Oleh. Feni Nurjanah
“Tak ada daging, tempe dan tahu pun jadi. Namun sayang, sekarang entah ke mana mereka pergi.”
Mungkin kalimat itu yang sedang dirasakan oleh para ibu rumah tangga terutama dari kalangan menengah ke bawah. Tempe dan tahu yang terbuat dari kedelai adalah makanan yang sehat dan bergizi. Selain itu, harganya sangat terjangkau dan mudah didapat. Bagi sebagian keluarga yang tidak mampu membeli ikan dan daging, maka dua sejoli inilah yang jadi alternatifnya.
Namun akhir-akhir ini, keberadaannya sudah mulai langka karena sejumlah pengrajin akan mogok memproduksi tahu dan tempe. Setelah sebelumnya kita dikejutkan dengan meroketnya harga kedelai dan langka di pasaran. Hal itu juga dibarengi kenaikan harga pangan lainnya. Ditambah kemarin tertanggal 16 Maret 2022, Kemendag mencabut subsidi minyak goreng. Sampai-sampai harga minyak goreng dua liter menembus harga Rp47.000,00. Benar-benar prestasi luar biasa dan membuat geleng-geleng kepala, khususnya bagi para ibu rumah tangga.
Contoh apa yang terjadi dengan para pengrajin tempe dan tahu yang ada di Kabupaten Bandung (Jawa Barat), bersepakat menghentikan produksinya karena dampak tingginya harga kacang kedelai. Saat ini, harga kedelai bisa sampai Rp11.500,00 per kilogram, naik dari sebelumnya Rp9000 per kilogram pada bulan Februari lalu.
“Mogok produksi ini bukan hanya kami, tapi dilakukan serentak di seluruh Indonesia, karena kan ini mogok nasional, kami ini organisasi, ya, jadi ada garis komando, bagaimana kami turut dan patuh komando dari atas,” kata Ketua Kopti Kabupaten Bandung, Ghufron Cokro Valentino (mediaindonesia.com, 21/2/2022).
Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga Pula
Ya, pribahasa itu menggambarkan nasib rakyat saat ini. Kelangkaan harga pangan disusul dengan mahalnya harga pangan itu sendiri. Sudah cukup menyengsarakan rakyat karena tak sedikit banyak usaha yang gulung tikar karena mahalnya harga pangan tersebut.
Malang nian nasib rakyat, hasil dari sistem sekuler-kapitalis menjadikan rakyat sebagai tumbal kekuasaan. Memang lucu, rakyat sengsara di negeri yang sumber daya alam (SDA)-nya melanglang buana. Begitulah, risiko hidup di sistem kapitalis. Katanya serba gratis, namun nyatanya bikin dompet semakin tipis.
Selain tempe yang langka karena kedelai impor yang mahal, bahan pangan lain juga termasuk sembako dan gas LPG akan mengalami kenaikan. Hal itu sudah diwanti-wanti oleh bapak presiden RI.
Mengutip Tempo (1/3/2022), Jokowi mengingatkan adanya indikasi kenaikan harga bahan pangan di berbagai belahan dunia. Ia pun meminta semua masyarakat di Indonesia berhati-hati atas kondisi ini. Jokowi mengungkapkan penyebab dari bakal naiknya harga-harga barang.
Pertama, katanya, ini dipicu oleh makin langkanya kontainer di seluruh dunia. Kelangkaan kontainer ini disebutkannya akan memicu ongkos angkut atau freight cost naik sehingga memicu kenaikan biaya logistik. Artinya, harga barangnya juga ikut naik. Jika harganya naik, harga konsumen akan lebih mahal dari biasanya.
Kedua, terjadi kelangkaan pangan di berbagai belahan dunia sehingga menyebabkan harga-harga pangan juga ikut naik. Jokowi menyebutkan, di beberapa negara sudah ada kenaikan harga pangan hingga 90%.
Ketiga, kenaikan inflasi. Jika inflasi naik, harga-harga semua naik. Tersebab itu, beban masyarakat dalam keinginan untuk membeli barang itu juga makin naik tinggi.
Keempat, terjadi kelangkaan energi di dunia internasional. Kondisi ini, menurut Jokowi, diperburuk dengan adanya Perang Rusia-Ukraina. Akibatnya, harga BBM hingga LPG diperkirakan juga akan naik.
Sungguh disayangkan peringatan hanya sekadar peringatan, tidak dibarengi dengan real action untuk menyelesaikan segala problema huru-hara ekonomi. Memang seharusnya tugas seorang pemimpin itu mengayomi dan menjamin kesejahteraan rakyatnya bukan mementingkan para kapitalis hanya sebatas untuk memenuhi isi perut dan melanggengkan syahwat kekuasaan. Seharusnya kita berkaca kepada Islam, di mana dalam Islam diatur bagaimana cara pengelolaan dan penguasaan harta, yaitu terdapat pilar-pilar ekonomi Islam yang terdiri dari kepemilikan (al-milkiyah), pemanfaatan kepemilikan (at-tasarruf fil-milkiyah), dan distribusi harta kekayaan di tengah manusia (tauzi’u tsarwah baynan-nas).
Islam juga melarang menimbun bahan pangan.
Dari Ma’mar bin Abdullah, Rasulullah bersabda:
“Tidaklah seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR Muslim)
Pada dasarnya Islam sendiri telah mengatur pemenuhan kebutuhan dasar (pokok) masyarakat baik sandang, papan, dan pangan itu wajib dipenuhi oleh negara. Sama halnya seperti pendidikan dan kesehatan. Maka, jaminan tersedianya bahan-bahan pangan (sembako) di dalam negeri wajib diperhatikan oleh seorang pemimpin. Bukan sekadar memperhatikan proses produksi semata, tetapi pola distribusi pun diawasi secara ketat, sehingga tidak ada yang berani menimbun. Tetapi, penetapan harga tidak diambil alih oleh negara, tapi diserahkan pada mekanisme pasar. Tidak seperti sekarang, seolah-olah pemerintah sudah menyerah dan tidak bisa mengendalikan apalagi mengatur dengan seadil-adilnya, masyarakat sampai antre hanya untuk mendapatkan 1 kantong minyak goreng. Padahal itu pun beli, bukan gratis, bahkan sampai memakan korban. Di manakah nurani pemimpin negeri ini?
Kemarin migor (minyak goreng) disubsidi, tetapi langka, sekarang banyak, tapi mahal. Apa bedanya? Sama-sama zalim. LPG naik, harga kedelai naik, subsidi listrik dicabut, bahan bakar naik, semua serba naik, tapi tidak berkorelasi dengan penghasilan. Yang kaya semakin kaya, sementara masyarakat miskin semakin miskin. Masyarakat semakin tercekik dengan berbagai kenaikan bahan pangan, dan para cukong kapitalis menikmati pundi-pundi keuntungannya dengan tanpa malu. Inilah bukti rusak dan bobroknya sistem ekonomi kapitalis.
Sungguh adil hukum syara’ itu, dengan ini tidak akan ada lagi syahwat memiliki sesuatu secara berlebihan, dan tidak akan ada lagi kesenjangan sosial karena sedemikian rupa sudah diatur oleh Islam. Semoga pemerintah lebih sigap dalam menstabilkan perekonomian dan kita semua bisa merujuk kepada Islam sebagai pedoman.
0 comments:
Post a Comment