JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian mengenai sistem pemilihan umum (pemilu) dalam Pasal 168 Undang Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang ke enam belas untuk perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini yakni mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan Pihak Terkait Partai Garuda dan Partai Nasedem
Pihak Terkait Partai Garuda menghadirkan ahli Abdul Chair Ramadhan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah. Abdul Chair mengatakan, di dalam negara demokrasi, Pemilu merupakan salah satu unsur yang sangat vital. Dikatakan demikian, oleh karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan Pemilu yang dilaksanakan oleh negara tersebut.
“Prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) seyogianya diselenggarakan secara beriringan. Demikian itu menunjukkan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisahkan sebagai perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke-Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa,” terangnya ke hadapan sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi.
Hubungan Caleg dengan Pemilih
Menurut Abdul Chair, dalam kaitannya dengan sistem proporsional, tercipta hubungan emosional dan hubungan tanggung jawab antara calon anggota legislatif terpilih dengan pemilihnya. Kondisi demikian akan memperkokoh komitmen politik dan komitmen moral wakil rakyat yang lebih nyata. Komitmen wakil rakyat guna merealisasikan kedaulatan rakyat yang substantif ke dalam kekuasaannya, sangat terjamin dan tentunya lebih akomodatif.
Keterlibatan masyarakat dalam proses pemilu merupakan hal yang mutlak. Hak masyarakat untuk memilih dan dipilih demikian mendasar dan asasi sifatnya. Demikian itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 ayat (1) menyebutkan: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.”
Sistem Proporsional Terbuka
Menurut Abdul Chair, sistem proporsional terbuka sejalan dengan kebenaran dan sekaligus keadilan. Kebenaran dan keadilan menurut Sisworo merupakan dwitunggal, satu terhadap yang lain saling memberikan legitimasi.
Kebenaran dan keadilan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perbuatan yang adil adalah suatu tindakan yang berdasar pada kebenaran. Dalam kaitan ini, penerapan sistem proporsional terbuka dimaksudkan guna menghindari kerugian dan mendahulukan kebaikan.
Sejalan dengan Fatwa MUI
Abdul Chair lebih lanjut menjelaskan, kewajiban untuk memilih calon yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddîq), terpercaya (amânah), aktif dan aspiratif (tablîgh), mempunyai kemampuan (fathânah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, maka demikian itu membutuhkan sistem proporsional terbuka. Ketiadaan sistem proporsional terbuka akan menyebabkan kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan. Tanpa adanya sistem proporsional terbuka, kewajiban sebagaimana dimaksudkan tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan kaidah fikih, “mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihî fa huwa wâjib”, maka sistem proporsional terbuka bersifat wajib.
Dalam kaitannya dengan permohonan proporsional tertutup, maka apabila didalilkan secara kebalikannya (mafhüm mukhâlafah/argumentum a contrario), maka sistem proporsional tertutup adalah haram. Dikatakan demikian oleh karena umat Islam selaku konstituen tidak dapat memilih calon secara langsung sebagaimana yang dimaksudkan pada poin 4 Fatwa MUI, yakni: memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddîq), terpercaya (amânah), aktif dan aspiratif (tablîgh), mempunyai kemampuan (fathânah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam.
Kriteria tersebut hanya dapat dilakukan dengan memilih calon legislatif secara langsung dan itu ada pada sistem proporsional terbuka. Pada sistem proporsional tertutup tidak dapat memenuhi syarat pemilihan sebagaimana dimaksudkan dalam Fatwa MUI.
Sehingga, ia menegaskan, sistem proporsional terbuka identik dengan prinsip suara mayoritas. Prinsip suara mayoritas merupakan konsekuensi dari adanya prinsip kebebasan dan kesamaan sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD 1945. Dengan demikian, UUD 1945 yang menganut dua prinsip esensial demokrasi, maka secara linear UUD 1945 juga menganut prinsip suara terbanyak sebagai cara mewujudkan dua prinsip itu.
“Norma dalam Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan kata lain, sistem proporsional terbuka meneguhkan kedaulatan rakyat dan sejalan dengan aksiologi hukum konstitusi,” tegas Abdul Chair.
Sama-sama Konstitusional
Pada kesempatan yang sama, ahli yang dihadirkan Wibi Andrino (Partai Nasdem) I Gusti Putu Artha mengatakan, sistem proporsional terbuka suara terbanyak ingin memposisikan partai politik secara konsititusional sesuai amanat UUD. “Saya tidak membantah bahwa peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan Kabapaten/Kota adalah partai politik. Namun mesti juga dicatat bahwa pasal 1 UUD (pasal paling utama dan awal) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat,” tegasnya.
Menurut Putu, UU Nomor 7 Tahun 2017 seakan memberi penegasan bahwa dalam konteks Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan Kabupaten, partai politik diberi amanat menyeleksi dan menjaring calon-calon terbaik di tiap dapil lalu dengan kendaraan partai politik diantarkan ke KPU di semua tingkatan. Siapa yang dikehendaki rakyat, menurut pasal 1 UUD, diserahkan penuh kedaulatan rakyat. Di parlemen, wakil rakyat berhimpun dalam fraksi parpol masing-masing untuk mengagregasikan kepentingan rakyat yang dijaring oleh para anggota DPR dan partai politik masing-masing di tiap dapil. Dengan penjelasan ini, stigma deparpolisasi tidak menemukan dasarnya karena sejak proses pencalonan hingga berakhir masa jabatannya seorang anggota dewan tetap terikat pada partai politik kendatipun dipilih dengan sistem proporsional terbuka.
Menurut Putu Artha, baik sistem proporsional terbuka dan tertutup sejatinya sama-sama konstitusional menurut UUD. Hanya saja, derajat konstitusionalitasnya yang berbeda. Dalam konteks ini, ranah pengambilan keputusan atas pilihan sistem itu menurut UUD ada di tangan DPR dan Presiden selaku pembuat UU. Mahkamah mempertegas konsistensi implementasi subsistemnya agar selaras dengan sistem proporsional terbuka yang menjadi pilihan pembuat UU.
“Sistem proporsional terbuka dan tertutup sama-sama konsitusional namun sistem proporsional terbuka memiliki bobot yang lebih tinggi. Secara teknis penyelenggaraan, perubahan sistem pemilu yang harus diadopsi pada Pemilu 2024 saat ini potensial akan memunculkan gejolak politik di internal partai politik dan gangguan teknis verifikasi administrasi pencalonan dan pengadaan logistik oleh KPU,” terangnya.
Selain itu, sistem proporsional terbuka juga terbukti membangun tatanan proses kaderisasi politik yang mendorong lahirnya pemimpin lokal yang memiliki hubungan yang amat dekat dengan rakyat dan kemampuan melayani aspirasi rakyat, politik anggaran yang memihak rakyat, sekaligus sistem in amat memihak politisi perempuan.
Ia pun menegaskan, kedua sistem memiliki ekses munculnya politik uang dan biaya kampanye yang mahal apabila regulasi tidak mengatur secara ketat dan penegakan hukum tak dijalankan secara tegas.
0 comments:
Post a Comment