Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis Dakwah Nuansa Islam Mahasiswa (SALAM) UI 22)
Pemilihan
umum (Pemilu) seringkali dimaknai sebagai pesta demokrasi. Pemilihan
umum menjadi bagian penting sebagai standar dan/atau kriteria awal
apakah sebuah negara dikategorikan demokratis atau non-demokratis.
Syarat negara demokratis, yang di dalamnya termasuk adanya pergantian
pemimpin secara berkala, menuntut untuk perlu diadakan pemilihan umum
secara rutin dalam kurun waktu tertentu pula. Namun sebenarnya, momentum
pemilihan umum dapat dimaknai lebih dari sekadar memilih dan/atau
merotasi pemimpin. Pemilu adalah salah satu langkah awal dalam upaya
melakukan transformasi dan perbaikan secara struktural demi tercapainya
tujuan-tujuan mulia berbangsa dan bernegara menggunakan instrumen
kekuasaan rakyat. Sejalan dengan hal itu, jika dikaitkan dengan konteks
keumatan Islam, maka pemilihan umum harus dijadikan momentum untuk
melakukan evaluasi, sekaligus upaya pembenahan dan perbaikan, serta
perubahan ke arah yang lebih baik, khususnya bagi kepentingan dan
aspirasi umat Islam.
Kajian
ini bermaksud untuk memberikan pemahaman secara kompleks dan menyeluruh
mengenai pentingnya memandang pemilihan umum sebagai upaya untuk
mewujudkan kemaslahatan umum, di samping adanya kewajiban agama dalam
memilih pemimpin yang baik sesuai anjuran Al-Quran dan Sunnah. Maka dari
itu, dalam kajian ini, dijelaskan terlebih dahulu konsep demokrasi yang
mulanya memang muncul di negara-negara Barat. Seiring perkembangan,
demokrasi sebagai sebuah nilai dan sistem masuk ke negara-negara Muslim,
dan mendapat respons dari kalangan intelektual Muslim di dunia, tak
terkecuali di Indonesia. Penerimaan atas demokrasi di beragam negara,
termasuk Indonesia, memunculkan satu norma baru yang harus dijalankan
oleh semua negara yang menyatakan dirinya “demokrasi”, yaitu memilih
pemimpin melalui mekanisme pemilihan umum. Selanjutnya, dimuat secara
singkat sejarah pemilihan umum di Indonesia dan pertautannya dengan
kepentingan umat Islam. Selain itu, dipaparkan pula alasan-alasan yang
mendasari pentingnya berpartisipasi dalam Pemilu bagi umat Islam. Kajian
ini akan sampai pada sebuah kesimpulan yang menyatakan, bahwa
berdasarkan hubungan antara kewajiban memilih pemimpin dan upaya
artikulasi kepentingan umat sekaligus mewujudkan kemaslahatan umum, maka
turut serta dalam pemilihan umum (memilih/mencoblos) dirasa sangat
penting dan diperlukan adanya.
KONSEP DEMOKRASI BARAT
Demokrasi,
sebuah kata yang sering sekali muncul, ketika seseorang membicarakan
perihal hukum, politik, sosial budaya, maupun pemerintahan. Dalam
konteks pemerintahan, sekarang ini demokrasi telah menjadi gagasan yang
sangat terkenal di seluruh dunia. Kebanyakan rezim berusaha menyatakan
dirinya demokrasi, dan rezim yang tidak demokratis pun seringkali
bersikeras menyatakan, bahwa keadaan khusus mereka yang tidak demokratis
itu merupakan suatu tahap yang penting untuk akhirnya sampai pada
“demokrasi”.1 Maka dari itu, seiring perkembangannya, kita mengenal
beragam istilah demokrasi dengan beragam penerjemahannya pula, seperti
Demokrasi Konstitusional, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Kerakyatan,
Demokrasi Soviet, Demokrasi Sosialis, Demokrasi Liberal, Demokrasi
Pancasila, dan sebagainya.
Secara bahasa, demokrasi berarti kekuasaan oleh rakyat, berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan).
Secara historis, istilah demokrasi dan pelaksanaannya telah ada sejak
abad ke-5 SM, yang pada awalnya muncul sebagai reaksi terhadap
pengalaman buruk atas monarki dan kediktatoran di negara-kota (polis) Yunani
Kuno.2 Dalam pandangan Robert A. Dahl, bentuk pemerintahan rakyat yang
terjadi di Yunani Kuno adalah suatu transformasi demokrasi pertama, saat
warga negara merasakan sebagai orang-orang yang setara, dan sama-sama
berdaulat dalam memerintah dan menjalankan roda pemerintahan. Demokrasi
yang pertama itu adalah demokrasi yang kecil ruang lingkupnya, berbentuk
demokrasi langsung, dengan pengertian tidak mengenal demokrasi
perwakilan.3 Dalam perkembangannya, demokrasi langsung bertransformasi
menjadi demokrasi perwakilan karena adanya pergeseran lokus dari yang
awalnya demokrasi terjadi di negara-kota menuju kawasan bangsa atau
negara yang jauh lebih luas. Konsep perwakilan yang asal-usulnya
merupakan sesuatu yang tidak demokratis, telah diambil sebagai unsur
yang sangat penting dari demokrasi modern.4
Hampir
serupa dengan demokrasi awal di Yunani Kuno, sehingga terlihat seperti
pengulangan sejarah, ide-ide demokrasi modern mengemuka sebagai respons
terhadap monarki absolut Abad Pertengahan yang dikuasai oleh gereja
(teokrasi). Di masa ini, ide demokrasi modern berkembang seiring dengan
adanya ide sekularisme yang diprakarsai oleh Machiavelli, ide kontrak
sosial oleh Thomas Hobbes, gagasan tentang konstitusi negara dan
liberalisme, serta pemisahan kekuasaan oleh John Locke, yang
disempurnakan oleh Mostesquieu yang idenya mengenai pemisahan kekuasaan
menjadi lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta ide-ide
tentang kedaulautan rakyat dan kontrak sosial yang dikenalkan oleh J.J.
Rousseau.5 Pada hakikatnya, semua gagasan itu merupakan usaha untuk
mendobrak dasar dari pemerintahan absolut, dan menetapkan hak-hak asasi
sekaligus politik rakyat.6 Hal ini menunjukkan, bahwa demokrasi
didefinisikan dalam pengertian yang lebih menekankan aspek filosofis,
yakni ide kedaulatan rakyat sebagai antitesis dari kedaulatan Tuhan
(gereja), dan kekuasaan rakyat sebagai lawan dari kekuatan monarki.
Gagasan bahwa manusia memiliki hak-hak politik dan kebebasan, akhirnya
menimbulkan dua revolusi besar dunia, yaitu revolusi Amerika (1776) dan
Revolusi Perancis (1789), yang membawa perkembangan demokrasi pada
bentuk dan pencapaian seperti sekarang ini.7
Memasuki
abad ke-20, demokrasi coba diarahkan dan dirumuskan sebagai sebuah
sistem politik, sehingga terkesan pemaknaannya lebih pragmatis, yaitu
meliputi unsur-unsur kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang
bebas dan bertanggung jawab. Hal ini nampak dari pengertian demokrasi
yang dirumuskan oleh International Commision of Jurist, bahwa sistem politik yang demokratis adalah: “a
form of government where citizens exercise the same right (the right to
make political decisions), but through representatives chosen by them
and responsible to them through the process of free elections”. Inilah
yang dinamakan demokrasi berdasarkan perwakilan atau “demokrasi
perwakilan”.8 Pengertian ini hampir sejalan dengan pengertian dari
Philippe Schmitter dan Terry L. Karl yang menjelaskan bahwa demokrasi
politik adalah: “suatu sistem pemerintahan di mana
pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka di wilayah
publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui
kompetisi dan kerja sama para wakil mereka yang terpilih”.9
Istilah
demokrasi juga dianggap sebagai kata yang mengimplikasikan nilai-nilai,
perjuangan untuk kebebasan, dan jalan hidup yang lebih baik. Demokrasi
bukan hanya persoalan metode kekuasaan atas dasar suara mayoritas,
melainkan suatu gaya hidup serta tata masyarakat tertentu yang
mengandung unsur moral, di antaranya yaitu: nilai persamaan, nilai
kebebasan, dan penghargaan terhadap pluralitas yang semuanya dibingkai
dalam satu term, “Hak Asasi Manusia” (HAM).10 Meskipun dalam
tataran operasional, konsep dan nilai dilaksanakan secara beragam
bentuknya tergantung kondisi sosial budaya masyarakat di suatu negara.
Robert Dahl memberikan tujuh kriteria yang harus ada dalam sistem yang demokratis, yaitu:11
- Para pejabat yang dipilih. Kontrol dan pengawasan atas keputusan pemerintah mengenai kebijakan, secara konstitusional berada di tangan para pejabat yang dipilih;
- Pemilihan umum yang bebas dan adil. Para pejabat dipilih melalui pemilihan yang diselenggarakan dengan rutin, jujur, dan adil, tanpa adanya paksaan;
- Hak suara yang inklusif. Dapat dikatakan semua orang dewasa berhak memberikan suara dalam pemilihan para pejabat;
- Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan. Secara praktis, semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan di pemerintah, walaupun batasan umur untuk menduduki jabatan mungkin lebih ketat dari hak pilihnya;
- Kebebasan menyatakan pendapat. Warga negara berhak untuk menyatakan pendapat tanpa adanya bahaya hukuman yang kerasa mengenai masalah-masalah politik dalam arti luas, termasuk kritik terhadap para pejabat, pemerintah, rezim, tatanan sosial- ekonomi dan ideologi yang ada;
- Informasi Warga negara berhak mencari dan mendapatkan sumber informasi alternatif. Lagipula, sumber-sumber informasi alternatif itu ada dan dilindungi Undang- Undang;
- Otonomi asosiasional. Untuk mendukung hak-hak warga negara, termasuk hak-hak yang dinyatakan di atas, mereka juga mempunyai hak untuk membentuk asosiasi- asosiasi atau organisasi-organisasi yang relatif independen, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang
Kriteria-kriteria
yang disampaikan oleh Dahl, tidak berbeda jauh dengan nilai yang harus
ada dalam demokrasi seperti dirumuskan oleh Henry B. Mayo, yaitu: sistem
yang dibentuk mampu menyelesaikan perselisihan secara damai dan secara
melembaga (institusional); menjamin terselenggaranya perubahan secara
damai dalam suatu masyarakat yang berubah; menyelenggarakan pergantian
pemimpin secara berkala; membatasi pemakaian kekerasan; mengakui adanya
keberagaman; dan menjamin tegaknya keadilan.12 Selain itu, jika menilik
hasil konferensi dari International Commision of Jurist, maka
disebutkan pula, bahwa syarat-syarat dasar terbentuknya pemerintahan
demokratis adalah adanya perlindungan konstitusional, badan kehakiman
yang bebas, pemilihan umum yang bebas, kebebasan untuk menyatakan
pendapat, kebebasan untuk berserikat, dan adanya pendidikan
kewarganegaraan.13 Berdasarkan kriteria, nilai, maupun syarat
terbentuknya sistem yang demokratis sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya, maka ada satu hal yang selalu hadir dan tidak pernah absen,
yakni: pemilihan umum yang bebas dan adil. Pemilihan
umum menjadi instrumen penting dalam demokrasi karena berhubungan
langsung dengan kedaulatan rakyat. Maka dari itu, sebagai bentuk
operasionalisasi dari instrumen tersebut, setiap warga negara diberikan
hak untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil mereka di pemerintahan untuk
jangka waktu tertentu. Seperti yang telah disebut sebelumnya, pada
akhirnya inilah yang disebut sebagai demokrasi perwakilan14
(representasi).
RESPONS INTELEKTUAL ISLAM ATAS DEMOKRASI
Saat
ini, demokrasi telah menjadi istilah yang secara umum diterima dan
dipromosikan oleh hampir semua pemerintahan di dunia. Dalam konteks
Islam, demokrasi adalah satu istilah dan gagasan baru, meskipun
nilai-nilai universal yang terkandung dalam demokrasi sebagian besar
telah terangkum dalam ajaran Islam. Maka dari itu, ketika memandang
“demokrasi” sebagai sebuah sistem yang asal muasalnya berasal dari
peradaban Barat, muncul beragam respons dari kalangan Muslim terkait hal
ini. Ada yang menerima sebagai pandangan hidup dan keharusan sejarah.
Ada yang mengkritisi. Dan ada juga yang menolaknya mentah-mentah, baik
istilah maupun konsepnya. Respons intelektual Muslim atas demokrasi
dibahas secara mendalam oleh Prof. Masykuri Abdillah, dalam disertasi
doktornya di Departemen Sejarah dan Kebudayaan Timur Tengah Universitas
Hamburg, yang berjudul “Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy (1966-1993). Berdasarkan
hasil penelitiannya, Masykuri menyatakan bahwa intelektual Muslim di
Indonesia cenderung menerima dan bahkan mendukung sistem demokrasi
sebagai sesuatu yang harus dipraktikkan dalam masyarakat Islam. Hal ini
berbeda dengan respons dari intelektual Muslim di luar Indonesia yang
masih seringkali mempertanyakan dan memperdebatkan sistem demokrasi
dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara.15 Berdasar pada penerimaan
atas istilah dan konsep demokrasi ini, maka pemilihan umum dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan, dan memilih pemimpin melalui
prosedural pemilu dianggap sebagai konsekuensi logis yang hasilnya
harus tetap diarahkan pada kepentingan umat Islam secara menyeluruh.
Beberapa
ulama, intelektual, dan aktivis memang secara terang menyatakan
keharaman atas penggunaan istilah dan konsep demokrasi. Demokrasi dengan
penitikberatan utama pada kedaulatan rakyat, termasuk di dalamnya
perihal pemilihan pemimpin melalui prosedur suara terbanyak, dipandang
meniadakan kedaulatan Allah atas manusia. Istilah demokrasi pun tidak
berasal dari kosakata Islam sehingga tidak layak untuk digunakan.
Pendapat ini dikemukakan oleh Hafizh Shalih16 dan Adnan Ali Ridha17.
Dalam cakupan yang lebih luas, kelompok Hizbut Tahrir dan sebagian
Salafi secara lantang menyuarakan penolakan terhadap demokrasi. Hizbut
Tahrir dalam kitab karya Abdul Qadim Zallum yang berjudul Al-Dimuqratiyyah Nizham Kufr:
Yahramu Akhdzuha aw Tathbiquna aw Ad-Da’watu Ilaiha (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Demokrasi Sistem Kufur: Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya), menyimpulkan
bahwa demokrasi yang dijajakan oleh barat adalah sistem kufur, dan kaum
muslimin haram mengambil dan menyebarluaskannya maupun mendirikan
partai-partai berdasarkan demokrasi.18 Sikap Hizbut Tahrir berbeda
dengan Ikhwanul Muslimin dan berbagai kelompok Islam lain yang menerima
demokrasi secara kritis.19 Perbedaan pemaknaan atas demokrasi ini
berimplikasi pada ranah praktik yang dilakukan masing-masing kelompok,
dimana Hizbut Tahrir dan Salafi cenderung menolak untuk ikut serta dalam
pemilihan umum, sementara Ikhwanul Muslimin ikut ambil bagian dalam
perebutan suara di pemilihan umum. Dalam pandangan lain, sebagian
intelektual Muslim menerima istilah demokrasi dengan modifikasi tertentu
sesuai dengan ajaran Islam, di antaranya adalah Hamid Enayat, Fazrul
Rahman, Muhammmad Asad, dan Javid Iqbal. Pandangan Muhammad Asad
contohnya, menyatakan bahwa Majelis Legislatif (Syura) -DPR di
Indonesia- harus benar-benar mewakili seluruh komunitas, baik laki-laki
maupun perempuan. Begitu pula pendapat Javid Iqbal20 yang menekankan
pentingnya pemilihan pemimpin yang sesuai dengan
prinsip Islam dan memperhatikan implementasi syariah di dalam
penyelenggaraan negara. Perspektif lain menyatakan, bahwa konsep
nilai-nilai demokrasi telah tercantum dalam beberapa ayat Al-Quran dan
Sunnah yang menetapkan pentingnya musyawarah dan pemilihan pemimpin
berdasarkan bai’at dari umat.
Namun
begitu, tetap terdapat beberapa telaah kritis dari intelektual dan
pakar Islam atas hubungan antara Islam dan demokrasi. Salah satunya
dikemukakan oleh Prof. Hasbi as- Shiddieqy, pakar hukum Islam, dalam
bukunya berjudul Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Ia menyebut, bahwa ada sejumlah perbedaan antara Islam dan demokrasi, yaitu: Pertama,
dari segi rakyat. Demokrasi modern, rakyat dibatasi oleh batas-batas
geografis yang hidup dalam suatu negara, tetapi dalam Islam yang pokok
adalah kesatuan akidah. Kedua, tujuan demokrasi barat adalah
maksud keduniaan, atau tujuan material belaka. Hal ini berbeda dengan
tujuan kenegaraan dalam Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Khaldun:
“Imamah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan
dunia yang kembali pada kemaslahatan akhirat, karena segala kemaslahatan
dunia dalam pandangan syarak harus disesuaikan dengan segala kemaslahatan akhirat”. Ketiga, kekuasaan
rakyat dalam demokrasi barat adalah mutlak. Dalam Islam, kekuasaan
rakyat dibatasi dengan aturan-aturan Islam yang bersumberkan kepada
Al-Quran dan Sunnah.21
Intelektual
Muslim di Indonesia mayoritas telah menerima kriteria dasar demokrasi,
berupa pemerintahan mayoritas, partisipasi politik rakyat, pemilihan
yang bebas, dan akuntabilitas. Namun masih terdapat perbedaan pendapat
apabila masuk ke ranah filosofis, seperti hakikat kedaulatan rakyat vis a vis kedaulatan
Allah. Hal ini menunjukkan, bahwa Muslim di Indonesia cenderung
menerima demokrasi dari arti prosedural dan organisatoris, tidak dalam
arti filosofis, karena hampir semua tetap mengakui supremasi syariah
sebagai standar norma kehidupan Muslim dalam berbangsa dan bernegara.
Maka dari itu, ketika dihadapkan pada fenomena pemilihan umum secara
langsung yang sifatnya prosedural, umat Muslim Indonesia tidak
mempermasalahkan hal tersebut, justru memanfaatkannya sebagai momentum
untuk memasukkan kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai upaya
mewujudkan kemaslahatan bagi umat.
Secara umum, dukungan terhadap demokrasi oleh kalangan Islam didasari atas dua hal utama, yakni pertama, nilai-nilai demokrasi sejalan dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama prinsip musyawarah. (QS. Ali Imran: 159 dan QS. Asy-Syura: 38). Kedua,
sistem demokrasi merupakan cara yang tepat untuk mengartikulasikan
aspirasi Islam, karena umat Islam adalah terbanyak di Indonesia22, sedangkan demokrasi mengandung aspek pemerintahan mayoritas.23 Selain itu, mereka juga memperkuat dukungan terhadap demokrasi dengan mendasarkan pada aspek historis di masa Nabi dan al-Khulafa’ al-Rasyidin.
PENTINGNYA PEMILIHAN UMUM BAGI UMAT ISLAM
Berdasarkan
uraian yang telah dijelaskan dengan singkat tentang demokrasi dan
respons intelektual Muslim di dunia dan Indonesia terhadapnya, maka
dapat ditarik satu kesimpulan, bahwa dalam konteks Indonesia, demokrasi
telah diterima sebagai sebuah praktik yang umum. Maka dari itu,
pemilihan umum menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah negara yang
menerapkan sistem demokrasi, termasuk Indonesia. Negara yang menyatakan
dirinya demokratis wajib mengadakan pemilihan umum untuk memilih
pemimpin secara rutin, dan harus berlandaskan pada asas pemilu
demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Semenjak awal kemerdekaan di tahun 1945, Indonesia telah melaksanakan
sebanyak 11 kali Pemilu dengan rincian sebagai berikut: 1. periode
1945-1967, Pemilu digelar satu kali (tahun 1955); 2. Periode 1967-1998
diadakan sebanyak enam kali (tahun 1971, 1977, 1982,
1987,
1992, dan 1997): 3. Periode 1999-2014 diselenggarakan empat kali (tahun
1999, 2004, 2009, 2014), dan dalam waktu dekat akan segera dihelat
Pemilu yang kelima semenjak masa reformasi (April 2019). Dari Pemilu
yang sebanyak itu, penyelenggaraan Pemilu di Indonesia dari masa ke masa
memiliki perbedaan satu sama lain, tergantung model kepemimpinan dari
pemimpin yang berkuasa. Dari Pemilu yang sebanyak itu pula, umat Islam
telah turut serta menyemarakkan pesta demokrasi di negeri ini, baik
sebagai peserta Pemilu dengan cara membentuk partai politik, ataupun
sekadar menjadi pemilih yang suaranya diperebutkan oleh peserta. Dalam
konteks Pemilu 2019 ini, umat Islam bukan hanya dihadapkan pada pemilihan perwakilan di Dewan Perwakilan, melainkan juga pemilihan pemimpin negara secara langsung untuk yang keempat kalinya, setelah Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014.
Terdapat
beberapa argumentasi teologis maupun logis pentingnya partisipasi
politik umat Islam dalam konteks demokrasi di Indonesia, khususnya
Pemilu, yang akan dimuat dalam uraian singkat di bawah ini, di
antaranya:
a. Kewajiban Umat Islam untuk Memilih dan Mengangkat Pemimpin
Berdasarkan kitab klasik berjudul Al-Ahkaamus-sulthaaniyyah wal wilaayaatud- diiniyyah karangan Imam al-Mawardi (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam),
disebutkan bahwa Allah SWT telah menggariskan kepada umat untuk memilih
pemimpin yang menjadi pengganti dan pelanjut fungsi kenabian, menjaga
terselenggaranya ajaran agama, memegang kendali politik, membuat
kebijakan yang dilandasi syariat Islam ataupun tidak bertentangan
dengannya, dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan) dan Imarah adalah
dasar bagi terselenggaranya ajaran-ajaran Islam dan pangkal bagi
terwujudnya kemaslahatan umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi
aman dan sejahtera. Maka dari
itu,
pengangkatan dan pemilihan pemimpin (kepala negara) untuk memimpin umat
adalah wajib menurut ijma. Akan tetapi, dasar kewajiban itu
diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau syariat.24 Jika
argumentasi didasarkan pada syariat, maka terdapat ayat al-Quran yang
seringkali dikutip oleh para ulama tentang pentingnya kepemimpinan,
yaitu surat an-Nisaa’ ayat 59 yang memiliki arti:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu…..” (a-Nisaa’: 59).
Ayat
di atas menerangkan, bahwa setiap Muslim perlu untuk menaati pemimpin
yang telah diangkat, dipilih, atau ditunjuk di antara mereka selama
masih menjalankan kepemimpinan berdasar tuntunan dan ajaran agama.
Selain itu, disebutkan pula oleh al-Mawardi, bahwa kepemimpinan atau kekuasaan lahir dari bai’at yang
mensyaratkan adanya akad (kontrak) antara pemimpin dan dewan pemilih25.
Dalam konteks masa kini, ketika hak untuk memilih ada di tangan seluruh
rakyat, bukan pada dewan pemilih, proses pemindahan atau penyerahan
kekuasaan dan otoritas kepada pemimpin adalah dalam rangka melakukan
akad. Berdasar pada kontrak inilah, pemimpin mendapat legitimasi dari
rakyat untuk memerintah dan berhak untuk ditaati oleh rakyat. Di samping
itu, pemimpin juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
terhadap rakyatnya, seperti memberikan perlindungan kepada mereka, dan
mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung
jawab.26 Dalam konsep teori politik barat, pandangan al- Mawardi ini
hampir serupa dengan John Locke tentang kontrak sosial yang dimuat dalam
bukunya berjudul Two Treatises of Government. Menurut Locke,
sebagai konsekuensi dari adanya kontrak sosial antara penguasa/pemimpin
di satu pihak dan rakyat di pihak lain, pemerintahan itu merupakan suatu
trust (amanah) sedangkan rakyat sebagai trustor dan sekaligus beneficiary (pemberi
amanah sekaligus kepentingannya sebagai yang diamanatkan).27 Hal ini
mampu menunjukkan, bahwa kepemimpinan yang wajib tadi harus dilegitimasi
oleh rakyat dalam bentuk akad yang diimplementasikan melalui
pencoblosan di Pemilu.
Menurut
jumhur ulama, membentuk negara, menyelenggarakan pemerintahan, dan
mengangkat kepala negara adalah wajib kifayah. Beberapa alasan yang
mendasari hal tersebut adalah dalam rangka melanjutkan kepemimpinan yang
telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW, menghindari bahaya dan
mencegah kemudharatan, serta melaksanakan berbagai kewajiban dan
mewujudkan keadilan yang sempurna dengan adanya pemerintahan yang
adil.28 Mempertimbangkan bahwa Pemilu merupakan momentum sekaligus upaya
untuk menegakkan kekuasaan ideal yang akan memperjuangkan kepentingan
umat, maka penting halnya untuk berpartisipasi aktif di dalamnya. Dengan
demikian, turut serta dalam Pemilu dapat dikategorikan wajib, meskipun
hukum awalnya mubah, karena ia menjadi sarana untuk menegakkan yang
wajib, yaitu memilih pemimpin. Sebagaimana kaidah fiqh: “Apabila
suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, tanpa adanya
sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya
menjadi wajib”.
Dalam
konteks Pemilu di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah
mengeluarkan fatwa atas wajibnya memilih pemimpin dalam Pemilu.29 Hal
ini tertuang dalam keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di
Padang Panjang pada 26 Januari 2009 / 29 Muharram 1430 H, yang
menyatakan sebagai berikut30:
- Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa;
- Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan Imamah dan Imarah dalam kehidupan bersama;
- Imamah dan Imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat;
- Memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, hukumnya adalah wajib;
- Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram.
Fatwa
MUI memang bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.31 Fatwa MUI tidak mengikat umat
secara keseluruhan, hanya mengikat bagi orang-orang maupun kelompok yang
memiliki kepentingan dengan fatwa MUI tersebut. Namun, kedudukan MUI
sebagai wadah ulama membuat fatwanya dapat dijadikan rujukan dan pedoman
tertentu bagi umat.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diperoleh satu kesimpulan, yaitu ikut serta dalam
Pemilu (memilih/mencoblos) menjadi sesuatu yang perlu dan penting untuk
dilaksanakan oleh umat Islam, termasuk umat Islam di negara Indonesia
yang mengadopsi praktik demokrasi.
b. Partisipasi Politik sebagai Manifestasi dari al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an Munkar
Telah disebutkan di uraian sebelumnya, bahwa demokrasi seringkali dipersepsikan sama dengan konsep syura dalam Islam. Dengan menafsirkan konsep syura sebagaimana disebutkan dalam pembahasan tentang demokrasi, dapat dikatakan bahwa syura adalah
suatu prinsip yang menolak elitisme, yaitu suatu pandangan yang
menegaskan bahwa hanya pemimpin yang tahu bagaimana cara menyusun dan
mengelola negara, sedangkan rakyat hanyalah massa pasif yang mengikuti
setiap kemauan elit. Konsep syura dimaksudkan untuk menjadi
benteng yang kuat melawan pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh
penguasa negara, mencegah dan menghentikan kezaliman pemimpin, serta
melawan sistem-sistem lain yang menindas hak-hak politik rakyat. Hal ini
sejalan dengan demokrasi, dan pemilihan umum (Pemilu) adalah instrumen
untuk melakukan evaluasi terhadap pemimpin dan wakil-wakil sebelumnya.32
Partisipasi politik dalam pemilihan umum adalah bentuk upaya untuk menganjurkan yang baik/maslahah dan mencegah keburukan, sebagaimana kewajiban setiap Muslim yang dilandasi oleh al-Quran dalam surat at-Taubah ayat 97: “Orang-orang
yang beriman laki-laki dan perempuan (adalah) menjadi penolong bagi
sebagian yang lain; mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar….” Di konteks tulisan ini, ayat tersebut
dapat diartikan berhubungan dengan bentuk kritik dan saran konstruktif
yang mampu disampaikan oleh warga negara, baik secara individual maupun
kolektif, kepada pemerintah dan wakil-wakil mereka. Momentum Pemilu
adalah saat yang tepat untuk mengevaluasi masa lalu dan membangun
harapan agar masa esok lebih baik, setidaknya dalam jangka waktu lima
tahun ke depan.
c. Pemilihan Umum sebagai Langkah Awal Pengartikulasian Aspirasi Umat Islam
Bentuk
ekspresi dan perjuangan aspirasi umat Islam dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu melalui pendekatan struktural dan pendekatan kultural.
Pendekatan struktural menekankan pada transformasi dalam institusi
sosial, politik, dan hukum, sedangkan pendekatan kultural menekankan
pada transformasi dalam tingkah laku sosial.33 Dalam konteks Pemilu,
maka pendekatan yang diambil dan coba dilakukan adalah pendekatan
struktural karena menggunakan jalur politik dalam pengamalannya.
Pada dasarnya, Islam memang tidak dapat dipisahkan dari politik sebagai bentuk pengamalan atas syura, Ma’ruf Nahi Munkar,
serta memperjuangkan keadilan dan mendakwahkan amal soleh. Politik
berguna untuk mendekatkan perjuangan kaum Muslimin dalam menjalankan
kehidupan sesuai ajaran Islam, mendakwahkan nilai agama, serta memberi
solusi-solusi kreatif yang dapat mewujudkan nilai dan kehidupan Islami
pada tingkat individual, keluarga, masyarakat, organisasi, dan negara.
Pendekatan struktural dapat dilakukan dalam beragam bentuk, baik melalui
kegiatan Legislasi dengan menghadirkan undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan daerah, maupun kebijakan publik lainnya. Beberapa
pencapaian politis umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam dilihat dari ada dan diakuinya Departemen Agama, disahkannya UU
Perkawinan, pengakuan atas sistem pendidikan agama Islam yang
menjangkau tingkat Ibtidaiyah sampai universitas, termasuk pula
pesantren-pesantren -modern maupun salaf-, adanya Peradilan Agama dan
Kompilasi Hukum Islam, penataan Bank Islam dan keuangan Syariah, dan
pembentuan Badan Amil Zakat.
Dalam
konteks yang demikian, tentunya hal ini bukan dalam rangka membentuk
negara Islam, mengingat Indonesia (dalam konsep Muhammadiyah) telah
diakui sebagai darul ahdi wa syahadah, yaitu negara atas dasar
konsensus bersama. Akan tetapi, yang diinginkan adalah negara Indonesia
mampu merealisasikan ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai
kemanusiaan yang luhur dan universal melalui perjuangan konstitusional
dan demokratis agar dapat menghadirkan masyarakat madani yang
dicita-citakan oleh umat Islam. Dalam hal ini, aspirasi Islam menjadi
sesuatu yang integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan
bersifat disintegratif atau sekadar alternatif belaka. Memperjuangkan
Islam untuk mewarnai kekuasaan di negara Indonesia ke depan adalah
sebuah keniscayaan, mengingat siyasatul ummah mabniyyatun ala aqidatiha.
Politik atau kekuasaan tergantung dan harus berdasar pada aqidahnya
umat. Ajaran Islam sebagai ajaran yang sempurna, komprehensif, dan
mengakomodasi nilai-nilai kebaikan universal perlu dimasukkan sebagai
bahan pertimbangan utama dalam membentuk kebijakan publik, dan umat
Islam adalah garda terdepan untuk mengaspirasikan hal tersebut.
Upaya-upaya
untuk menghalangi aspirasi dan kepentingan umat Islam diranah
struktural, dalam hal ini politik, merupakan sesuatu yang ahistoris dan
mustahil. Mengingat, perjuangan umat Islam dalam ranah politik, hukum,
dan sosial di negeri ini sudah sangat panjang, bahkan sejak sebelum
Indonesia terbentuk, ketika masih dalam bentuk kesultanan- kesultanan
Islam. Termasuk dalam perjalanan merumuskan identitas kebangsaan dan
kenegaraan, baik masa pra-kemerdekaan maupun awal kemerdekaan, umat
Islam telah turut berpartisipasi secara aktif dalam ranah politik. Bung
Karno, seorang Bapak Proklamator RI, pun secara tegas telah
mempersilahkan umat Islam untuk memperjuangkan aspirasi berdasarkan
ajaran agamanya melalui lembaga parlemen.34 Perjuangan politik Islam
adalah upaya untuk menegakkan nilai-nilai universal Islam dalam
masyarakat dan bangsa Indonesia dalam rangka menebarkan rahmat bagi alam
semesta. Mengingat, latar belakang historis format perjuangan umat
Islam adalah partisipasi penuh dalam membentuk Indonesia yang kuat,
maju,
adil,
sejahtera, dan bermartabat, dianjurkan kepada seluruh umat Islam di
Indonesia untuk melanjutkan tradisi perjuangan tersebut. Salah satu
langkah termudahnya adalah dengan memilih pemimpin dan wakil yang
berdasar pada ijtihad pribadi telah memenuhi standar untuk
mampu mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam di masa kini dan
masa yang akan datang.
MEYAKINKAN KEMBALI PARA PEMILIH GOLPUT
Tidak
dapat dipungkiri, bahwa golongan putih (golput) adalah realitas politik
yang wajar dalam setiap pemilihan umum. Di Indonesia, istilah golput
mulai mengemuka di tahun 1971 sebagai bentuk protes terhadap rezim Orde
Baru yang dianggap telah mendistorsi pemaknaan dari Pemilu yang bebas
dan jujur. Pemilu di masa itu dianggap hanya dijadikan alat legitimasi
kekuasaan Orde Baru yang sama sekali tidak memuat unsur-unsur
demokratis.35 Abdurrahman Wahid dalam bukunya yang berjudul Mengapa Kami Memilih Golput menjelaskan
beragam kategori golput yang seringkali muncul di kalangan rakyat
Indonesia, yakni: golput kritis karena kesadaran sendiri yang menilai
bahwa dirinya lebih baik golput; golput ikut-ikutan karena menyaksikan
banyak teman atau kerabatnya yang memilih golput; golput akibat
partainya tidak lolos verifikasi; golput karena sakit hati dan kecewa;
dan golput apatis karena sama sekali tidak peduli dengan kondisi
politik.36 Terdapat pula beragam faktor yang mendasari seseorang atau
kelompok untuk memilih golput, di antaranya kejenuhan akibat adanya
Pemilu yang terus-menerus, kekecewaan terhadap calon pemimpin atau wakil
mereka yang tidak mampu memenuhi ekspektasi dan menunaikan janji,
kurangnya akseptabilitas dari calon yang tersedia, kebingungan atas
calon yang terlalu banyak, dan sosialisasi Pemilu yang kurang. Selain
itu, faktor administratif seperti tidak terdaftar di DPT ataupun telat
mengurus
formulir pindah memilih juga menjadi penyebab seseorang akhirnya golput.
Namun,
berdasar uraian-uraian yang telah disampaikan sebelum ini, tentang
pentingnya memanfaatkan momentum Pemilu untuk mewujudkan pemerintahan
dan kepemimpinan yang adil berdasar aspirasi umat dan kepentingan
bangsa, maka memilih pemimpin dan wakil di Parlemen menjadi sesuatu yang
sangat diperlukan. Apabila setiap warga negara, terutama mereka yang
Muslim, memiliki kesempatan untuk memilih dan telah terdaftar sebagai
pemilih yang sah, maka alangkah baiknya untuk menggunakan hak pilihnya.
Selain itu, sebagai seorang Muslim, memilih/mencoblos bukan hanya
diniatkan untuk kepentingan dunia atau sekadar menjalankan hak yang
diakui dalam konstitusi, melainkan meniatkannya untuk mewujudkan
Indonesia yang Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur, Islam yang Rahmatan lil Alamin,
sekaligus doa agar setiap pemimpin dan wakil yang dipilih dan terpilih
adalah mereka yang selalu dirahmati oleh Allah SWT dan mampu menciptakan
kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. (2015). Islam dan demokrasi: respons intelektual Muslim Indonesia
terhadap konsep demokrasi, 1966-1993. Jakarta: Prenadamedia Group.
Al-Mawardi, Imam, Abdul Hayyie Al-Kattani, dan Kamaluddin Nurdin. (2000). Hukum tatanegara dan kepimpinan dalam takaran Islam. Jakarta: Gema Insani.
Amir, Zainal Abidin, dan Imam Anshori Saleh. (2013). Soekarno dan NU: titik temu nasionalisme. LKIS PELANGI AKSARA.
Apter, David A. (1997). Introduction of Political Analysis. Cambridge dan Massachussets: Winthrop Publisher, Inc.
Ash-Shidieqy, T.M. Hasbi. (1971). Ilmu kenegaraan dalam fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Bubalo, Anthony, Greg Fealy, and Whit Mason. (2008). Zealous Democrats: Islamism and Democracy in Egypt, Indonesia, and Turkey. New South Wales: Lowy for International
0 comments:
Post a Comment