bipih yang harus
dibayar jemaah sebesar Rp.30,05 juta.
Komposisi nilai manfaat pada 2010 hanya 13 persen, sementara Bipih 87 persen.
Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi nilai manfaat terus membesar
menjadi 19 persen (2011 dan 2012), 25 persen (2013), 32 persen (2014),
39 persen (2015), 42 persen (2016), 44 persen (2017), 49 persen (2018
dan 2019).
Karena Arab Saudi menaikkan layanan biaya Masyair secara signifikan
jelang dimulainya operasional haji 2022 (jemaah sudah melakukan
pelunasan), penggunaan dan nilai manfaat naik hingga 59 persen.
"Kondisi ini sudah tidak normal. Harus disikapi dengan bijak," ujar Hilman.
Nilai manfaat, bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan
Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Karena itu, nilai manfaat adalah
hak seluruh jemaah haji Indonesia. Termasuk, lebih dari 5 juta orang
yang masih menunggu antrean berangkat.
Mulai sekarang dan seterusnya, nilai manfaat harus digunakan secara berkeadilan guna menjaga keberlanjutan.
"Tentu kami juga mendorong BPKH untuk terus meningkatkan investasinya,
baik di dalam maupun luar negeri pasca pandemi Covid-19 ini. Sehingga,
kesediaan nilai manfaat bisa lebih tinggi lagi," tambahnya.
Jika komposisi Bipih dan nilai manfaat tidak proporsional, maka nilai
manfaat akan cepat tergerus dan tidak sehat untuk pembiayaan haji jangka
panjang.
"Jika komposisi Bipih 41 persen dan nilai manfaat 59 persen
dipertahankan, nilai manfaat cepat habis. Padahal, jamaah yang menunggu
5-10 tahun akan datang, juga berhak atas nilai manfaat," beber Hilman.
"Mungkin usulan ini tidak populer, tapi Pak Menteri melakukan ini demi melindungi hak nilai manfaat seluruh jemaah haji. Sekaligus menjaga keberlanjutannya," tegas Hilman.
"Ini usulan pemerintah untuk dibahas bersama Komisi VIII DPR. Kita tunggu kesepakatannya. Semoga menghasilkan komposisi paling ideal! Amin," tandasnya.
0 comments:
Post a Comment